Mohon tunggu...
Edward EfendiSilalahi
Edward EfendiSilalahi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Manajemen di Universitas 17 Agustus 45 Jakarta

Menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang mandiri dan berkelanjutan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rekrutmen Pemimpin Publik dalam Perspektif Manajemen Sumber Daya Manusia

13 Juli 2020   21:58 Diperbarui: 13 Juli 2020   22:03 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Dr. Edward E. Silalahi, MM

Dosen Pengampu Mata Kuliah Kepemimpinan

 

I.A.    Pendahuluan

Dalam mempelajari manejemen sumber daya manusia kita akan mempelajari tahapan-tahapan mulai dari tahap pengetahuan tentang lingkungan sumber daya manusia, analisis perancangan pekerjaan, perencanaan sumber daya manusia (SDM), seleksi dan penempatan, tahap pelatihan, manejemen kinerja, pengembangan SDM, kepemimpinan dalam organisasi, kompensasi dan benefit dan yang terakhir adalah suksesi.

Rekrutmen sumber daya manusia (HR recruitment) didefinisikan sebagai praktik atau aktivitas apapun yang dijalankan oleh organisasi untuk mengidentifikasi dan menarik para karyawan potensial. Aktivitas-aktivitas rekrutmen dirancang untuk mempengaruhi : (1) jumlah orang yang melamar pada lowongan pekerjaan; (2) jenis orang yang melamar, dan atau (3) kemungkinan mereka yang melamar pada lowongan pekerjaan akan menerima berbagai posisi. Jika ditawarkan, sasaran dari program rekrutmen organisasi adalah memastikan bahwa organisasi memiliki sejumlah pelamar yang berkualitas layak agar dapat memilihnya ketika terjadi lowongan pekerjaan.(Noe et al 2008)

Sasaran perekrutan tidak hanya untuk menghasilkan sejumlah besar pelamar. Jika proses itu menghasilkan sejumlah besar pelamar yang tidak berkualifikasi, organisasi akan dikenakan biaya besar dalam seleksi karyawan, tetapi hanya sedikit lowongan pekerjaan akan benar terisi. Masalah tersebut menghasilkan terlalu banyak pelamar yang sering diberitahukan melalui penggunaan berbagai tehnologi yang berjangkauan luas, seperti internet, agar dapat menjangkau orang-orang. Contohnya : ketika trend micro sedang mencoba mengisi posisi pimpinan, ini diumumkan melalui beberapa iklan pekerjaan secara online yang mengakibatkan luapan hampir 1000 daftar riwayat hidup.

Sasaran rekrutmen karyawan/pemimpin bukanlah untuk membedakan di antara para pelamar yang berkualifikasi layak. Merekrut dan memilih karyawan / pimpinan baru merupakan proses yang rumit. Setiap tugas sebenarnya cukup sulit dilakukan dengan berhasil, bahkan ketika seseorang terfokus dengan baik. Contohnya, penelitian menunjukkan bahwa para perekrut memberikan sedikit informasi tentang organisasi ketika melakukan berbagai wawancara dengan tujuan ganda (wawancara-wawancara yang terfokus pada merekrut dan memilih para pelamar). Selain itu, para pelamar rupanya mengingat sedikit informasi tentang perekrutan organisasi setelah melakukan wawancara dengan tujuan ganda. Akhirnya para pelamar kurang menanggapi secara positif terhadap seleksi yang sangat terstruktur, tetapi ini justru jenis rekrutmen yang memiliki keabsahan tertinggi dalam membuat keputusan penyaringan yang efektif.

I.B.    Batasan Istilah

Yang dimaksud pemimpin publik dalam materi kuliah ini adalah jabatan-jabatan yang diemban oleh seseorang yang pola rekrutmen dan seleksinya berdasarkan undang-undang dan jabatan dimaksud mempunyai akses dan wewenang kebijakan serta pengaruh kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat dan pemanfaatan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN).

Pemimpin yang dimaksud dalam pola rekrutmen yang akan dibahas adalah jabatan sebagai kepala pemerintahan (baik nasional maupun kepala daerah) dan anggota parlemen (dewan perwakilan rakyat). Lembaga pelaksana rekrutmen pemimpin publik seperti yang dimaksud di atas adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU).

I.C.    Pemahaman Dasar Kepemimpinan

Kerangka kerja dalam mempelajari kepemimpinan dapat merujuk pada pandangan Gibson, Ivancevich, Donelly dan Konopaske (2012:315). Menurut pandangan mereka dapat ditarik hubungan sifat pemimpin, perilaku pemimpin dan variabel situasional. Kerangka kerja tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :


Gambar 1 : Kerangka Kerja Mempelajari Kepemimpinan| Sumber : James L. Gibson, John M. Ivancevich, James H. Donelly, Jr dan Robert Konopaske, Organizations, 2012:315
Gambar 1 : Kerangka Kerja Mempelajari Kepemimpinan| Sumber : James L. Gibson, John M. Ivancevich, James H. Donelly, Jr dan Robert Konopaske, Organizations, 2012:315

Kerangka kerja tersebut menunjukkan bahwa sifat pemimpin mempengaruhi perilaku pemimpin. Sedangkan perilaku pemimpin saling mempengaruhi dengan variabel situasional dan secara bersama-sama memberikan dampak pada hasil yang efektif.

Traits atau sifat pemimpin mencakup ability (kemampuan), personality (kepribadian), dan motivation (motivasi). Sifat pemimpin mempengaruhi perilaku atau behaviour yang mencakup task-oriental (orientasi pada tugas), person-oriented (orientasi pada orang), initiating structure (struktur inisiasi), consideration (pertimbangan), transactional (transaksional), dan transformational (transformasional).

Perilaku pemimpin saling mempengaruhi dengan variabel situasional, sedangkan variabel situasional mencakup follower is need (kebutuhan pengikut), task structure (struktur tugas), position power (kekuasaan atas posisi), leader-follower trust (kepercayaan pemimpin-pengikut), dan group readiness (kesiapan kelompok). Perilaku pemimpin dan variabel situasional secara bersama-sama mempengaruhi effective results atau hasil yang efektif. Hasil yang efektif dapat ditunjukkan oleh production (produksi), quality (kualitas), efficiency (efisiensi), flexibility (fleksibilitas), satisfaction (kepuasan), competitiveness (daya saing), development (pengembangan), dan survival (bertahan hidup).

II.A.  KPU Sebagai Lembaga Pelaksana Rekrutmen

Dalam konteks organisasi bisnis atau organisasi pemerintahan, proses rekrutmen sebagai tahapan manejemen sumber daya manusia setelah melalui tahapan perencanaan SDM, pelaksana rekrutmen adalah suatu kepanitiaan atau suatu bagian dari organisasi yang melakukan rekrutmen. Namun dalam proses rekrutmen pemimpin publik yang terdiri dari kepala pemerintahan, kepala daerah dan anggota parlemen adalah sebuah lembaga otonom yang bernama Komisi Pemilihan Umum dengan dasar proses mereka bekerja adalah undang-undang. Pola rekrutmen yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum untuk menjaring pemimpin publik adalah melalui metoda Pemilihan Umum (PEMILU).

Penyelenggara PEMILU atau metode rekrutmen pemimpin publik adalah lembaga yang menyelenggarakan PEMILU yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggara PEMILU untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih kepala daerah tingkat I (Gubernur) dan kepala daerah tingkat II (Bupati/Walikota). Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga penyelenggara PEMILU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri yang bertugas melaksanakan rekrutmen presiden dan wakilnya serta kepala daerah.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi adalah penyelenggara PEMILU yang bertugas melaksanakan PEMILU di provinsi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/kota, adalah penyelenggara PEMILU yang bertugas melaksanakan PEMILU di kabupaten/kota. Panitia pemilihan kecamatan, adalah panitia yang dibentuk KPU kabupaten/kota untuk melaksanakan PEMILU di tingkat kecamatan. Panitia Pemungutan Suara (PPS) adalah panitia yang dibentuk oleh KPU kabupaten/kota untuk melaksanakan PEMILU di tingkat desa/kelurahan.

Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) adalah panitia yang dibentuk oleh KPU untuk melaksanakan PEMILU di luar negeri. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) adalah kelompok yang dibentuk oleh PPS untuk melaksanakan pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Tempat Pemungutan Suara (TPS) adalah tempat dilaksanakannya pemungutan suara, Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri (TPSLN) adalah tempat dilaksanakannya pemungutan suara di luar negeri. Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) adalah lembaga penyelenggara PEMILU yang bertugas mengawasi penyelenggaraan PEMILU di seluruh wilayah Indonesia.

Asas penyelenggaraan PEMILU berpedoman pada asas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, akuntabilitas efisiensi dan efektivitas. Wilayah kerja KPU meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. KPU dalam menjalankan tugasnya secara berkesinambungan. Dalam menyelenggarakan PEMILU, KPU bebas dari pengaruh pihak manapun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya.

KPU berkedudukan di ibukota negara, KPU provinsi berkedudukan di ibukota provinsi dan KPU kabupaten/kota berkedudukan di ibukota kabupaten/kota. KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota bersifat hierarkis dan bersifat tetap. Dalam menyelenggarakan PEMILU sebagai suatu metoda (sistem) atau proses rekrutmen pemimpin publik, KPU mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban yakni : 1) merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal; 2) menyusun dan menetapkan tata kerja; 3) menyusun dan menetapkan pedoman tehnis untuk setiap tahapan PEMILU setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah; 4) mengkoordinasikan, menyelenggarakan dan mengendalikan semua tahapan PEMILU; 5) menerima daftar pemilih dari KPU provinsi; 6) memutahirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh pemerintah dengan memperhatikan data PEMILU pemilihan gubernur, bupati dan walikota terakhir; 7) menetapkan peserta PEMILU.

Tugas, wewenang dan kewajiban lainya dari KPU dalam menyelenggarakan proses PEMILU adalah :

1)   Menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara tingkat nasional berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di KPU provinsi;

2)   Membuat berita acara penghitungan suara serta wajib menyerahkannya kepada saksi peserta PEMILU dan BAWASLU;

3)   Menerbitkan keputusan untuk mengesahkan hasil PEMILU dan mengumumkannya;

4)   Menetapkan dan mengumumkan perolehan jumlah kursi anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota;

5)   Mengumumkan calon anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah Terpilih;

6)   Menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan pendistribusian perlengkapan PEMILU;

7)   Menindaklanjuti lanjutan rekomendasi BAWASLU atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran PEMILU;

8)   Mengenakan sanksi administratif atau menon-aktifkan sementara anggota KPU provinsi, anggota KPU kabupaten/kota, anggota PPLN, anggota KPPSLN atau staf dari kesekretariatan yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan PEMILU berdasarkan rekomendasi BAWASLU.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pemilihan umum anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah, pemilihan presiden dan wakil presiden, dan pemilihan gubernur, bupati dan walikota berkewajiban melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan PEMILU secara tepat waktu, memperlakukan peserta PEMILU, pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan gubernur dan bupati/walikota secara adil dan setara.

Kewajiban lain dari KPU dalam penyelenggaraan PEMILU, yakni : 1) menyampaikan semua informasi penyelenggaraan PEMILU kepada masyarakat; 2) melaporkan pertanggung-jawaban penggunaan anggaran sesuai dengan ketentuan; 3) mengelola, memilihara, dan merawat arsip/dokumen serta melaksanakan penyusutannya; 4) mengelola barang inventaris KPU; 5) melaporkan secara periodik mengenai tahapan penyelenggaraan PEMILU kepada presiden dan DPR; 6) menyediakan data hasil PEMILU secara nasional.

II.B.  PEMILU Sebagai Metode atau Sistem Rekrutmen

Dalam kehidupan berorganisasi sering kita mendengar dan menganggap bahwa organisasi akan berjalan dengan baik dan seimbang dalam rangka pencapaian tujuan harus didukung sistem yang baik, kadang kala orang menganggap bahwa kemacetan roda organisasi sering dipersepsikan sebagai kemacetan sistem atau tidak adanya sistem yang baik dan memadai dalam menunjang kegiatan organisasi.

Dalam kegiatan organisasi pemakaian istilah sistem lebih dikenal dengan memahami beberapa komponen yang menggambarkan prosedur interaksi antara komponen yang satu dengan komponen yang lain. Keterkaitan tersebut menunjukkan ada hubungannya antara komponen atau sub sistem dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Kegiatan efektif dapat dilihat bagaimana sub sistem atau komponen bekerja dan berinteraksi sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Evans dan Lindsay (2008) menyatakan ".....succesful management relies on a sysmtems perspective, one of the most important elements of total quality". Keberhasilan kepemimpinan (manejemen) dalam perspektif organisasi yang tak kalah penting adalah bekerjanya seluruh sistem sebagai kegiatan organisasi yang terdiri dari sub sistem sampai ke supra sistem. Kegiatan organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai bidang keahlian masing-masing dan bagian-bagian tersebut nanti menjadi bagian yang terkecil, sehingga nanti apabila diuraikan lagi akan menjadi unit yang terkecil.

Jika kita analogikan teori sistem yang dikemukakan Evans dan Lindsay ini kepada organisasi KPU sebagai lembaga rekrutmen pemimpin publik, maka bekerjanya sistem atau roda organisasi KPU dapat dilihat dari tata kerja, tugas, wewenang dan kewajibannya. KPU sebagai suatu sistem adalah satu kesatuan antara KPU pusat, KPU provinsi, KPU kabupaten, KPU kota, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) sampai kepada Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) untuk melaksanakan pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara atau TPS.

Metode atau sistem rekrutmen pemimpin publik di Indonesia adalah melalui mekanisme Pemilihan Umum (PEMILU). Sistem PEMILU sesuai teori demokrasi klasik adalah sebuah "transmission of belt" sehingga kekuasaan yang berasal dari rakyat bisa bergeser menjadi kekuasaan negara yang kemudian berubah bentuk menjadi wewenang pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan dan memimpin rakyat.

Sistem PEMILU merupakan metode yang mengantar serta memungkinkan warga negara memilih para wakilnya di antara mereka sendiri. Metode berhubungan erat dengan aturan atau prosedur merubah atau mentransformasikan suara ke kursi di parlemen. Mereka sendiri, maksudnya yang memilih dan dipilih juga merupakan bagian dari sebuah entitas yang sama. Terdapat bagian-bagian atau komponen-komponen yang merupakan sistem itu sendiri dalam melaksanakan PEMILU di antaranya : 1) sistem hak pilih; 2) sistem pembagian daerah pemilihan; 3) sistem pemilihan; 4) sistem pencalonan.

Terdapat beberapa sistem PEMILU yang berbeda-beda dan memiliki ciri khas masing-masing, akan tetapi pada umumnya berpegang pada 2 (dua) prinsip pokok yaitu sistem pemilihan mekanis dan sistem pemilihan organis. Sistem pemilihan mekanis, rakyat dianggap sebagai suatu massa individu-individu yang sama, individu-individu inilah sebagai pengendali hak pilih masing-masing dalam mengeluarkan suatu suara di tiap pemilihan umum untuk satu lembaga perwakilan. Sedangkan sistem pemilihan organis, rakyat dianggap sebagai sekelompok individu yang hidup bersama-sama dalam beraneka ragam persekutuan hidup. Jadi persekutuan-persekutuan inilah yang diutamakan menjadi pengendali hak pilih.

PEMILU atau pemilihan umum adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik (publik) tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, PEMILU dapat juga proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua RT, ketua paguyuban kegiatan sosial.

Beberapa ahli mendefinisikan PEMILU, yakni Ramlan (1992:181) menyebutkan PEMILU adalah mekanisme penyelesaian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercaya.

Sementara Suryo Untoro menyatakan bahwa pemilihan umum (PEMILU) adalah suatu pemilihan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih, untuk memilih wakil-wakilnya yang akan duduk dalam badan perwakil rakyat, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Tingkat I dan Tingkat II.

Definisi PEMILU yang disampaikan Harris G. Warren, et.al menyatakan "elections are the accestions when citizens determine what rights they want to have and keep".

Dieter Nohlen mendefinisikan sistem PEMILU ".....segala proses yang berhubungan dengan hak pilih, administrasi pemilihan dan perilaku pemilih, dengan cara mana pemilih dapat mengekspresikan pilihan politiknya melalui pemberian suara, di mana suara tersebut ditransformasikan menjadi kursi di parlemen atau pejabat publik".

Definisi lain disampaikan oleh Matias Iaryozower and Andrea Mattozzi menyatakan PEMILU adalah ".....menerjemahkan suara yang diberikan pada saat PEMILU menjadi sejumlah kursi yang dimenangkan oleh setiap partai di dewan legislatif nasional. Dengan memastikan bagaimana pilihan pemilih terpetahkan secara baik dalam tiap kebijakan yang dihasilkan, menjadikan sistem PEMILU sebagai lembaga penting dalam demokrasi perwakilan".

II.C.    Jenis-jenis PEMILU

Andrew Reynolds, et.al mengklasifikasikan adanya 4 (empat) sistem PEMILU yang umum dipakai oleh negara-negara di dunia, yaitu : 1) mayoritas atau pluralitas; 2) proporsional; 3) campuran atau mixed, dan 4) other / lainnya.

Gambar 2 : Electoral System| Sumber : Andrew Reynolds, et.al
Gambar 2 : Electoral System| Sumber : Andrew Reynolds, et.al
1.   Mayoritas/Pluralitas

Mayoritas/pluralitas berarti penekanan pada suara terbanyak (mayoritas) dan mayoritas tersebut dari aneka kekuatan (pluralitas). Ragam dari mayoritas/pluralitas adalah first past the post, two round system, alternative vote, block vote dan party block vote.

First past the post - sistem ini ditujukan demi mendekatkan hubungan antara calon legislatif dengan pemilih. Kedekatan ini akibat daerah pemilihan yang relatif kecil (distrik). Sebab itu, first past the post kerap disebut sistem pemilu distrik. Wilayah distrik kira-kira sama dengan satu kota (misalnya : kota Depok, kota Bekasi, Kota Bogor dan sejenisnya). Kecilnya wilayah yang diwakili, membuat warga kota mengenal siapa calon legislatifnya. Jika sang calon legislatif menang pemilu, maka warga kota mudah melihat kinerjanya.

mayoritas/pluralitas menghendaki sistem kepartaian yang relatif kecil, misalnya 2 partai. Dengan sistem 2 partai, masing-masing distrik diwakili oleh 2 calon yang berbeda partai di mana mereka berkompetisi. Distrik tersebut nantinya hanya diwakili oleh 1 wakil. Proses penghitungan suara pun mudah. Partai terbanyak otomatis memenangkan pemilu. Kekurangannya, suara pihak yang kalah terbuang begitu saja. Negara dengan sistem multipartai menolak pemberlakuan sistem ini oleh sebab suara yang kalah terbuang tersebut. Kelemahan lain sistem ini, membuat suara kelompok atau partai kecil menjadi tidak berarti.

Kelebihan first past the post adalah dapat mengkonsolidasi dan membatasi jumlah partai, cenderung menghasilkan pemerintahan kuat dari satu partai, mendorong munculnya oposisi, memungkinkan hadirnya kandidat independen dan sistem ini cukup sederhana serta mudah dimengeri pemilih. Kelemahan first past the post adalah banyak suara terbuang, menghalangi perkembangan multipartai yang plural, dan mendorong tumbuhnya partai etnis/kesukuan.

Block vote - sistem ini adalah penerapan pluralitas suara dalam distrik dengan lebih dari 1 wakil. Pemilih punya banyak suara sebanding dengan kursi yang harus dipenuhi di distriknya, juga mereka bebas memilih calon terlepas dari afiliasi partai politiknya. Mereka boleh menggunakan banyak pilihan atau sedikit pilihan, sesuai kemauan pemilih sendiri.

Block vote biasa digunakan di negara dengan partai politik yang lemah atau tidak ada. Tahun 2004, kepulauan Cayman, kepulauan Falkland, Guernsey, Kuwait, Laos, Libanon, Maldives, Palestina, Suriah, Tonga, dan Tuvalu menggunakan sistem pemilu ini. Sistem ini juga pernah digunakan di Yordania (1989), Mongolia (1992), dan Filipina serta Thailand hingga tahun 1997.

Kelebihan sistem ini adalah, memberikan keleluasan bagi pemilih untuk menentukan pilihannya. Sistem ini juga menguntungkan partai-partai yang punya basis koherensi anggota dan organisasi yang kuat. Kekurangannya adalah, sistem ini bisa menunjukkan hasil yang sulit diprediksi. Misalnya, saat pemilih memberikan semua suara kepada semua calon dari satu partai yang sama, maka ini membuat kelemahan first past the post tampak. Partai atau kepemimpinan selain partai tersebut menjadi terabaikan. Selain itu, oleh sebab setiap partai boleh mencalonkan lebih dari 1 calon, maka terdapat kompetisi internal partai dari masing-masing calon untuk memperoleh dukungan pemilih.

Party block vote - esensi party block vote sama dengan first past the post, bedanya setiap distrik partai punya lebih dari 1 calon. Partai mencantumkan beberapa calon legislatif dalam surat suara. Pemilih cuma punya 1 suara. Partai yang punya suara terbanyak di distrik tersebut, memenangkan pemilihan. Caleg yang tercantum di surat suara otomatis terpilih pula. Sistem ini digunakan di Kamerun, Chad, Jibouti, dan Singapura.

Kelebihan party block vote adalah mudah digunakan, menghendaki partai yang kuat, dan memungkinkan partai-partai memilih caleg yang merepresentasikan kalangan minoritas. Kelemahan dari party block vote adalah banyak suara yang terbuang dan kemungkinan adanya sejumlah kelompok minoritas yang sama sekali tidak punya wakil di parlemen.

Alternate vote - alternate vote sama dengan first past the post sebab dari setiap distrik dipilih satu orang wakil saja. Bedanya, dalam alternate vote pemilih melakukan rangking terhadap calon-calon yang ada di surat suara (ballot). Misalnya rangking 1 bagi favoritnya, rangking 2 bagi pilihan keduanya, rangking 3 bagi pilihan ketiga, dan seterusnya. Alternate vote sebab itu memungkinkan pemilih mengekspresikan pilihan mereka di antara kandidat yang ada, ketimbang cuma memilih 1 saja seperti di first past the post.

Alverate vote juga berbeda first past the post dalam hal perhitungan suara. Jika first past the post ada 1 calon yang memperoleh 50% suara plus 1, maka otomatis dia memenangkan pemilu distrik. Dalam alverate vote, calon dengan jumlah pilihan rangking 1 yang terendah, tersingkir dari perhitungan suara. Lalu, ia kembali diuji untuk pilihan rangking 2-nya, yang jika kemudian terendah menjadi tersingkir. Setiap surat suara kemudian diperiksa hingga tinggal calon tersisa yang punya rangking tinggi dalam surat (ballot) suara. Proses ini terus diulangi hingga tinggal 1 calon yang punya suara mayoritas absolut, dan ia pun menjadi wakil distrik. Alverate vote, sebab itu, merupakan sistem pemilu mayoritas. Sistem pemilu alverate vote digunakan di Fiji dan Papua Nugini.

Kelebihan alverate vote adalah memungkinkan pilihan atas sejumlah calon berakumulasi, hingga kepentingan yang berbeda tapi berhubungan dapat dikombinasi guna memperoleh perwakilan. Alverate vote juga memungkinkan pendukung tiap calon yang tipis harapan menangnya untuk tetap punya pengaruh lewat rangking ke-2 dan seterusnya. Sebab itu, Alverate vote menghendaki kandidat harus bisa menarik simpati pemilih dari luar partainya. Pemilih dari luar partainya adalah pemilih potensial, yang akan menaruh si calon di rangking ke-2 dan seterusnya. Kelemahan Alverate vote adalah, ia menghendaki tingkat baca tulis huruf dan angka yang tinggi di kalangan pemilih, di samping kemampuan pemilih untuk menganalisis para calon.

Two round system - two round system adalah sistem mayoritas/pluralitas di mana proses pemilu tahap 2 akan diadakan jika pemilu tahap 1 tidak ada yang memperoleh suara mayoritas yang ditentukan sebelumnya (50%+1). Two round system menggunakan sistem yang sama dengan first past the post (satu distrik satu wakil) atau seperti block vote/party block vote (satu distrik banyak wakil). Dalam two round system, calon atau partai yang menerima proporsi suara tertentu memenangkan pemilu, tanpa harus diadakan putaran ke-2. Putaran ke-2 hanya diadakan jika suara yang diperoleh pemenang tidak mayoritas.

Jika diadakan putaran kedua, maka sistem two round system ini bervariasi. Sistem yang umum adalah, mereka yang ikut serta adalah calon-calon dengan suara terbanyak pertama dan kedua putaran pertama. Ini disebut majority run-off, dan akan menghasilkan suara mayoritas bulan (50%+1). Sistem lainnya diterapkan di Perancis, di mana dalam putaran kedua, calon yang boleh ikut adalah yang memperoleh lebih dari 12,5% suara di putaran pertama. Siapapun yang memenangkan suara terbanyak di putaran kedua, ia menang, meskipun tidak 50%+1 (mayoritas). Negara-negara yang menggunakan two round system adalah Perancis, Republik Afrika Tengah, Kongo, Gabon, Mali, Mauritania, Togo, Mesir, Haiti, Iran, Kiribati, Vietnam, Belarusia, Kyrgyztan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.

2.   Proporsional

Dasar pemikiran proporsional adalah kesadaran untuk menerjemahkan penyebaran suara pemilih bagi setiap partai menurut proporsi kursi yang ada di legislatif. Sistem pemilu proporsional terbagi 2, yaitu proporsional daftar dan single transferable vote (STV). Sistem proporsional paling banyak digunakan, yaitu 72 negara (proporsional daftar) dan 4 negara (single transferred vote). Proporsional membutuhkan satu distrik lebih dari satu member.

Proporsional dipilih oleh sebab punya kelebihan :

1.   secara konsisten mengubah setiap suara menjadi kursi yang dimenangkan, dan sebab itu menghilangkan "ketidakadilan" seperti sistem mayoritas/pluralitas yang "membuang" suara kalah.

2.   mewujudkan formasi calon dari partai-partai politik atau yang kelompok yang satu "satu ide" untuk dicantumkan di daftar calon, dan ini mengurangi perbedaan kebijakan, ideologi, atau kepemimpinan dalam masyarakat.

3.   mampu mengangkat suara yang kalah (bergantung threshold).

4.   memfasilitasi partai-partai minoritas untuk punya wakil di parlemen.

5.   membuat partai-partai politik berkampanye di luar "basis wilayahnya".

6.   memungkinkan tumbuh dan stabilnya kebijakan, oleh sebab proporsional menuntun pada kesinambungan pemerintahan, partipasi pemilih dan penampilan ekonomi.

7.   memungkinkan partai-partai politik dan kelompok kepentingan saling berbagi kekuasaan.

Ada kelebihan, tentu ada kekurangan. Kekurangan dari sistem proporsional adalah sebagai berikut :

1.   menyebabkan munculnya pemerintahan berdasarkan koalisi, sehingga kadang kebijakan-kebijakan menjadi tidak koheren.

2.   mampu menyebabkan fragmentasi partai-partai politik, di mana partai minoritas mampu memainkan peran besar dalam tiap koalisi yang dbuat.

3.   mampu memunculkan partai-partai ekstrim (kiri maupun kanan).

4.   sistem ini cukup rumit (terutama dalam penanggulangan "suara sisa").

Beberapa sistem pemilu yang masuk kategori proporsional adalah :

1.   Proporsional daftar. Setiap partai memuat daftar calon-calon bagi setiap daerah/distrik pemilihan. Calon diurut berdasarkan nomor (1,2,3, dan seterusnya). Pemilih memilih partai, dan partai menerima kursi secara proporsional dari total suara yang dihasilkan. Calon yang nantinya duduk diambil dari yang ada di daftar tersebut. Jika kursi hanya mencukupi untuk 1 calon, maka calon nomor urut 1 saja yang masuk ke parlemen.

      Kelebihan dari proporsional daftar adalah memungkinkan kelompok/budaya minoritas untuk terwakili di parlemen. Proporsional daftar juga memungkinkan calon perempuan untuk terpilih. Kelemahan proporsional daftar adalah lemahnya hubungan antara legislatif terpilih dengan pemilihnya oleh sebab partai yang memilihkan mereka di dalam daftarnya. Proporsional daftar juga membuat kantor pusat partai (DPP) memiliki kekuasaan besar untuk menentukan siapa anggota partai yang masuk ke dalam daftar. Akhirnya, proporsional daftar sukar dilaksanakan di negara yang tradisi partainya kurang kuat.

2.   Single transferable vote. Single transverable vote (STV) banyak dinyatakan sebagai sistem pemilu yang menarik. STV menggunakan satu distrik lebih dari satu wakil, dan pemilih merangking calon menurut pilihannya di kertas suara seperti pada alternate vote. Dalam memilih, pemilih dibebaskan untuk merangking ataupun cukup memilih satu saja. Sistem ini dipakai di Malta dan Republik Irlandia.

      Meskipun STV didesain untuk hasil yang lebih proporsional, adalah mungkin terjadi ketidakproporsionalan begitu besar di distrik dengan satu wakil, sehingga kursi yang terdaftar tidak cukup untuk mengkompensasikannya.

3.   Paralel. Sistem paralel secara berbarengan memakai sistem proporsional dan mayoritas/pluralitas, tetapi tidak seperti MMP, komponen proporsional tidak mengkompensasikan sisa suara bagi distrik yang menggunakan mayoritas/pluralitas. Pada sistem paralel, seperti juga pada MMP, setiap pemilih mungkin menerima hanya satu surat suara yang digunakan untuk memilih calon ataupun partai (Korea Selatan) atau surat suara terpisah, satu untuk kursi mayoritas/pluralitas dan satunya untuk kursi proporsional (Jepang, Lithuania, dan Thailand).

      Sistem paralel kini dipakai 21 negara. Armenia, Conakry, Jepang, Korea Selatan, Pakistan, Filipina, Russia, Eychelles, Thailand, Timor Leste, dan Ukraina menggunakan FPTP satu distrik satu wakil bersama dengan komponen proporsional daftar, sementara Azerbaijan, Georgia, Kazakhstan, Lithuania, dan Tajikistan menggunakan two round system untuk distrik satu wakil untuk sistemnya.

      Kelebihan sistem paralel adalah dalam hal ketidakproporsional, sistem ini memberikan hasil antara mayoritas/pluralitas murni dan proporsional murni. Satu keuntungannya adalah tatkala cukup kursi proporsional, partai kecil minoritas yang kurang sukses di pemilihan mayoritas/pluralitas tetap dianugerahi kursi melalui sistem proporsional atas setiap suara yang diperoleh. Sebagai tambahan, sistem paralel secara teoritis, kurang menciptakan fragmentasi partai ketimbang sistem pemilihan murni proporsional. Kelemahan sistem paralel adalah sebagaimana terjadi dengan MMP, akan menciptakan dua kategori wakil rakyat. Juga sistem ini tidak menjamin keproporsionalan dan sejumlah partai kemungkinan akan tetap kehilangan representasi kendatipun memenangkan jumlah suara secara substansial. Sistem paralel juga relatif rumit dan membuat pemilih bingung sebagaimana ini juga menimpa para panitianya.

3.   Sistem Campuran/Mixed

Sistem campuran bertujuan memadukan ciri-ciri positif yang berasal dari mayoritas/pluralitas ataupun proporsional. Dalam sistem campuran, terdapat 2 sistem pemilu yang jalan beriringan, meski masing-masing menggunakan metodenya sendiri. Suara diberikan oleh pemilih yang sama dan dikontribusikan pada pemilihan wakil rakyat di bawah kedua sistem tersebut. Satu menggunakan sistem mayoritas/pluralitas (atau biasanya sistem lainnya/other), biasanya berupa satu distrik satu wakil, dan lainnya adalah proporsional daftar.

Terdapat 2 bentuk sistem campuran yaitu mixed member proportional (MMP) dan paralel. Jika hasil dari dua sistem pemilihan dihubungkan, dengan alokasi kursi di sisi sistem proporsional bergantung pada apa yang terjadi di sistem mayoritas/pluralitas, sistem tersebut dinamai mixed member proportional (MMP). Jika 2 perangkat sistem pemilihan tiada berhubungan dan dibedakan, dan satu sama lain tiada saling bergantung, maka sistem tersebut dinamai paralel.

Mixed member proportional - di bawah sistem MMP, kursi sistem proporsional dianugerahkan bagi setiap hasil yang dianggap tidak proporsional. Contohnya, jika satu partai memenangkan 10% suara secara nasional, tetapi tidak memperoleh kursi di distrik/daerah, lalu partai itu akan dianugerahkan kursi yang cukup dari daftar proporsional guna membuat partai tersebut punya 10% kursi di legislatif. Pemilih mungkin punya 2 pilihan terpisah, sebagaimana di Jerman dan Selandia Baru. Alternatifnya, pemilih mungkin membuat hanya 1 pilihan, dengan total partai diturunkan dari total calon tiap distrik.

MMP digunakan di Albania, Bolivia, Jerman, Hungaria, Italia, Lesotho, Meksiko, Selandia Baru, dan Venezuela. Di negara-negara ini, kursi distrik dipilih menggunakan FPTP. Hungaria menggunakan TRS dan metode Italia lebih rumit lagi, seperempat kursi di majelis rendah dicadangkan untuk mengkompensasikan suara terbuang di distrik-distrik dengan satu wakil.

4.   Sistem Lainnya/Other System

Sebagai tambahan bagi mayoritas/pluralitas, proporsional, dan sistem campuran, adalah pula terdapat sejumlah sistem lain yang tidak termasuk ke dalam kategori ini. Di antaranya adalah single non transferable vote (SNTV), limited vote (LV) dan borda count (BC). Sistem-sistem ini masuk kategori lainnya, dan cenderung menerjemahkan perhitungan suara menjadi kursi dengan cara yang berkisar pada sistem proporsional dan mayoritas/pluralitas.

Single non transferable vote - di dalam SNTV, setiap pemilih memiliki satu suara bagi tiap calon, tetapi (tidak seperti FPTP) adalah lebih dari satu kursi yang harus diisi di tiap distrik pemilihan. Calon-calon dengan total suara tertinggi mengisi posisi.

SNTV menantang partai politik. Contohnya, distrik dengan 4 wakil, kandidat dengan 20% suara dijamin memenangkan kursi. Sebuah partai dengan 50% suara dapat berharap memenangkan 2 kursi di distrik dengan 4 wakil. Jika tiap kandidat mengumpulkan 25% suara, mereka masuk sebagai wakil distrik. Jika, bagaimanapun, satu kandidat mengumpulkan 40% suara dan kandidat lain 10%, kandidat kedua tersebut kemungkinan tidak terpilih. Jika partai mencantumkan 3 kandidat, bahaya "vote-splitting" akan terjadi dan partai cuma memperoleh 2 kursi saja.

Kini, SNTV digunakan untuk pemilihan badan legislatif di Afganistan, Yordania, Kepulauan Pitcairn dan Vanuatu, untuk pemilihan dewan perwakilan daerah di Indonesia dan Thailand, serta 176 dari 225 kursi di Taiwan yang menggunakan sistem paralel.

Kelebihan SNTV adalah kemampuan memfasilitasi perwakilan partai minoritas dan calon independen. Semakin besar jumlah kursi, semakin sistem ini menjadi proporsional. Di Yordania, SNTV memungkinkan kandidat non partai yang populer untuk terpilih. Sistem ini menjadikan partai terorganisir dan menyuruh pemilih memberikan suaranya kepada partai lain yang lebih berpotensi memenangkan suara dan ujungnya, menciptakan satu partai dominan. Selain itu, SNTV dinyatakan sebagai mudah digunakan.

Kelemahan SNTV adalah, partai kecil yang suaranya tersebar mungkin saja tidak akan memenangkan kursi, dan partai besar menerima sejumlah kursi "bonus" yang membuat pluralitas pemberi suara secara nasional berubah menjadi mayoritas di legislatif. Meskipun keproporsionalan sistem ini dapat meningkat dengan cara menambah jumlah kursi yang harus diisi di dalam distrik-distrik lebih dari 1 wakil, ini memperlemah pemilih. Kelemahan lain adalah partai perlu mempertimbangkan strategi yang rumit seputar manejemen nominasi calon dan pemberian suara.

Limited vote - limited vote (LV) seperti SNTV, adalah sistem mayoritas/pluralitas yang digunakan untuk distrik-distrik dengan lebih dari satu wakil. Tidak seperti SNTV, pemilih punya lebih dari satu suara. Perhitungan identik dengan SNTV, di mana kandidat dengan total suara tertinggi memenangkan kursi.

Sistem ini digunakan bagi pemilihan tingkat lokal yang beragam, tetapi aplikasinya di tingkat nasional terbatas seperti di Gibraltas dan Spanyol, di mana ia gunakan untuk memilih Senat Spanyol sejak 1977. Dalam kasus ini, sistem distrik dengan lebih dari satu wakil, setiap pemilih punya satu suara, kurang dari jumlah wakil rakyat yang nantinya dipilih.

