Semenjak saya diamanahi sebagai Wakil Kepala Sekolah bidang Sarana dan Prasarana, saya semakin sadar bahwa komunikasi adalah napas dari kepemimpinan dan pengelolaan sekolah. Komunikasi yang baik bukan hanya soal teknik berbicara, tapi tentang memahami emosi, menjaga empati, dan memupuk kepercayaan. Untuk itulah saya membeli beberapa karya Dale Carnegie seperti How to Win Friends & Influence People, Menjadi Pribadi yang Bahagia & Inspiratif, dan Sukses Berkomunikasi. Buku-buku tersebut menjadi semacam "teman dialog" dalam proses belajar saya sebagai pemimpin di sekolah.
Sebagai guru, hampir seluruh waktu kita terserap dalam proses komunikasi: dengan siswa, rekan sejawat, orang tua, kepala sekolah, bahkan petugas keamanan. Namun, yang sering luput dari perhatian adalah: seberapa besar energi batin yang terkuras dari proses komunikasi dan tekanan emosional harian yang dihadapi guru?
Saya masih ingat beberapa tahun lalu, seorang rekan guru bernama Bu Tina pernah meminta saya menulis buku bertema kecerdasan emosional untuk guru. Tapi hingga kini, drafnya belum pernah rampung. Mengapa? Karena menulis tema ini tak bisa sekadar mengutip teori dari internet. Ia butuh pengalaman, kedalaman refleksi, dan kejujuran melihat luka-luka kecil yang kerap diabaikan dalam dunia pendidikan.
Sayangnya, saya hampir tak pernah menemukan buku self-improvement yang ditulis langsung oleh guru yang benar-benar hidup dalam realitas ruang kelas. Mayoritas buku pengembangan diri menyasar pelajar muda, atau ditulis oleh tokoh-tokoh publik yang jauh dari atmosfer dunia pendidikan dasar dan menengah. Saya memiliki buku Generasi Produktif karya Ahmad Rifa'i Rif'an, Kami (Bukan) Sarjana Kertas karya Jombang Santani Khairen, dan lainnya --- namun suara guru masih langka.
Sementara itu, berbagai penelitian menyatakan bahwa profesi guru adalah salah satu yang paling rentan terhadap stres. Survei RAND Corporation (2022) menyebutkan bahwa 73% guru mengalami stres kerja, 59% mengalami burnout, dan 28% menunjukkan gejala depresi. Di Indonesia, potret ini tidak jauh berbeda. Tekanan administratif, ketidakpastian kebijakan, gosip internal, siswa dengan latar belakang keluarga yang kompleks, serta kesulitan ekonomi menjadi sumber stres yang mengikis kesejahteraan batin guru hari demi hari.
Saya percaya menulis bisa menjadi terapi. Namun banyak guru menghindarinya karena satu hal: menulis tak menjamin pendapatan, apalagi jika pembajakan buku masih marak dan pemerintah belum memberikan perlindungan serius bagi penulis. Tak heran, sebagian guru kini mencari penghasilan tambahan lewat TikTok atau YouTube. Beberapa bahkan rela mengejar popularitas tanpa memikirkan etika profesi --- berjoget tanpa konteks pembelajaran, membuat konten viral yang melenceng dari nilai edukatif.
Saya pernah menyimak tulisan berjudul Mengikuti Zaman atau Terbawa Arus Zaman? yang membuat saya merenung dalam sebagai guru sekaligus pemangku kebijakan di sekolah. Ya, pendidikan memang harus relevan dengan zamannya. Tapi relevansi bukan berarti tunduk pada yang populer. Guru harus punya keterampilan memfilter, bukan sekadar mengikuti.
Oleh karena itu, izinkan saya menyampaikan sebuah usulan sederhana namun penting kepada para pengambil kebijakan:
Alih-alih terus membebani guru dengan pelatihan teknis seperti AI, RPP format terbaru, atau deep learning yang belum menyentuh akar masalah, sebaiknya fokuskan pelatihan pada kecerdasan emosional, kemampuan memfilter informasi digital, serta manajemen stres guru. Kesejahteraan emosional dan mental guru harus menjadi prasyarat utama sebelum menuntut mereka adaptif pada kurikulum yang terus berubah.
Dan lebih dari itu, mari kita buka kembali diskusi tentang keadilan kesejahteraan. Jika seorang guru harus bertahan hidup dengan gaji yang jauh di bawah standar pejabat negara, padahal ia adalah orang pertama yang mengajarkan mereka membaca dan berpikir, bukankah itu sebuah ironi yang perlu segera dikoreksi?
Sebagai penutup, saya ingin mengajak sesama guru: mari terus menulis, bukan demi popularitas, tapi demi warisan gagasan. Karena jika kita diam, suara guru akan terus tenggelam di balik riuhnya konten-konten kosong. Dan jika kita terus lelah tanpa ruang untuk menyembuhkan, maka reformasi pendidikan hanya akan jadi mimpi yang digerogoti kenyataan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI