Mohon tunggu...
Edrida Pulungan
Edrida Pulungan Mohon Tunggu... Analis Kebijakan - penulis, penikmat travelling dan public speaker

Penulis lifestyle, film, sastra, ekonomi kreatif Perempuan ,Pemuda, Lingkungan dan Hubungan Luar Negeri Pendiri Lentera Pustaka Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Masyarakat Baduy di Roda Zaman: Menyentuh Dunia Hening Tanpa Aksara

22 Maret 2016   20:02 Diperbarui: 23 Maret 2016   13:03 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langkah pertama, akhirnya bus tiba sekitar jam 10.00 wib di perbatasan desa kenekes, lalu saya mengganti rok dengan celana, membeli minuman air mineral disekitar warung yang ada disana, selembar uang 5000 an bertukar menjadi air mineral dingin yang akan mengawali perjalanan saya.

Lalu jalan setapak yang dilewati, menyeberangi sungai kecil, dan setelah itu cuaca cerah dan matahari yang cukup terik menemani perjalanan ini..

Saata saya berjalan kaki dalam perjalanan saya menemukan kayu panjang, lumayan sebagai tongkat pegangan untuk jalan yang menanjak ke atas, lalu saya berjalan terus, didepan saya ada Ziah, saya bilang, yuk pakai kayu ini aja, kita bagi 2. Ini juga kepanjangan"kata saya. Ziah teman saya mengiyakan, lalu kayu panjang terbelah dua, dan kamipun melangkah bersama. Tepat di atas rimbun pepohona, hamparan tanah coklat, birunya langit, serta rumah-rumah penduduk yang terdiri dari daun rumbia dan rotan menjadi latar belakang perjalanan kami bersama,

jepreet.. itulah photo pertama saya diatas bukit baduy, dan selanjutnya saya berjalan bersama Mursid anak dari Alim yang disebut " Ayah Mursid sebagai bagian dari masyarakat Baduy Dalam. Selanjutnye perjalanan saya cukup hening. Saya lebih banyak berdialog dengan hati saya.menikmati langkah kaki-kaki mungil saya yang hening, nafas saya mulai memburu. Saya harus mengatur nafas agar tidak terengah-engah untuk naik keatas

Inilah refleksi perjalanan spiritual dan intelektual yang saya dapatkan ketika berkunjung ke desa kenekes,  Silurrahmi dengan masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar

Indonesia memiliki masyarakat yang memiliki keragaman suku, etnis, budaya dan golongan (masyarakat multikultur) dengan karakter yang berbeda-beda. Keberagaman suku  tersebut tersebar di seluruh nusantara, salah satu  suku tradisional  yang berada di Provinsi Banten adalah suku Baduy. Suku Baduy tersebut mendiami kawasan Pegunungan Keundeng, tepatnya di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Masyarakat Baduy  memiliki tanah adat kurang lebih sekitar 5.108 hektar yang terletak di Pegunungan Keundeng.  Mereka hidup dengan sederhana dan bersahabat dengan alam. dan masih memegang teguh adat tradisi  dari leluhurnya.


Kekhasan yang identik dengan masyarakat suku Baduy karena terbaginya mereka dalam dua kelompok yakni kelompok Baduy Luar atau Urang Panamping yang tinggal disebelah utara Kanekes. Mereka berjumlah sekitar 7 ribuan yang menempati 28 kampung dan 8 anak kampung. Sementara di bagian selatannya dihuni masyarakat Baduy Dalam atau Urang Tangtu. Diperkirakan mereka berjumlah 800an orang yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana. Kedua kelompok ini memang memiliki ciri yang beda. Bila Baduy Dalam memakai pakaian yang biasa dikenakan lebih didominasi warna putih-putih. Sedangkan, Baduy Luar lebih banyak mengenakan pakaian hitam dengan ikat kepala bercorak batik warna biru.

Masyarakat Baduy dalam tinggal di perkampungan  dan hidup dari berhuma dengan cara bercocok tanam dan berladang. Sedangkan  masyarkat Baduy luar memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-harinya dengan menenun dan menjual hasil kerajinan  tenunnya seperti Koja dan Jarog(tas yang terbuat dari kulit kayu), tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung, golok, parang dan berburu.

Kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy memang sangat kental dengan hukum adat Bahkan dalam menjaga kelestarian alam dan hutan sebagai daerah yang nmereka tinggali ,aturan adat mengatur dan memerintahkan mereka untuk selalu memelihara dan menjaga keseimbangan alam, tidak mengubah apalagi merusaknya hanya mengambil secukupnya saja.

 

Masyarakat Baduy juga mengenal tata pemerintahan yang dipercayakan pada pimpinan yang mereka hormati. Masyarakat Baduy sangat taat pada pimpinan yang tertinggi yang disebut Puun. Puun ini bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan kehidupan masyarakat yang menganut ajaran Sunda Wiwitan peninggalan nenek moyangnya. Setiap kampung di Baduy Dalam dipimpin oleh seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan kampungnya. Pucuk pimpinan adat dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung Cikeusik, Puun Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di Cikartawana. Sedangkan wakilnya pimpinan adat ini disebut Jaro Tangtu yang berfungsi sebagai juru bicara dengan pemerintahan desa, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Di Baduy Luar sendiri mengenal sistem pemerintahan kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah yang dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan dan Baris Kokolot.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun