Plastik mikro di daging ikan, hujan asam, perubahan iklim, dan tidak terkendalinya penyebaran penyakit adalah masalah yang akan dihadapi sehari-hari. Oleh sebab itu, orang tua anak generasi alfa harus belajar untuk hidup dengan mempertimbangkan kelestarian alam. Mematikan lampu bila tidak dipakai harusnya bukan sesuatu yang membanggakan lagi. Itu kewajiban. Langkah selanjutnya adalah mulai berpikir apa dampak pemakaian popok sekali pakai, memilih berjalan kaki daripada naik sepeda motor untuk ke toko yang jaraknya kurang dari 500 meter dari rumah, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, dan banyak lagi.
Contoh sederhana adalah soal popok sekali pakai. Bila satu anak menghabiskan minimal 3 popok sehari, maka di 4 tahun pertama kehidupannya akan menghabiskan 4.380 popok.Â
Bila Jakarta punya 3.000 balita yang orang tuanya lebih memilih popok sekali pakai dengan alasan praktis dan modern, maka akan ada 3.285.000 sampah popok dan fesesnya yang tersebar di TPA Bantargebang dan muara-muara sungai Jakarta seperti di Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta Utara.Â
Pola pikir modern dan praktis bisa sangat membahayakan lingkungan bila tidak disertai kesadaran bahwa tindakan kita bisa merusak lingkungan. Sampah yang demikian banyak ini tidak seberapa dibanding saat anak generasi alfa itu melahirkan anak generasi berikutnya.Â
Tuntutan kebutuhan semakin besar seiring membludaknya penduduk bumi, sementara itu bumi tetap "segini-gini aja" bahkan cenderung kehilangan daya dukungnya. Anak generasi alfa akan menghadapi kemunduran lingkungan yang lebih sporadis. Mengajarkan mereka bagaimana menerapkan hidup ramah lingkungan tidak cukup dengan retorika, tetapi juga dengan contoh dan melibatkan langsung. Dengan melibatkan langsung, anak akan merasakan susahnya hidup dengan popok kain dan harus mencuci kotak makan demi menyampah dengan plastik sekali pakai. Namun dengan begitu, anak akan belajar untuk rela melakukan sedikit kerepotan demi hidup dengan sedikit sampah daripada hidup praktis tapi menyampah.