Dalam konstruksi kenegaraan yang rasional dan berkeadaban, partai politik bukanlah substansi dari kekuasaan itu sendiri, melainkan wahana instrumental yang menghubungkan antara kehendak rakyat dan kebijakan negara.
Ketika partai politik menempatkan dirinya sebagai tujuan, bukan sebagai alat, terjadi pembalikan fungsi yang bukan saja membingungkan secara teoritis, tetapi juga berbahaya secara praksis. Sebuah alat, manakala diperlakukan sebagai tujuan, kehilangan kesahihannya sebagai perantara; partai politik pada akhirnya menjadi entitas otonom yang menutup dirinya dari koreksi, mengklaim kebenaran atas nama representasi yang semu.
Dalam ranah demokrasi modern, keberadaan partai politik sejatinya diandaikan sebagai kanal bagi artikulasi kehendak publik. Kehendak tersebut, yang berangkat dari beragam kebutuhan, harapan, dan problematika sosial, memerlukan struktur yang mampu mengonversinya menjadi kebijakan konkret. Partai politik adalah struktur tersebut.
Namun, dalam proses historis yang panjang, terdapat kecenderungan degeneratif yang tidak dapat diabaikan—yaitu penetapan eksistensi partai politik sebagai pusat gravitasi politik itu sendiri. Akibatnya, kinerja partai diukur bukan dari sejauh mana partai berkontribusi terhadap realisasi tujuan negara, melainkan dari sejauh mana ia berhasil mempertahankan eksistensi, memperluas kekuasaan, dan menyingkirkan lawan-lawan politiknya.
Dalam kondisi semacam itu, yang lahir bukan representasi, melainkan kooptasi; bukan keterlibatan warga, melainkan penguasaan struktur negara oleh segelintir elite yang menamakan diri sebagai representasi politik.
Politik, yang seharusnya bersifat pelayanan, berubah menjadi medan perebutan sumber daya, dan partai politik menjadi korporasi kekuasaan yang bertahan hidup melalui transaksi, bukan melalui kepercayaan publik. Inilah titik ketika partai kehilangan kejelasan fungsionalnya. Partai tidak lagi menjadi jembatan antara rakyat dan negara, tetapi menjadi tembok yang membatasi akses warga terhadap pengambilan keputusan publik.
Bahwa partai politik adalah alat, dan bukan tujuan, berarti bahwa nilainya terletak pada efektivitasnya dalam menghubungkan struktur negara dengan kehendak publik secara adil dan rasional. Maka partai politik harus bersifat transparan, terbuka terhadap evaluasi, dan tunduk pada logika konstitusional yang lebih tinggi daripada sekadar logika elektoral.
Ketika yang diutamakan bukan lagi kesejahteraan umum, tetapi kelangsungan partai itu sendiri, maka partai telah menempatkan dirinya dalam oposisi terhadap tujuan negara. Atas hal tersebut, penguatan sistem politik tidak bisa dilepaskan dari upaya membatasi kekuasaan partai atas nama demokrasi, namun juga sekaligus mengembalikannya pada fungsi instrumentalnya.
Sebagai alat, partai politik harus bersifat fungsional dan bisa digantikan. Tidak ada partai yang sakral. Tidak ada entitas politik yang kebal terhadap kritik. Legitimasi partai tidak bersumber dari sejarah, bukan dari romantisme ideologis, tetapi dari kontribusinya yang nyata terhadap pembentukan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Ketika sebuah partai menganggap dirinya sebagai satu-satunya jalan menuju kebenaran politik, maka ia telah jatuh ke dalam dogmatisme yang tidak berbeda dari otoritarianisme. Politik yang sehat mensyaratkan sirkulasi kekuasaan, bukan konsolidasi kekuasaan yang beku.
Pemahaman bahwa partai politik adalah alat juga menuntut adanya keberanian untuk membongkar struktur partai yang tertutup dan berciri oligarkis. Rekrutmen kader tidak boleh berbasis loyalitas buta, melainkan kapabilitas untuk memperjuangkan kepentingan publik.