Kelebihan sistem ini, seperti SNTV, LV adalah mudah bagi para pemilih dan relatif mudah dihitung. Kelemahannya, ia cenderung menghasilkan hasil yang kurang proporsional ketimbang SNTV. Selain itu, ia juga berakibat pada kompetisi internal partai, klintelisme dalam politik (sama dengan SNTV).

III.A.  Sistem PEMILU di Indonesia

Bangsa Indonesia telah menyelenggarakan pemilu sejak zaman kemerdekaan. Semua pemilu itu tidak diselenggarakan dalam kondisi yang vacuum, tetapi berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilu tersebut. Dari pemilu yang telah diselenggarakan dapat diketahui adanya upaya untuk menemukan sistem pemilu yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia.


1.   Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959)

Pada masa ini pemilu diselenggarakan oleh kabinet BH-Baharuddin Harahap (tahun 1995). Pada pemilu ini pemungutan suara dilaksanakan 2 kali yaitu yang pertama untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan September dan yang kedua untuk memilih Anggota Konstituante pada bulan Desember. Sistem yang diterapkan pada pemilu ini adalah sistem pemilu proporsional.

Pelaksanaan pemilu pertama ini berlangsung dengan demokratis dan khidmat, tidak ada pembatasan partai politik dan tidak ada upaya dari pemerintah mengadakan intervensi atau campur tangan terhadap partai politik dan kampanye berjalan menarik. Pemilu ini diikuti 27 partai dan satu perorangan.

Akan tetapi stabilitas politik yang begitu diharapkan dari pemilu tidak tercapai. Kabinet Ali (I dan II) yang terdiri atas koalisi tiga besar : NU, PNI, dan Masyumi terbukti tidak sejalan dalam menghadapi beberapa masalah terutama yang berkaitan dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman demokrasi parlementer berakhir.

2.   Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Setelah pencabutan maklumat pemerintah pada November 1945 tentang keleluasaan untuk mendirikan partai politik, Presiden Soekarno mengurangi jumlah partai politik menjadi 10 partai politik. Pada periode demokrasi terpimpin tidak diselenggarakan pemilihan umum.

3.   Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)

Setelah turunnya era demokrasi terpimpin yang semi-otoriter, rakyat berharap bisa merasakan sebuah sistem politik yang demokratis dan stabil. Upaya yang ditempuh untuk mencapai keinginan tersebut di antaranya melakukan berbagai forum diskusi yang membicarakan tentang sistem distrik yang terdengar baru di telinga bangsa Indonesia.

Pendapat yang dihasilkan dari forum diskusi ini menyatakan bahwa sistem distrik dapat menekan jumlah partai politik secara alamiah tanpa paksaan, dengan tujuan partai-partai kecil akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam upaya meraih kursi dalam sebuah distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan menciptakan stabilitas politik dan pemerintah akan lebih kuat dalam melaksanakan program-programnya, terutama di bidang ekonomi.

Karena gagal menyederhanakan jumlah partai politik lewat sistem pemilihan umum, Presiden Soeharto melakukan beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan kepartaian. Tindakan pertama yang dijalankan adalah mengadakan fusi atau penggabungan di antara partai politik, mengelompokkan partai-partai menjadi tiga golongan yakni Golongan Karya (GOLKAR), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan Spiritual (PPP). Pemilu tahun 1977 diadakan dengan menyertakan tiga partai, dan hasilnya perolehan suara terbanyak selalu diraih GOLKAR.

4.   Zaman Reformasi (1998-sekarang)

Pada masa reformasi 1998, terjadilah liberasasi di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik Indonesia merasakan dampak serupa dengan diberikannya ruang bagi masyarakat untuk merepresentasikan politik mereka dengan memiliki hak mendirikan partai politik. Banyak sekali partai politik yang berdiri di era awal reformasi. Pada pemilu 1999 partai politik yang lolos verifikasi dan berhak mengikuti pemilu ada 48 partai. Jumlah ini tentu sangat jauh berbeda dengan era orba.

Pada tahun 2004 peserta pemilu berkurang dari 48 menjadi 24 partai politik saja. Ini disebabkan telah diberlakukannya ambang batas (electoral threshold) sesuai UU No. 3/1999 tentang PEMILU yang mengatur bahwa partai politik yang berhak mengikuti pemilu selanjutnya adalah partai politik yang meraih sekurang-kurangnya 2% dari jumlah kursi DPR. Partai politik yang tidak mencapai ambang batas boleh mengikuti pemilu selanjutnya dengan cara bergabung dengan partai lainnya dan mendirikan partai politik baru.

Untuk partai politik baru, persentase threshold dapat dinaikkan jika dirasa perlu seperti persentasi electroral threshold 2009 menjadi 3% setelah sebelumnya pemilu 2004 hanya 2%. Begitu juga selanjutnya pemilu 20014 ambang batas bisa juga dinaikkan lagi atau diturunkan.

Makna pemilu di Indonesia mempunyai beberapa perspektif. Dari perspektif tujuan, pemilu adalah alat pemindahan konflik dari masyarakat kepada perwakilan politik agar integrasi masyarakat tetap terjamin. Sebab sumber dari calon pejabat publik yang akan direkrut dan diseleksi adalah berasal dari partai politik. Partai politik adalah satu-satunya sumber rekrutmen dari awal sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia, meskipun belakangan ini telah dimungkinkan calon independen tanpa melalui partai politik.

Dari perspektif perkembangan negara, sebagai alat membenarkan rezim yang berkuasa. Dari perspektif demokrasi, sebagai upaya meyakinkan dan melibatkan individu dalam proses politik. Indonesia telah menetapkan sistem pemilu proporsional, bukan sistem distrik, karena sistem distrik mempunyai beberapa kelemahan, yakni : 1) partai yang kalah akan kehilangan suara; 2) lebih memperjuangkan kepentingan distrik; 3) memudahkan terjadinya pengkotakan etnis dan agama; 4) mendorong terjadinya dis-integrasi. Meskipun demikian sistem distrik juga mempunyai kelebihan, yakni : 1) fragmentasi atau kecenderungan untuk membentuk partai politik dapat dibendung; 2) dapat mendorong penyederhanaan partai politik tanpa paksaan; 3) wakil distrik yang duduk di DPR lebih dekat dengan rakyat pemilihnya; 4) lebih aspiratif dan dapat memperjuangkan rakyat pemilihnya.

