Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Social Psychologist, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy and Research Centre, Surabaya. Tiga buku terakhir nya: (1) 'Membaca Identitas, Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas: Suatu Tinjauan Filsafat dan Psikologi' (Gramedia Pustaka Utama, 2023); (2) 'Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio-Digital' (Zifatama Jawara, 2025), dan (3) 'Kecerdasan Jamak, Keberagaman dan Inklusivitasnya' (Zifatama Jawara: 2025).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kontrasepsi Dibakar Bukan Diberikan, Mengapa?

24 Juli 2025   15:16 Diperbarui: 24 Juli 2025   22:45 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alat Kontrasepsi (Kompas.com 23/7/2025/Dok. Shutterstocl]

Bayangkan sebuah lumbung padi yang melimpah ruah. Di satu sisi, jutaan orang di negeri seberang kelaparan. Di sisi lain, sang pemilik lumbung justru membakar sebagian padinya yang mulai mendekati masa simpan terbaiknya.

Secara nurani, tindakan ini terasa keji, sebuah pemborosan absolut di hadapan penderitaan. Inilah paradoks yang membakar nurani kita saat mendengar berita bahwa negara adidaya seperti Amerika Serikat lebih memilih memusnahkan alat kontrasepsi daripada menyalurkannya ke negara-negara miskin yang sangat membutuhkannya.

Reaksi pertama kita adalah kemarahan moral, sebuah respons yang wajar dan manusiawi. Namun, jika kita menahan sejenak amarah itu untuk membedah logika di baliknya, kita akan menemukan sebuah jaringan pertimbangan yang rumit dan tidak nyaman.

Di sana, pilihan yang terlihat paling kejam justru dianggap sebagai yang paling bertanggung jawab untuk keselamatan global. Keputusan ini bukanlah cerminan kedengkian, melainkan manifestasi dari prinsip medis kuno yang menjadi fondasi keselamatan pasien modern di panggung dunia yang jauh lebih kompleks.

"Primum Non Nocere": Sumpah Medis di Panggung Dunia

Prinsip fundamental dalam etika kedokteran adalah Primum non nocere, atau "Pertama, janganlah menyakiti." Sumpah ini tidak hanya berlaku di ruang praktik dokter, tetapi juga dalam skala masif kebijakan kesehatan global.

Mari kita mulai dengan analogi sederhana: kotak obat di rumah kita. Saat kita menemukan obat demam yang telah melewati tanggal kedaluwarsa, kita pasti membuangnya. Kita tidak akan pernah memberikannya kepada tetangga yang sedang sakit, meskipun niat kita tulus untuk membantu. Mengapa? Karena risiko obat itu tidak lagi efektif atau bahkan telah terurai menjadi senyawa berbahaya jauh lebih besar daripada potensi manfaatnya.

Logika inilah yang diterapkan secara kaku oleh lembaga regulasi seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA). Sebuah alat kontrasepsi yang telah melewati masa edar, secara hukum dan medis, adalah sebuah risiko tak terukur. Memberikannya kepada populasi rentan di negara lain bukan lagi tindakan membantu, melainkan sebuah kelalaian massal yang tidak etis.

Kegagalan produk dapat menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan, menambah beban pada keluarga yang sudah rapuh, memicu komplikasi kesehatan yang memerlukan perawatan mahal yang tak tersedia, dan yang paling fatal, menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap seluruh sistem kesehatan publik.

Panduan donasi obat dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sangat tegas mengenai hal ini: produk donasi harus memiliki sisa masa edar yang cukup panjang dan sesuai dengan kebutuhan spesifik negara penerima agar tidak menjadi beban baru bagi sistem mereka yang sudah rapuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun