Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nonton Gerhana Matahari Lewat Gambar Tulang Patah

9 Maret 2016   10:52 Diperbarui: 9 Maret 2016   17:37 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Nonton gerhana matahari lewat hasil foto X-ray (Foto: Eddy Roesdiono)"][/caption]Meski Surabaya tidak termasuk yang dapat jatah gerhana matahari total, masyarakat amat antusia menikmati fenomena alam 9 Maret 2016 pagi itu yang konon hanya terjadi sekali dalam 375 tahun itu. Beruntung langit cerah pagi itu, setidaknya di kawasan saya, Wiyung, Surabaya. Makin asyik pula karena tanggal 9 Maret 2016 bertepatan dengan libur Hari Raya Nyepi.

Bulan dan matahari mulai saling rengkuh pada pukul 06.21 WIB. Meski tampak biasa, suasana agak berbeda sedikit. Sejumlah orang ke luar rumah, kebanyakan masih pakai busana rumah, untuk menikmati gerhana.

Sejumlah alat bantu disiapkan, di antaranya pinch hole box terbuat dari kotak kardus seperti di bawah ini. Tak ada yang menggunakan air di baskom untuk melihat pantulan sinar matahari karena matahari masih terlalu rendah di belahan langit timur. Tak terlihat orang pakai kacamata khusus. Barangkali lupa beli.

[caption caption="Pinch hole box buatan sendiri. Titik kecil yang terlihat di celah terbuka itu adalah cahaya matahari (Foto: Eddy Roesdiono)"]

[/caption]

Karena tak siap dengan peralatan memadai, orang pakai hasil foto x-ray, terutama bagian yang gelap, untuk nonton gerhana. Lucu aja, karena koleksi foto x-ray itu macam-macam; ada yang hasil foto thorax alias tulang dada, ada pula hasil foto kaki patah. Jadilah gerhana matahari yang fenomenal ini dipirsa (dilihat) dengan latar depan tulang patah!

Saya sendiri sejak pagi sudah menyiapkan alat khusus, yakni kaca tembus pandang yang saya comot dari mantan jam dinding. Permukaan kaca itu saya gelapkan dengan cara memberinya jelaga. Ini saya lakukan dengan menyentuhkan permukaan kaca di atas nyala api lilin untuk mendapatkan kepekatan yang menghambat cahaya matahari yang katanya amat berbahaya bagi mata.

[caption caption="Kaca tembus pandang berlumur jelaga (Foto: Eddy Roesdiono)"]

[/caption]

Oh ya, bagi sebagian orang, gerhana matahari di kawasan yang tidak dapat jatah total memang kurang heboh. Penurunan 80% intensitas cahaya matahari tidak memberikan kegelapan yang mengejutkan pada semesta; hanya redup sedikit. Orang-orang bergiat seperti biasa: petugas pengumpul sampah bekerja seperti biasa, asisten rumah tangga tetap menyapu halaman rumah majikan, buruh bangunan tetap mulai mengaduk campuran semen, dan tukang sayur masih lantang teriak, “Sayurrrrrrr, bunda!”

[caption caption="Tukang ayam berhenti sejenak untuk nonton gerhana (Foto : Eddy Roesdiono)"]

[/caption]

Karena saya ingin berbagai keindahan anugerah Tuhan, saya sengaja keliling di sekitar tempat saya tinggal, membawa kaca berjelaga dan menawarkan solar eclipse viewing device itu saya itu pada orang-orang yang bergerombol di depan rumah mereka. Mereka suka pinjam alat saya karena bisa merasakan sensasi fenomena langka ‘matahari ditelan raksasa’ dengan mata kepala sendiri.

[caption caption="Puncak gerhana matahari kurang total, dipotret melalui kaca berjelaga (Foto: Maverich Timotius)"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun