Penulis: Drs. EDIPRAYITNOÂ
Mahasiswa Magister Pedagogi, Universitas Lancang Kuning Pekanbaru
Setiap awal tahun ajaran, pemandangan yang sama kembali muncul. Media sosial dipenuhi unggahan dari akun resmi sekolah-sekolah yang memamerkan keberhasilan spektakuler: "Nilai rata-rata UN naik 18 persen!", "Sekolah kami raih akreditasi A unggul!", "Serapan BOS 100 persen tahun ini sukses tanpa catatan!". Kepala sekolah tersenyum di balik baliho prestasi, para guru diwawancara, bahkan beberapa masuk berita televisi daerah.
Namun, di balik perayaan itu, terselip pertanyaan yang jarang diangkat ke permukaan: apakah semua pencapaian tersebut benar-benar mencerminkan bahwa sekolah telah berjalan dengan efektif dan efisien? Atau justru hanya permainan angka dan laporan yang disusun rapi demi menyenangkan dinas dan birokrasi pendidikan?
Sayangnya, kenyataan sering kali menunjukkan bahwa prestasi yang dipublikasikan tidak sebanding dengan proses yang dialami. Ada sekolah yang terlihat sukses besar di atas kertas, tetapi di baliknya para guru kelelahan, siswa stres, dan anggaran justru membengkak tanpa hasil yang nyata. Maka, saatnya kita bertanya lebih kritis: apa sebenarnya makna efektivitas dan efisiensi dalam konteks pendidikan? Dan mengapa dua konsep ini seperti hilang dari diskusi kebijakan sekolah hari ini?
Efektivitas berarti sejauh mana sekolah mampu mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan---bukan hanya sekadar capaian akademik, tapi juga pembentukan karakter, kemandirian, kreativitas, hingga kemampuan berpikir kritis siswa. Sekolah yang efektif adalah sekolah yang hasil pendidikannya berdampak nyata: siswa menjadi pembelajar sepanjang hayat, guru merasa bertumbuh, dan masyarakat melihat manfaat langsung dari hadirnya institusi pendidikan itu.
Sementara itu, efisiensi adalah bagaimana proses menuju tujuan tersebut dikelola dengan bijak: sumber daya manusia dimaksimalkan tanpa dibebani, anggaran digunakan secara tepat sasaran, dan waktu dimanfaatkan tanpa pemborosan. Efisiensi menuntut kecerdasan dalam mengelola segala hal---bukan sekadar berhemat, tetapi memastikan setiap sen dan setiap menit yang dipakai memberi hasil maksimal.
Masalahnya, banyak sekolah hari ini hanya mengejar efektivitas semu. Tujuan terlihat tercapai, tetapi dengan proses yang rusak dan penuh kompromi. Guru harus lembur menyiapkan laporan, melayani administrasi, mendampingi siswa, sekaligus menjalani pelatihan daring tanpa jeda. Di sisi lain, siswa dijejali kurikulum yang padat, tugas menumpuk, bahkan dipaksa ikut bimbingan belajar di luar jam sekolah. Akhirnya mereka terlihat "berhasil" karena nilai mereka tinggi, tetapi harga yang dibayar sangat mahal---kesehatan mental terganggu, motivasi belajar turun, dan esensi pendidikan hilang entah ke mana.
Salah satu ilustrasi paling nyata dari ketimpangan antara efektivitas dan efisiensi adalah proyek digitalisasi sekolah. Pemerintah mendorong sekolah memasuki era digital. Dana besar digelontorkan: sekolah membeli server mahal, langganan aplikasi e-learning, hingga membangun sistem presensi digital. Dalam laporan keuangan, semuanya tampak sempurna. Tapi bagaimana kenyataan di lapangan?
Banyak guru tidak diajak berdiskusi saat perencanaan. Mereka dipaksa menggunakan sistem yang tidak sesuai kebutuhan, bahkan harus belajar sendiri karena tidak ada pelatihan. Akibatnya, platform yang dibeli dengan biaya mahal hanya digunakan sekali dua kali, lalu dilupakan. Guru kembali ke metode konvensional, sementara dana sudah habis. Di sini kita melihat betapa efektivitas tidak tercapai, efisiensi jauh dari harapan, dan yang tersisa hanyalah laporan indah untuk memenuhi kewajiban administratif.
Paradoks ini diperparah oleh budaya manajerial sekolah yang masih memuja simbol dan status. Di banyak sekolah, keberhasilan diukur dari banyaknya piagam yang tergantung di ruang kepala sekolah, jumlah sertifikat pelatihan yang dikoleksi guru, atau serapan dana BOS yang tembus 100 persen. Padahal semua itu belum tentu mencerminkan perubahan bermakna di ruang kelas. Bahkan seringkali justru menunjukkan kecakapan sekolah dalam "bermain di ranah administratif", bukan meningkatkan kualitas pendidikan yang sesungguhnya.
Kepala sekolah sebagai pemimpin seharusnya menjadi aktor kunci dalam perubahan ini. Mereka tidak bisa lagi menjadi manajer birokrasi semata, tetapi harus menjadi pemimpin pembelajaran, manajer sumber daya, dan inovator kebijakan lokal. Kepala sekolah harus berani menantang status quo: meninggalkan paradigma lama yang lebih sibuk mengejar citra daripada substansi.