Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orang Gila di Rumah Ibadah

13 Februari 2018   12:11 Diperbarui: 13 Februari 2018   12:18 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas tengah mendatangi TKP di Gereja St Lidwina, Bedog, Yogyakarta. Foto | Hariankota.com

Bukan sekali ini saja kabar orang gila ngamuk di rumah ibadah, masjid, gereja dan kelenteng. Rumah ibadah dirusak, umat yang tengah melaksanakan ritual keagamaan dianiaya tanpa sebab dan pelakunya ketika ditangkap dinyatakan sebagai orang gila.

Masjid dibakar dan dalam waktu hampir bersamaan rumah ibadah serupa di lokasi tidak berjauhan juga dirusak. Umat marah. Ulama meredam. Konflik dapat dihindari karena tokoh agama-agama dan masyarakat saat itu sudah mencium  bahwa peristiwa itu adalah bagian dari skenario pelaku intoleransi.

Pendeta, ulama dan ustaz dan umat diciderai dengan senjata tajam. Mereka itu tengah menunaikan tugas untuk meningkatkan kualitas dan akhlak agar kehidupan seluruh umat di masyarakat terjaga dalam suasana harmoni. Tapi, justru ketika menunaikan tugas mulia itu, mereka dicederai.

Pelakunya adalah orang gila agama, ia memersonifikasi dirinya atas nama keyakinannya bahwa berlaku keji dibenarkan tuhannya. Sejatinya hal itu sungguh menyimpang dari petunjuk agama itu sendiri.

Kita pun masih ingat peristiwa kelenteng dirusak. Kejadian itu terjadi di Jakarta dan Sumatera Utara, termasuk di beberapa daerah lainnya. Pelakunya mengaku bahwa ia bertindak keji lantaran tidak memiliki kesesuaian dengan keyakinan yang dimiliki.

Orang-orang intoleransi ini kebanyakan tidak memahami bahwa negeri ini berdiri dan didirikan para tokoh bangsa dimaksudkan untuk melindungi warga dan seisinya. Realitasnya, mereka tidak mengindahkan aturan berlaku, seperti saling hormat menghormati satu sama lain. Apa pun ras dan agamanya. Mereka masih perlu diberi penyadaran bahwa negara hadir untuk mengatur anak bangsa.

Para pelaku intoleransi itu terkesan ingin menang sendiri dengan caranya sendiri pula. Mereka gila agama lantaran punya tafsir terhadap dari agama yang dianutnya. Ajaran dan substansi agama dimaknai menyimpang dari pesan universal agama bersangkutan.

Kita tidak boleh kalah oleh kelompok intoleransi.

***

Penulis punya pengalaman. Saat konflik antaretnis di Kalimantan Barat -- tepatnya di wilayah Ngabang -- tengah berkecamuk, dua masjid dijadikan sasaran perusakan oleh orang tak dikenal. Setelah ditelusuri pihak berwajib menagkap pelakunya.

Sungguh aneh, dalam waktu cepat, pihak berwajib menyimpulkan pelakunya adalah orang gila. Karena orang bersangkutan punya penyakit gila, upaya mengusut lebih lanjut hasilnya nihil.

Karena tokoh agama dan masyarakat sudah menyerahkan persoalan itu kepada pihak berwajib dan hasilnya nol besar, maka upaya mendesak pihak berwajib untuk mengusut kasus itu hingga tuntas pun sia-sia. Yang berkembang di masyarakat berita desas-desus. Muaranya pada dugaan kuat, ada pihak tertentu ingin memetik keuntungan di tengah konflik di masyarakat. Kasusnya pun hendak digiring ke wilayah agama.

Boleh jadi orang menduga pada peristiwa penyerangan terhadap jemaah Gereja Santa Lidwina, Bedog, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai orang yang tergila-gila agama. Pada pelaku yang membawa pedang merusak altar. Dua orang jemaat terluka karena sabetan pedang. Romo Prier SJ yang memimpin misa turut terluka terkena sabetan pedang.

Barang kali jika dicermati kasusnya ada sedikit kesamaan dengan kejadian di Ngabang tempo dulu. Peristiwa di Ngabang berlangsung saat konflik antaretnis dan kebetulan peristiwanya pada era perubahan dari rejim Orde Baru ke Reformasi.

Terkait hal itu,  dugaan Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Yaqut Cholil Qoumas bisa mendekati kebenaran. Ia menyebut bahwa pria - yang kemudian diketahui bernama Suliyono -- bisa jadi jika kasusnya tidak dikawal ketat akan berujung pada kesimpulan tidak menggembirakan.

Mengutip pernyataan Gus Yaqut, "Kami minta aparat kepolisian usut tuntas kasus ini dan apa motifnya di belakangnya. Jangan asal dibilang pelakunya diduga gila. Masak dari semua kejadian pelakunya gila semua. Aneh," ujar Yaqut di sela acara Diklat Terpadu Dasar Pimpinan Cabang GP Ansor Korea Selatan di Incheon, Minggu (11/2), mengutip keterangan pers yang diterima CNNIndonesia.com.

Ia yakin pelakunya tidak mengalami gangguan jiwa. Suliyono waras. Mengapa?

Diperoleh informasi, pelaku intoleransi di Gereja Santa Lidwina yang diketahui  terindikasi mulai terpapar radikalisme agama pascapilkada DKI Jakarta. Pelaku juga dikenali sebagai mahasiswa dan menjadi santri di Pondok Pesantren Sirojul Muhlisin, Topo Lelono, Secang, Magelang, Jawa Tengah.

Dugaan kuat, motif di balik serangkaian kasus teror belakangan ini. Selain motif agama, sangat mungkin ada motif politik di belakangnya.

***

Kasus teror di rumah ibadah terjadi tak lama setelah kejadian yang menimpa tokoh agama secara berturut-turut, mulai NU, Persis, hingga biksu di Tangerang. 

Atas kasus intoleransi itu, mulai Presiden Jokowi hingga para tokoh agama, semua menyatakan prihatin atas kasus intoleransi itu. Diharapkan, kasus itu dapat diusut sampai tuntas.

Diwartakan, penyerangan terjadi kepada pimpinan Pesantren Alhidayah KH Umar Basri di Cicalengka, Kabupaten Bandung pada 27 Januari lalu. Kasus intoleransi juga terjadi terhadap pengurus Persis Ustaz Prawoto pada 1 Februari 2018, Dan, pada 7 Februari lalu seorang biksu dipersekusi di Kabupaten Tangerang.

Penganiayaan dan pembunuhan yang menimpa Kiai dan Ustaz di Bandung serta penyerangan terhadap jemaat gereja yang beribadah harus menjadi momentum peningkatan solidaritas dan toleransi antarumat beragama.

Masyarakat diharapkan semakin meningkatkan kewaspadaan, terutama bagi para pemuka agama. Aparat dalam hal ini Polri juga diminta untuk mengusut tuntas kasus ini sampai ke akar-akarnya dan menghukum pelaku dengan seadil-adilnya.

Sayogianya, memang, setiap anggota masyarakat bertanggung jawab untuk saling menghargai satu sama lain dan menjaga kebinekaan yang ada. Sebab, Setiap anggota masyarakat,  juga berhak menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing. Hal tersebut dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945. 

Seperti ditegaskan Presiden Joko Widodo, Indonesia memang telah lama menutup ruang bagi oknum atau pihak yang tidak bisa hidup dalam kemajemukan masyarakat.

Tentu, kita sepakat, akan terus menerus menyuarakan, tidak ada tempat bagi pelaku intolerasi di negeri tercinta ini. Ke depan, tidak boleh ada lagi orang gila mengamuk di rumah ibadah

Sumber bacaan: 1, 2 dan 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun