Jika kita boleh meminjam kata dari Gus Dur: "Gitu aja kok repot."
Para penyelenggara survei boleh meradang, marah dan melontarkan caci maki karena kerja kerasnya tak lagi dihargai sebagaimana mestinya. Di negeri ini, boleh saja mereka membalas. Â
Ingat. Di zaman mertua Presiden Prabowo berkuasa, tepatnya di zaman Orde Baru, tak ada orang berani menyatakan terang-terangan di hadapan publik ingin menjadi presiden. Ketika mantan Menteri Perumahan Siswono Yudo Husodo menyatakan diri bakal mencalonkan diri sebagai presiden, pers sangat hati-hati memberitakannya. Takut penerbitan mereka dibredel oleh Menteri Penerangan Harmoko.
Ketika Presiden Soeharto menghadiri hari anak, di atas pentas, Â ia bertanya kepada anak-anak.
"Siapa yang ingin jadi presiden," tanya Soeharto kepada anak-anak.
"Saya!" jawab anak-anak serentak sambil mengacungkan jari dan menyatakan diri siap jadi presiden.
Jawaban anak-anak ingin jadi presiden, oleh awak media, kemudian menjadi berita utama. Pertimbangannya, hanya anak-anak yang berani menyatakan jadi presiden saat itu. Bukan dari kalangan pejabat, politisi, apa lagi rakyat biasa.
Nah, sekarang, di negeri demokrasi seperti Indonesia, anak-anak hingga orang tua sekalipun jika ingin menyatakan diri sebagai presiden tidak ada yang melarang. Mau main mobil-mobilan, main layang-layangan, Â main penganten-pengantenan atau main kuda-kudaan pun tidak dilarang. Apa lagi main presiden-presidenan.
Karenanya, jangan olok-olok Presiden Prabowo.