Bayangkan sejenak momen itu. Peluit panjang dibunyikan di laga penentuan. Papan skor berpihak pada kita. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Merah Putih benar-benar akan berkibar di panggung termegah, Piala Dunia. Jalanan akan tumpah ruah, tangis haru membasahi pipi jutaan manusia dari Sabang sampai Merauke. Kita akan menjadi satu, larut dalam euforia kolektif yang mungkin belum pernah kita rasakan sebelumnya. Nama-nama para pemain akan dielu-elukan sebagai pahlawan bangsa.
Di tengah gegap gempita itu, di antara riuh terompet dan kibaran bendera, banyak orang mungkin akan membuat nazar. Ada yang berjanji akan lari keliling kota, mentraktir teman sekampung, atau mungkin sekadar membeli jersey orisinal timnas yang harganya selangit itu. Keinginan-keinginan personal yang wajar sebagai bentuk luapan kebahagiaan.
Tapi jika pertanyaan itu diajukan kepada saya, keinginan apa yang akan saya lakukan bila Indonesia bisa lolos? Jawaban saya bukanlah untuk diri sendiri. Nazar saya hanya satu, dan ini adalah sebuah hutang yang belum terbayar.
Jika Indonesia lolos langsung ke Piala Dunia melalui Kualifikasi Putaran Keempat, saya ingin menggunakan seluruh atensi dan euforia bangsa ini untuk satu tujuan: memaksa federasi untuk bersumpah di hadapan seluruh rakyat Indonesia, bahwa mereka akan menuntaskan tragedi Kanjuruhan seadil-adilnya, tanpa ada yang ditutupi.
Sebab, tragedi Kanjuruhan bukanlah sebuah anomali yang berdiri sendiri. Ia adalah puncak gunung es dari dosa-dosa federasi yang sudah menumpuk terlalu lama, menggerogoti jiwa sepak bola kita dari dalam. Selama bertahun-tahun, federasi kita telah menjelma menjadi sebuah entitas yang jauh dari marwahnya. Kursi kepemimpinannya terlalu sering menjadi komoditas politik, sebuah kendaraan untuk menaikkan citra dan pengaruh, bukan sebuah amanah untuk membangun olahraga. Sepak bola dijadikan panggung sandiwara, tempat para elite memoles citra, sementara para aktor utamanya---pemain, pelatih, dan suporter---hanya dianggap sebagai properti pelengkap pertunjukan.
Akibatnya, federasi kita terlalu sering berperan bak event organizer kelas kakap. Fokusnya adalah memastikan acara berjalan meriah, tiket terjual habis, dan sponsor tersenyum puas. Mereka lupa bahwa tugas utama mereka bukanlah menggelar pesta, melainkan membangun rumah. Rumah bernama sepak bola Indonesia, yang fondasinya adalah pembinaan usia dini yang terstruktur, kompetisi yang bersih dan berjenjang, serta kurikulum yang jelas untuk generasi mendatang. Alih-alih membangun mimpi anak-anak di pelosok negeri untuk menjadi pemain profesional, mereka lebih sibuk menjalankan kepentingan bisnis jangka pendek. Mimpi itu dibiarkan tumbuh liar tanpa dipupuk, tanpa dirawat. Maka, ketika 135 nyawa melayang di Kanjuruhan, itu adalah akumulasi dari sistem yang lebih mementingkan keuntungan ketimbang kemanusiaan, yang lebih sibuk berpolitik ketimbang membina.
Mungkin terdengar aneh. Di tengah perayaan terbesar, mengapa harus mengungkit semua luka ini? Justru karena itulah saat yang paling tepat. Tiket Piala Dunia bukanlah sekadar pencapaian olahraga. Ia adalah buah dari doa, dukungan, loyalitas, dan bahkan air mata seluruh suporter di negeri ini. Termasuk doa dan air mata dari 135 jiwa yang berangkat ke stadion untuk mendukung sepak bola, namun tak pernah kembali pulang ke rumah. Kemenangan kita, euforia kita, berdiri di atas fondasi cinta mereka pada sepak bola. Bagaimana mungkin kita bisa dengan nyaman merayakan pesta di ruang tamu, sementara di halaman belakang rumah kita masih ada pusara yang keadilannya belum tuntas diperjuangkan?
Maka, nazar saya bukanlah meminta tiket gratis atau bertemu pemain bintang. Saya ingin melihat tiket emas ke Piala Dunia itu menjadi sebuah pengungkit moral. Di saat seluruh mata bangsa dan dunia tertuju pada mereka, para petinggi federasi tidak akan bisa lagi berkelit. Mereka harus berjanji, disaksikan oleh jutaan pasang mata yang sedang merayakan, untuk membuka kembali semua yang masih gelap dan memastikan tidak akan ada lagi Kanjuruhan-Kanjuruhan lainnya.
Keberhasilan menembus Piala Dunia harus menjadi momentum pemurnian. Sebuah kesempatan untuk membersihkan dosa-dosa masa lalu yang selama ini membebani langkah sepak bola kita. Apalah artinya berlaga di panggung dunia jika kita masih menyimpan hantu tragedi di dalam negeri? Itu akan menjadi sebuah kemenangan yang hampa, sebuah perayaan yang pincang.
Jadi, biarlah yang lain bernazar untuk hal-hal pribadi. Nazar saya adalah untuk mereka yang tak bisa lagi bersorak. Karena kemenangan sejati bukanlah saat bola masuk ke gawang lawan di ajang Piala Dunia, melainkan saat setiap suporter yang berangkat ke stadion dijamin bisa kembali ke pelukan keluarganya dengan selamat. Keadilan untuk Kanjuruhan adalah prasyarat mutlak sebelum kita bisa berpesta dengan hati yang sepenuhnya gembira.