Mohon tunggu...
Edi Santoso
Edi Santoso Mohon Tunggu... Dosen - terus belajar pada guru kehidupan

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Jenderal Soedirman.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teori Konspirasi Datang Kembali

14 Mei 2018   09:30 Diperbarui: 14 Mei 2018   10:13 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tangkapan gambar kompas tv

Seperti sudah menjadi satu paket, begitu meledak bom teroris, segera beredar beragam teori konspirasi. Sementara banyak orang perasaanya tersentak, sedih, dan marah, para penggemar teori konspirasi sibuk menyusun puzzle, menyusun cerita tentang siapa di balik peristiwa. Itulah ekses pertama dari kehadiran teori konspirasi saat bencana kemanusiaan datang: tumpulnya rasa dan nurani. 

Kesibukan mereka-reka skenario beserta sutradara peristiwa mengalihkan perhatian mereka dari fakta di depan mata, bahwa ada sekian korban tak berdosa yang bersimbah darah. Mereka seolah sulit membayangkan dan berempati, misalnya, pada anak-anak yang berbaju rapi, riang datang ke gereja untuk berjumpa dengan teman-temannya, namun tiba-tiba,..'duaarrr!'. Anak-anak itu melihat atau bahkan menjadi korban horor yang mengerikan itu. Mereka juga seperti tak tersentuh dengan perasaan seorang istri polisi yang tiba-tiba kehilangan suaminya dengan cara mengenaskan.

Ekses kedua, teori konspirasi mengaburkan fakta nyata tentang realitas sekelompok orang yang bepaham radikal. Karena menempatkan peristiwa dalam satu skenario besar, fokus perhatian penggemar teori konspirasi lebih tertuju pada motif dan dalang peristiwa yang sejatinya absurd. Disebut 'absurd', karena sulit atau tidak/belum pernah dibuktikan. Jadi, mereka mendahulukan dugaan (dzonni) daripada fakta (qoth'i). Bahkan ketika para terpidana teroris itu tertangkap dan kemudian mengaku, sampai ada yang menulis buku testimoni, mereka tak juga merasa risau bahwa paham radikal itu nyata adanya.

Karena melihat masalah pada wilayah imajinasi, mereka tak berpikir tentang solusi. Kehadirannya hanya meramaikan perbincangan yang seringkali memicu ujaran kebencian. Mereka sibuk mencari kambing hitam, sembari mengabaikan kenyataan di depan mata. Tak heran, kalau berbagai program deradikalisasi--apalagi kalau pemerintah yang menginisiasi, akan mendapatkan respon nyinyir. Program deradikaliasi itu bahkan dianggap sebagai bentuk rongrongan terhadap religiusitas ummat.

Kenapa teori konspirasi selalu ada dan bahkan laris manis untuk menjelaskan suatu peristiwa? Menurut berbagai studi, konon secara alamiah manusia memang menyukai struktur. Maksudnya, manusia cenderung memaknai fakta dalam kerangka struktur: semua ada polanya. Pola pikir politik (political mind) juga menjadikan orang berpikir rumit, sebagaimana realitas politik yang penuh intrik. Tak ada peristiwa yang terjadi begitu saja dalam jagat politik. Semua ada sangkut pautnya. Maka jangan heran, kalau kemudian bom Brimob dan bom Surabaya dianggap sebagai bagian dari hajatan politik di negeri ini.

Lalu, apakah semua teori konspirasi itu tak lebih dari omong kosong? Tentu saja tidak! Banyak juga, di kemudian hari, beberapa teori konspirasi terbukti. Tapi ini bukan soal akurasi teori konspirasi, tetapi lebih pada bagaimana kita meletakkan sebuah persoalan. Bahwa selama kita selalu mengedepankan teori ini, bersiaplah kita hidup dalam delusi. Bahwa selama kita selalu berpikir konspiratif, kita akan terjebak dalam bias untuk menyelesaikan sebuah masalah.

Jadi, meskipun dalam hati kecil terbersit dugaan-dugaan konspiratif, lihatlah sebuah peristiwa kemanusiaan dari kacamata kemanusiaan. Logika kemanusiaan selalu berjalan dengan sederhana: bahwa ada orang tak berdosa yang mati sia-sia itu adalah tragedi. Bahwa jika ada orang-orang bodoh yang mengaku beragama kemudian termotivasi melenyapkan nyawa sesama itu adalah ironi.

Jika yang terbangun pertama kali adalah empati, maka yang awal kita lakukan bukan mencari-cari dugaan konspirasi, tapi minimal ungkapan simpati bahwa kita adalah satu manusia, yang akan selalu terkoyak jika ada di antara kita menjadi korban pembunuhan. Syukur-syukur kita bisa membantu, meringankan beban mereka yang kehilangan. 

Bahwa jika yang terjadi sesungguhnya tak selinier peristiwa kemanusiaan, apa kuasa kita? Maka, biar lengkap, kita ungkapkan duka sedalnya bagi mereka yang menjadi korban. Kecaman berat untuk pelaku, juga (terutama) untuk para dalang. Mengutip pendapat Ust Bachtiar Nasir, kalian tak akan bisa lari dari penglihatan (dan hukuman) Tuhan!

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun