Mohon tunggu...
Edi Ramawijaya Putra
Edi Ramawijaya Putra Mohon Tunggu... Guru - Dosen

Pendidik, Penulis, Trainer dan Pembicara Dengan Latar Belakang Linguistik Terapan Bahasa Inggris (TESOL) Bidang Kajian Sosiolinguistics dan Language Pedagogy. Instagram: @edi_ramawijayaputra

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Negara Jangan Diet Toleransi

23 Februari 2018   16:30 Diperbarui: 23 Februari 2018   16:52 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi: journal.20fit.co.id)

Perbedaan pandangan dan tujuan politik seakan menjadi induksi sentral prilaku intoleransi yang marak terjadi belakangan ini. Jika dirunut tiap-tiap persoalan yang terjadi di permukaan maka kita akan berujung pada satu medan magnet yang disebut sebagai kepentingan politik. Prilaku intoleransi keagamaan-lah yang menempati index tertinggi selain pada aspek lain seperti ideologi, suku, ras, golongan, dan kelompok. 

Oknum-oknum yang ingin melihat bangsa ini terpecah-belah paham betul bahwa kesadaran keagamaan (religious awareness) kita sebagai warganegara Indonesia sangat kuat dan solid sehingga layak diperhitungkan sebagai alat pencapai tujuan temporal. Jika tidak diikuti oleh pemahaman yang utuh tentang konteks beragama dan bernegara maka negara ini tidak akan pernah bisa terlepas dari ancaman bayangan hitam kehancuran yang dimulai dari saling bentur karena agama. Setidaknya, momentum ini akan semakin memuncak seiring dengan laju Pilkada serentak di tahun 2018. 

Secara konseptual dan filosofis negara ini harusnya sudah final dan sahih dari persoalan konsep bernegara. Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tungga Ika adalah formula yang berlaku secara formil dan sah. Keempat ideologi dan dasar bernegara ini memberikan interpretasi bahwa dari yang terbanyak hingga yang tersedikit, dari yang terbesar hingga yang terkecil, dari yang mayoritas dan yang paling minirotas wajib mendapatkan perlindungan dan hak yang sama pada sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Ironinya, Setara Institute mencatat bahwa sepanjang tahun 2007 hingga 2016 minoritas menjadi korban terbesar dalam hal kebebasan dan kemerdekaan beragama. Sebuah rekam jejak statistik yang berbanding terbalik dengan falsafah berbangsa kita yang toleran, egaliter, berkeadilan dan berKeTuhanan.

Dalam konteks beragama, pembubaran paksa kebaktian Misa di Gereja St. Lidwina di Jogyakarta oleh oknum perusuh dan persekusi bhikku Buddha di Babat Legok Tangerang yang terjadi sepanjang Februari 2108 memberikan kita gambaran bahwa toleransi beragama kita masih perlu direvitalisasi sebagai cara hidup yang kekinian dan kontekstual dalam bingkai NKRI. Selain persoalan agama, terdapat juga persoalan afiliasi dan argumentasi. 

Demokrasi yang memberikan alam kebebasan untuk berbeda dalam bingkai kesamaan tujuan seharusnya menjadi wadah yang subur untuk perbedaan pendapat dan penafsiran. Gaya bahasa di media jejaring sosial dan diskursus maya kita memperlihatkan betapa tidak siap untuk berada pada tempat dan waktu yang berbeda. Tidak sedikit, upaya pemaksaan kehendak ini dilakukan dengan cara-cara yang tidak terpuji seperti fitnah, berita palsu (hoax), framing negatif, pembunuhan karakter, dan persekusi. 

Hal ini sekaligus memberikan sinyalemen bahwa rumusan empat pilar bernegara ini mulai kehilangan supremasi. Semua harus sama dan dipaksakan sama, perspektif ini berasumsi bahwa dengan mengikuti pola ini kenyamanan dan kesejahteraan akan tercipta. Faktanya, sistem authoritarian dan diktatorisme hanya menghasilkan rezim-rezim yang feodal dan rawan resistensi dan perlawanan dari dalam.  

Negara ini harus terus bertumbuh secara ideal bukan "gemuk" oleh kepentingan-kepentingan temporal lima-tahunan. Tiap lima tahun suksesi kemimpinan nasional dan daerah harus berorientasi pada cita-cita dan program yang konstruktif berbasis pemecahan masalah bukan dengan politik pecah-belah, adu-domba, bentur sana-sini, fintah sana-sini dan cara-cara tidak terdidik lainnya. 

Masyarakat tidak boleh awam terhadap upaya segelintir orang yang datang bermulut manis dalam bentuk produk bicara yang memukau namun tersembunyi agenda untuk kepentingan dirinya sendiri dan kelompoknya. Berbeda ini adalah karunia-Nya dalam arti yang seluas-luasnya baik dari fisik yang melekat terhadap manusianya dan pemikiran-pemikiran di dalamnya. Manusia Indonesia harus melihat ini sebagai berkah yang Tuhan sengaja pilihkan agar kita benar-benar yakin bahwa meski Tuhan menciptakan perbedaan namun kita juga diingatkan untuk hidup bersama dengan toleran dan harmoni.     

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun