Pertandingan sepakbola sudah dihentikan dengan ditandai tiupan pluit panjang sang wasit. Hakim garis pun meninggalkan lapangan bersama wasit. Sedang para pemain dari kedua kesebelasan saling bersalaman. Soal kalah dan menang dalam pertandingan itu telah dicatat petugas pengadil di lapangan dan diketahui penonton.
Siapa yang menang dan kalah, bagi para pemain dari kedua tim, secara bertahap tak lagi membebani pikirannya. Mereka ikhlas. Buktinya, saling berangkulan dan di antara mereka saling tukar kaos yang mereka kenakan ketika bertanding. Jika saja pertandingan "rusuh", itu menjadi ranah pihak berwajib.
Kelemahan dan kelebihan dari setiap tim kemudian dievaluasi. Hal itu menjadi ranah pelatih dan manajer dari kedua tim. Sisi mana yang harus diperkuat dan ditingkatkan agar pada pertandingan berikut kesalahan serupa tidak terulang kembali. Pokoknya, ke depan, tim harus tampil lebih baik lagi dan bisa membuahkan hasil berupa kemenangan. Syukur, ya menjadi juara.
Wajar, sang manajer dan pelatih dengan otak warasnya mengingatkan pemain agar di setiap pertandingan mengedepankan dan menjunjung tinggi sprotivitas dan fair play. Ini penting, agar penonton bisa menikmati pertandingan dengan teknik tinggi dan pemainan indah.
Kalau disuruh memilih, tim mana yang terbaik, tentu penonton menjatuhkan pilihan kepada tim sportif. Bukan pemain yang mengandalkan permainan brutal dan kasar, apa lagi sering mendapat kartu merah karena melontarkan kata rasis ketika bertanding.
Sungguh aneh, kala pertandingan sudah berakhir, di tengah ribuan penonton tengah beranjak meninggalkan stadion, tiba-tiba di tengah lapangan ada yang memainkan bola. Seorang diri pula. Meski stadion sudah kosong melompong, ia tak peduli.
Bagai seorang pemain sirkus, ia menggiring bola ke sana ke mari memutari lapangan. Tentu saja bola yang dimainkan seorang diri itu tak mendapat sambutan hangat berupa tepuk tangan. Termasuk dari rekannya yang berdiri di tepi lapangan.
Tapi, ia tetap saja melakukan permainan bola. Gayanya tak lagi menarik. Lantas, ia mengajak rekannya dengan paksa. Dengan rasa berat, ada satu dan dua rekannya ikut bermain tanpa lawan itu. Karena sudah tua, nafas pun tengah-engah. Lantas, dengan cepat meninggalkan lapangan tanpa pamit.
Saat bermain bagai seorang sirkus, ada rekan seperjuangannya dari tepi lapangan mengingatkan agar pemainan disudahi. Tapi, ya diabaikan. Malah dicuein.
**