Pada Jumat dini hari di sebuah rumah di Kabupaten Bandung, seorang suami menemukan pintu rumahnya terkunci dari dalam. Di baliknya, ia menemukan tragedi yang merobek logika: istrinya, EN (34), telah mengakhiri hidupnya.
Lebih mengerikan lagi, dua anaknya---satu berusia 9 tahun dan satu lagi bayi 11 bulan---ditemukan tak bernyawa. Di dinding, secarik surat menjadi saksi bisu keputusasaan: "Maafkan mama tidak bisa memenuhi segala kebutuhan Aa dan dede. Maafkan mama tidak bisa membahagiakan Aa dan dede."
Peristiwa ini memaksa kita bertanya: bagaimana mungkin seorang ibu, arketipe dari perlindungan dan kasih sayang, menjadi ancaman terbesar bagi buah hatinya?
Jawabannya mungkin tidak terletak pada kejahatan, melainkan pada kerapuhan manusia. Kasus EN bukanlah cerita tentang seorang monster, melainkan tentang alarm darurat yang berbunyi nyaring dari sebuah jiwa yang terimpit hingga hancur. Ini adalah kisah tentang bagaimana tekanan hidup yang ekstrem dapat mengubah cinta menjadi logika yang paling kelam.
Logika Panci Presto yang Meledak
Bayangkan sebuah panci presto (pressure cooker). Di dalamnya, tekanan uap menumpuk perlahan untuk melunakkan daging yang paling keras sekalipun. Selama katup pelepasnya berfungsi, semuanya aman. Namun, apa yang terjadi jika katup itu tersumbat dan panas terus dinyalakan? Tekanan akan terus meningkat dalam sunyi, hingga pada satu titik, panci itu akan meledak dengan kekuatan dahsyat, menghancurkan dirinya sendiri dan semua yang ada di sekitarnya.
Jiwa manusia yang berada di bawah tekanan ekstrem bekerja dengan cara serupa. Tekanan ekonomi, ekspektasi sosial untuk menjadi "ibu yang baik", dan perasaan terisolasi adalah "panas" yang terus-menerus diberikan. Sementara itu, rasa putus asa dan depresi bertindak seperti "katup yang tersumbat", menghalangi kemampuan seseorang untuk mencari pertolongan atau melihat jalan keluar lain.
Bagi EN, himpitan ekonomi adalah api yang konstan. Suratnya menunjukkan bahwa ia telah sampai pada kesimpulan yang absolut: ia gagal. Dalam kondisi depresi berat, pikiran tidak lagi bekerja secara jernih. Muncul sebuah "visi terowongan", di mana satu-satunya jalan keluar yang terlihat dari penderitaan adalah kematian.
Lebih jauh, tindakannya membunuh anak-anaknya lahir dari apa yang para ahli sebut sebagai logika cinta yang terbalik (altruistic filicide). Dalam benaknya yang sudah terdistorsi oleh keputusasaan, membiarkan anak-anaknya hidup di dunia yang ia anggap penuh penderitaan adalah bentuk kekejaman yang lebih besar.
Maka, dalam logikanya yang tragis, "menyelamatkan" mereka melalui kematian adalah tindakan kasih terakhirnya. Ia tidak meledak karena benci; ia meledak karena tekanan telah mengubah cintanya menjadi sesuatu yang tak lagi bisa dikenali.