Sikap yang diperlihatkan Megawati di gedung parlemen baru-baru itu sesungguhnya tak saja menimpa pada Paloh. Susilo Bambang Yudhoyono, atau SBY presiden RI ke-6 juga mengalami hal serupa.
Ketika hubungan SBY dan Mega "retak", publik sangat berharap kedua tokoh tersebut bisa bertemu guna memberikan kesejukan pada rakyat. Tapi, pertemuan itu sulit terjadi.
Jika kita tengok ke belakang, pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, SBY dua kali diangkat menjadi menteri, yakni menteri pertambangan dan energi, kemudian menteri koordinator politik, sosial dan keamanan. Ketika Megawati Soekarnoputri diangkat jadi presiden, SBY dipilih menjadi menteri koordinator politik dan keamanan (menko polkam).
Keadaan hubungan Mega dan SBY makin buruk setelah SBY mengeluh tidak pernah diajak rapat kabinet. Mendengar pernyataan itu, Politisi kawakan Taufiq Kiemas (TK), saat itu, bersuara lantang. Katanya, mestinya SBY datang ke Ibu Presiden untuk menanyakan duduk persoalannya. Bukan bicara lewat media massa.
Nah, bercermin pada kasus tersebut, Surya Paloh tak perlu "overaktif". Ini semata-mata untuk kepentingan partai NasDem, bahwa gerak dan perjuangan partai tak bisa dilakukan pucuk pimpinan seorang. Perlu koalisi dengan partai lain dengan cara membangun narasi positif.
Hadapi Megawati layaknya seperti seorang ibu.
Hal itu dilakukan Jusuf Kalla (JK) ketika mengalami miskomunikasi dengan Megawati. Tapi, semua itu bisa diselesaikan dengan baik. Caranya, JK mendatangi ke kediaman Megawati. Menguatkan silaturahim.
Di kediaman itu tidak perlu dilakukan dengan cara formal, tapi cukup dengan pendekatan kekeluargaan. Bicara nasi goreng pun boleh.
Ingat, kelembutan hati seorang ibu ada pada Megawati.