Karena itu, pascamusim haji sering terdengar anggota jemaah haji Indonesia masih ada yang dirawat di negeri petro dolar ini. Mereka yang sembuh lantas dikembalikan ke Tanah Air. Bahkan menggunakan pesawat khusus yang disiapkan pihak Kementerian Haji Arab Saudi.
***
Indonesia pada musim haji tahun ini mendapat kuota haji sebanyak 221 ribu. Tahun lalu 168 ribu dengan dukungan tenaga petugas haji sebanyak 3500 orang. Jumlah ini sama dengan tahun lalu. Jelas, optimalisasi layanan pun tak menggembirakan. Komisi VIII kedengarannya setuju penambahan petugas haji sampai 4.000 orang pada tahun mendatang.
Harus diakui memang jika petugas haji ditambah, hal itu bukan jaminan jemaah wafat berkurang. Kondisi lapangan sangat dinamis. Perubahan bisa terjadi setiap saat. Misal insiden di lokasi jamarat, siapa yang bisa menduga terjadi. Di sini berlaku alasan pejabat Kemenag tadi, orang mati - kapan dan dimana pun - bisa terjadi setiap saat. Apa lagi saat ritual haji yang diikuti jutaan manusia dalam waktu yang sama penyelenggaraannya.
Jauh sebelum peraturan ini keluar, upaya memaksimalkan pelayanan kesehatan di Tanah Suci terkesan "kedodoran". Pasalnya, tenaga kesehatan "tersedot" mengurusi pasien berpenyakit bawaan sejak dari Tanah Air seperti cuci darah, kurang waras, hepatitis dan lainnya. Setelah ada ketegasan dan kriteria calon jemaah haji yang patut dan tak layak untuk menunaikan ibadah haji dari sisi (istithaah) kesehatan, barulah petugas haji sedikit merasa "lega" meski tantangan pelayanan ke depan makin berat dengan ragam jenisnya.
Di berbagai daerah, dulu, banyak anggota jemaah haji 'ngamuk' ketika dinyatakan tak layak menunaikan ibadah haji. Dulu, sering terdengar anggota jemaah haji minjam urine rekan, saudara atau siapa saja, ketika dilakukan pemeriksaan darah dan urine oleh tim kesehatan di sejumlah embarkasi. Ketika ketangkap, orang bersangkutan memarahi petugas.
Akan lebih elok lagi untuk menekan angka jemaah wafat adalah meningkatkan lima budaya kerja yang sering digaungkan kementrian ini. Â Kenapa? Sebab, lima budaya itu (Integritas, Profesionalitas, Â Inovasi, Tanggung Jawab dan Keteladanan) masih dimaknai sebatas kata-kata penghias bibir. Implementasinya masih harus terus menerus didorong.
***
Melihat realitas tersebut, ke depan memang perlu dicarikan solusinya. Upaya mempercepat keberangkatan jemaah haji usia lanjut perlu ditingkatkan lagi. Kemenag dalam hal ini sudah melakukannya, tetapi belum mendapat prioritasnya utama. Perlu diingat, warga Muslim kebanyakan baru mendaftar haji rata-rata berusia 40 tahun ke atas tatkala kemampuan ekonominya tengah membaik. Antrian dalam daftar tunggu yang makin panjang membuat pendaftar baru bisa berangkat 20 tahun ke depan. Jelas saja mereka sudah masuk kategori resiko tinggi.