Sistem proporsional yang dianut pemilu di Indonesia adalah satu wilayah (daerah pemilihan) memilih beberapa wakil (multi-member constituency) yang jumlahnya ditentukan berdasarkan rasio, misalnya : 1:400.000, artinya 1 wakil dipilih oleh 400.000 orang pemilih.

Keuntungan sistem proporsional ialah : 1) lebih demokratis, karena menggunakan asas one man one vote; 2) tidak ada suara yang hilang, karena lebih bersifat representatif; 3) lebih mengutamakan kepentingan nasional dari pada kepentingan distrik/daerah; 4) kualitas wakil rakyat yang duduk di DPR dapat terpantau dan terseleksi dengan baik melalui daftar calon.

Sementara kelemahan sistem proporsional adalah :1) kurang mendorong partai-partai untuk bekerjasama satu sama lain; 2) cenderung mempertajam perbedaan antara partai; 3) cenderung mempertajam perbedaan antar partai; 4) wakil yang terpilih punya kemungkinan tidak mewakili rakyat pemilihnya; 5) kekuatan partai sangat bergantung pada pemimpin partai.

III.B.  Analisis Kontekstual

Sesuai dengan teori rekrutmen yang telah disampaikan Noe et al (2008) pada pendahuluan dimuka yang menyatakan Sasaran perekrutan tidak hanya untuk menghasilkan sejumlah besar pelamar. Jika proses itu menghasilkan sejumlah besar pelamar yang tidak berkualifikasi, organisasi akan dikenakan biaya besar dalam seleksi karyawan, dalam hal ini pemimpin publik, tetapi hanya sedikit lowongan pekerjaan akan benar terisi. Dalam konteks rekrutmen pemimpin publik di indonesia yang mekanisme perekrutan melalui sistem PEMILU dan lembaga rekrutmennya adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Biaya proses rekrutmen di tanggung oleh negara. Negara setiap 5 (lima) tahun sekali telah menyiapkan anggaran proses PEMILU untuk mendapatkan pemimpin publik yang akan menjabat anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I dan II (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Demikian juga biaya rekrutmen untuk pemimpin publik yang akan menjabat Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota, biaya PEMILU dan PEMILUKADAnya telah dianggarkan oleh negara, dalam periodeisasi 5 (lima) tahunan.

Gibson,Ivanceivich dan Donelly (2012:315) dalam teorinya menyatakan Perilaku pemimpin saling mempengaruhi dengan variabel situasional, sedangkan variabel situasional mencakup follower is need (kebutuhan pengikut), task structure (struktur tugas), position power (kekuasaan atas posisi), leader-follower trust (kepercayaan pemimpin-pengikut), dan group readiness (kesiapan kelompok). Perilaku pemimpin dan variabel situasional secara bersama-sama mempengaruhi effective results atau hasil yang efektif. Hasil yang efektif dapat ditunjukkan oleh production (produksi), quality (kualitas), efficiency (efisiensi), flexibility (fleksibilitas), satisfaction (kepuasan), competitiveness (daya saing), development (pengembangan), dan survival (bertahan hidup).

Lebih lanjut Likert (1995:377) menyampaikan empat sistem manajemen kepemimpinan. Likert membagi perilaku atau gaya kepemimpinan menjadi 4 (empat) sistem yakni :

  • Sistem I : Explotaitative Autocratic
    • Perilaku atau gaya kepemimpinan ditunjukkan oleh pemimpin sebagai pihak yang berhak menyelesaikan masalah-masalah dengan berperilaku sebagai salah satunya pengambil keputusan.
      • Sistem II : Benovolent Autocratic
      • Perilaku atau gaya kepemimpinan ini ditunjukkan dengan sudah mulai memberikan kesempatan pada anggota organisasi/bawahan untuk menyampaikan tanggapan terhadap keputusan ataupun perintah pimpinan.
      • Sistem III : Participative
      • Perilaku atau gaya kepemimpinan ini ditunjukkan dengan memberikan kesempatan kepada anggota organisasi ikut serta dalam menerapkan tujuan, membuat keputusan dan mendiskusikan perintah-perintah.
      • Sistem IV : Democratic
      • Perilaku atau gaya kepemimpinan ini ditunjukkan dengan melakukan pemecahan masalah, kebijakan, secara bersama sama antara pimpinan dengan anggota organisasi. Pimpinan sebelum membuat keputusan selalu didahului dengan menghimpun dan mempertimbangkan masukan anggota organisasi.

Dalam konteks kepemimpinan Publik di Indonesia perilaku atau gaya kepemimpinan telah tertuang dalam dasar negara yang terdapat dalam undang-undang dasar 1945 bahwa kepemimpinan pemerintahan dilaksanakan dengan menganut asas demokrasi. Mekanisme pengambilan keputusan dilaksanakan bersama sama antara pemimpin, dalam hal ini presiden dengan yang dipimpin, dalam hal ini rakyat melalui perwakilannya yaitu Dewan Perwakilan Rakyat ditingkat pusat, dan gubernur kepala daerah, Bupati/Walikota kepala daerah dengan rakyat yang diwakili DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II.

Demikian juga dalam menjaring masukan -- masukan sebelum dituangkan dalam kebijakan, pemerintah dalam hal ini pemimpin publik, yakni presiden dan wakil presiden, maupun gubernur, bupati, walikota meminta masukan kepada seluruh elemen masyarakat melalui musyawarah perencanaan pembangunan atau MUSRENBANG yang berjenjang dari mulai tingkat II pemerintahan ke Tingkat I pemerintah dan sampai ke Pemerintah Pusat.

Dari berbagai jenis sistem Pemilihan Umum (PEMILU) yang diuraikan pada halaman halaman sebelumnya diketahui terdapat 4 (empat) sistem PEMILU yang dipakai oleh negara-negara di dunia ini, yaitu : Mayoritas atau Pluralitas, 2) Proporsional, 3) Campuran/Unixed dan 4) Other/Lainnya.

Sistem PEMILU di indonesia adalah menganut sistem PEMILU PROPORSIONAL DAFTAR, setiap partai sebagai kanalisasi dari rakyat/masyarakat yang adalah sumber pemimpin publik, memuat daftar calon calon bagi daerah pemilihan. Calon diurut berdasarkan nomor. Pemilih memilih nama calon dan partai yang mengusungnya dan partai menerima kursi secara proporsional dari total suara yang dihasilkan. Calon pemimpin yang nantinya duduk dalam jabatannya diambil dari yang ada di daftar tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun