Mohon tunggu...
Edi Kusumawati
Edi Kusumawati Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Ibu dari dua orang putra yang bangga dengan profesinya sebagai ibu rumah tangga. Tulisan yang lain dapat disimak di http://edikusumawati.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Untuk Sebuah Nama

11 Agustus 2011   00:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:54 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Yogyakarta, 27 November 2009 Teruntuk Seseorang Dimasa Lalu Tahukan kamu kalau acara ini sudah lama diagendakan. Publikasi di facebook pun sudah dilakukan. Begitupun dengan transfer uang yang telah dilakukan ke nomor rekening yang telah ditetapkan. Tak tahukah kamu kalau itu artinya acara ini tidak mungkin lagi dibatalkan? Mungkin kamu memang tidak menyadarinya jika ada rasa yang berkecamuk di setiap hembusan nafasku. Menantikan saat-saat itu telah cukup membuat jantungku berdegup kencang. Bahkan ratusan hembusan nafasku pun rasanya tak akan mampu meringankan degup ini. “Apakah ini berarti aku harus mengunjungimu. Sekali lagi?” Jujur ada rasa bahagia, jika membayangkan hal itu. Tahukah kamu jika aku merasa tak sabar menanti bergulirnya pekat malam berganti menjadi semburat kuning keemasan dilangit? “Apakah jendela itu mesti kubuka? Sekali lagi?” Selintas kudengar bisikan itu lewat begitu saja. Entah mengapa ada keyakinan di dada ini, aku harus datang kesana lagi. Tidak tahukah kamu? Sekuat tenaga aku membujuk hatiku untuk satu kemungkinan yang tak terduga. Tidak tahukah kamu, pagi tadi aku berdiri tepat dibekas bangunan megah itu. Bekas SMP kita yang sekarang telah berubah menjadi kios handphone dan juga gerai makanan siap saji. Jujur aku tidak siap melangkahkan kakiku memasuki gedung itu tadi pagi, bekas sekolah kita. Tempat kita menimba ilmu disana. Aku belum siap dengan kenangan yang mungkin dihadirkan disana. Tapi aku paksakan juga kakiku melangkah ke sana. Menuju lapangan besar disisi selatan sekolah, tempat dimana kita dulu biasa melaksanakan upacara bendera, setiap hari Senin atau pas tujuh belasan. Kamu tahu tidak, dilapangan ini aku dulu biasa celingukan mencari sekeping wajah yang begitu aku kagumi, disela-sela orasi yang diberikan oleh inspektur upacara. Wajah yang kucari itu wajahmu, tahu! Harap kamu tahu ya, akhirnya kebiasaan celingukan mencari wajahmu itu aku kembangkan hari demi hari. Ya mau bagaimana lagi, kita khan beda kelas sejak naik ke kelas dua. Dan upacara bendera menjadi satu hal yang paling kutunggu-tunggu di awal minggu. Dengan demikian aku jadi punya alasan untuk menatapmu (lagi dan lagi) wajahmu itu. Dan setiap aku memandang sisi kanan wajahmu saat upacara bendera saja sudah membuat jantungku terlonjak kegirangan lho! Apalagi jika dengan tanpa sengaja kamu menoleh kearahku. Wah aku benar-benar mati kutu, tahu! Walaupun sebenarnya aku sangat-sangat mengharapkan kejadian seperti itu. “Tolong, menolehlah sekejap saja ke arahku!”, mungkin begitu kira-kira mantra yang biasa aku ucapkan saat itu. Ajaib memang, pernah beberapa kali wajahmu itu menoleh kearahku. Padahal aku khan bukan ahli hipnotis ataupun tukang sihir? Mungkin kamu tidak sadar akan hal itu, tapi harap kamu tahu ya ada rasa yang berbeda di hatiku manakala kita tanpa sengaja saling bersitatap dan beradu pandang begitu. Walaupun kejadian itu sudah sekian lama berlangsung, sudah puluhan tahun yang lalu, tapi aku masih mampu membayangkannya. Itu mungkin adalah satu episode cinta dalam hidupku. Kalau kamu pernah merasakannya, tentu kamu akan paham akan rasa yang pernah kualami itu. Ketahuilah, tadi pagi aku mencoba masuk ke bekas ruang kelas kita lho! Dan jendela itu...ya jendela itu telah mampu menahan langkahku. Aku seperti terbang kemasa lalu. "Dan, hei! Bukankah itu aku, lengkap dengan seragam putih biruku?" Ya, benar aku seperti melihat diriku dulu yang sedang dalam posisi berdiri menatap keluar jendela itu. Lewat jendela kelas II-1 inilah tempat aku dulu diam-diam menunggu kedatanganmu. Ketika jam pelajaran usai, saat teman-teman berlarian pulang dengan riang. Aku justru akan berada disamping jendela ini. Jendela ini menjadi penawar kerinduanku padamu. Apalagi saat hujan tiba, saat mobil yang biasa menjemputmu tiba dan kamu akan berlari-lari kecil menyambutnya disela rintik hujan. Membuka pintunya dan kamu akan langsung duduk didalamnya. Kamu pasti tidak tahu kalau aku memperhatikan semua gerak-gerikmu itu, dibalik jendela ini. Atau mungkin saat kamu datang ke kala hujan tiba, keluar dari mobil yang mengantarmu itu dan meninggalkan jejak sepatu di tanah yang basah. Ingin rasanya aku bersorak kegirangan, meneriakkan namamu. Untunglah aku mampu menahan semua itu dan membiarkan perasaan ini berkembang dalam sepi. Karena dengan begitu justru akan menambah rasa kekagumanku padamu. Walaupun aku hanya mampu menatapmu berjalan dan berlindung dibawah payung yang menahan jarum-jarum hujan, itu sudah sangat-sangat cukup bagiku. Tahukah kamu kalau aku ada di balik jendela itu? Selanjutnya aku teruskan melangkah menuju tempat berlangsungnya acara sambil terus menghidupkan kenangan akan dirimu. Sambil melewati lorong-lorong dan pintu-pintu gedung sekolah kita dulu. Namamu. Itu yang pertama kucari didaftar hadir peserta reuni. Karena dengan mengetahui namamu telah tercantum di daftar hadir itu, sudah cukup melegakan bagiku. Sepertinya ada perasaan aneh yang menyelusup direlung-relung hatiku. Persis rasanya seperti saat aku melihat tasmu sudah tergeletak diatas bangku. Saat kita kembali dipersatukan di kelas tiga, melihat tasmu saja sudah sangat luar biasa bagiku. Andai aku mampu menuliskan selarik puisi, mungkin sudah akan kutuliskan tentang tasmu itu. Juga tentang sepatumu, terus tentang jepit rambutmu yang tidak akan pernah aku lupakan sampai saat ini. Tahukah kamu, aku justru pernah mengkhayalkan diriku menjelma menjadi sepatumu, tasmu dan juga jepit rambutmu. Semata-mata karena apa? Karena aku ingin selalu berada dekat denganmu. Lucu, bukan? Tapi itulah aku! Pernah suatu ketika aku tidak melihat tasmu tergeletak di bangku itu. Oh, aku tidak tahu, apakah itu yang dinamakan rindu? Tadi pagi, ketika acara sudah dimulai. Kenapa kamu tidak menampakkan diri? Bahkan ketika lagu mars SMP kita dinyanyikan serentak oleh teman-teman kita yang hadir, kamu juga belum tampak juga. Sepanjang acara berlangsung pun, tak henti-hentinya aku menolehkan kepalaku ini ke arah pintu masuk aula tempat berlangsungnya acara, berharap kamu datang dengan tergopoh-gopoh karena terlambat. Tapi rupanya kamu tak datang juga. Kemanakah kamu? Terus terang ada sesuatu yang tiba-tiba meredup di hatiku. Kenapa mesti namamu tercantum di daftar itu, kalau ternyata kamu tidak datang juga. Apakah ada sesuatu yang menahanmu? Sebenarnya ingin tadi aku menanyakan kepada teman-teman panitia, apakah kamu memang benar-benar mendaftarkan diri di acara reuni tadi. Tapi tampaknya rasa malu semenjak sekolah dulu masih saja terbawa sampai tadi. Tahukah kamu, tadi diluar gedung sekolah menggelayut mendung hitam, tapi sayangnya hujan tak kunjung datang. Itu semua semacam pertanda bagiku kalau kamu pun tidak kunjung datang di acara tadi. Kemanakah gerangan kamu sahabat? Sore ini aku tuliskan surat ini untukmu. Dari balik jendela kamarku, tempat aku biasa menyaksikan bunga-bunga mekar di halaman rumahku. Sungguh cinta itu sedemikian menyentuh. Cinta bisa setiap saat diproklamirkan secara terang-terangan, tapi adakalanya dipeluk erat dan diikrarkan diam-diam. Salam, Pemuja Rahasiamu NB: Surat ini dibuat dalam rangka pemanasan untuk menyambut even FSC "Fiksi Surat Cinta" di Kompasiana yang akan dilangsungkan 13-14 Agustus besok. Diilhami dari kisah nyata, tentang reuni SMP dua tahun lalu. Sayang saya tidak bisa hadir saat itu, tapi dari foto-foto yang dikirimkan ke saya sudah cukup membuat saya terkenang akan nostalgia cinta kala SMP. Foto-foto diambil dari akun teman FB saya, dan itulah sekolah saya dulu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun