Dunia pendidikan di Indonesia---setidaknya melalui representasi kasus-kasus kejahatan menonjol di jenjang pra-sekolah dan sekolah dasar—agaknya melangkah ke babak kelam. Kasus pelecehan seksual oleh petugas kebersihan terhadap siswa TK di Jakarta International School (JIS) dan kasus terbunuhnya Renggo Khadafi, siswa kelas V, karena kekerasan yang dilakukan Sy, kakak kelasnya, di ruang kelas di SDN 09 Makasar, Jakarta Timur, merupakan pertanda melangkahnya kita ke babak kelam itu.
Bila pembaca mengira dua kasus tersebut di atas adalah kasus-kasus yang belum perlu mendapatkan perhatian nasional, silakan simak tautan daftar berita pembunuhan yang dilakukan siswa SD terhadap rekan sendiri (di sini)
Sudah pasti kita miris mendapati fakta anak-anak dalam rentang usia 6-12 tahun bisa menghabisi nyawa rekan sepantaran. Tidakkah keseharian mereka di sekolah mengajari mereka nilai-nilai kehidupan? Tidakkah mereka paham bahwa menganiaya dan menghilangkan nyawa orang lain melanggar huhum dan bertentangan dengan norma-norma agama?
[caption id="attachment_306375" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi : www.goodrandomfun.blosgspot.com"][/caption]
Kita mungkin bisa mulai menuduh bahwa sekolah dan lingkungan sosial sekolah telah gagal membentuk karakter positif anak didik. Tuduhan itu beralasan, karena sementara orang menganggap bahwa sekolah merupakan pranata utama pendidikan; sekolah diharapkan untuk mampu memoles siswa agar memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang diharapkan.
Saya termasuk yang kurang setuju bila semua kesalahan ditimpakan kepada sekolah. Mungkin karena alasan itu pula, Sri Hartini, Kepala SDN 09 Makasar, Jakarta Timur, pingsan begitu tahu Gubernur DKI Joko Widodo mencopotnya dari jabatan Kepala Sekolah. Kepada wartawan, Sri Hartini berharap ia bisa memperoleh kembali jabatannya itu (Kompas, 7 Mei 2014). Anda mungkin berkomentar begini, “Kepala Sekolah malah seharusnya sukarela mengundurkan diri karena tak mampu membangun karakter positif siswa yang berada dalam bimbingannya.”
Baiklah, bila kita bersedia meneropong masalah anak-anak praremaja, maka kita akan dapatkan gambaran siapa saja yang bertanggung jawab atas perkembangan pendidikan anak. Pertama adalah keluarga, sudah cukupkah keluarga memberikan model pendidikan yang baik pada anak?; kedua adalah sekolah, sudah cukupkah sekolah menyediakan sistem pembangunan intelektualitas dan emosional bagi anak didik mereka; dan ketiga adalah lingkungan sosial, seberapa banyak anak terpapar pada kehidupan liar di masyarakat karena minimnya penjangkauan kontrol baik oleh keluarga atau sekolah.
Dari keluarganya atau dari sekolah, seorang individu anak mungkin tak pernah memperoleh pembelajaran yang melampiaskan kemarahan dengan menyiksa si pemicu amarah (seperti kasus penganiayaan Sy terhadap Renggo). Dari manakah pelaku SY dan dua rekannya belajar membalas kesalahan teman (menyenggol sampai jatuh minuman seharga Rp 1.000), dengan cara menyiksa teman itu? Dari manakah siswa-siswa lain di kelas itu belajar membantu para penyiksa? Kenapa tak ada siswa yang punya inisiatif melerai, menghentikan penyiksaan dan melaporkannya kepada guru? Pasti ada nilai-nilai sosial keliru dan pola-pola perilaku melenceng yang mereka pelajari lewat cara lain: tayangan televisi, sajian game-game on-line di internet, dan minimnya kontrol sosial keluarga dan sekolah terhadap perkembangan intelektual dan emosional anak.
Sekarang kita bisa simpulkan bahwa keluarga dan sekolah sama-sama memikul tanggung jawab dan sama-sama punya andil besar dalam menentukan kualitas intelektual dan emosional anak didik. Kita tahu bahwa masing-masing sekolah memiliki Komite Sekolah (beranggotakan orang tua siswa).
Masalahnya, Komite Sekolah tak sering mendapatkan peran besar dalam pelaksanaan kontrol sosial di sekolah. Umumnya, Komite Sekolah dan orang tua siswa hanya diundang untuk penerimaan rapor dan untuk rapat perbincangan masalah pembangunan infrastruktur dan fasilitas pendidikan sekolah. Kalaupun tidak untuk masalah ini, orang tua siswa dan Komite bertemu di sekolah atas undangan pengurus sekolah menjelang UNAS, untuk membantu menyadarkan orang tua agar lebih memperhatikan kesiapan akademis dan mental siswa.
Seringkah Komite Sekolah dilibatkan untuk membincangkan antisipasi masalah-masalah sosial anak yang tak kasat mata? Biasakah Komite Sekolah berinisiatif menggelar langkah-langkah antisipatif terhadap masalah sosial? Baru akhir-akhir ini, mungkin Komite Sekolah di banyak sekolah mulai rajin bertemu, terpicu oleh mencuatnya masalah-masalah semacam JIS dan SDN 09 Makasar.
Pemberdayaan Komite Sekolah kini harus lebih diarahkan pada isu-isu komprehensif di seputar proses pendidikan sekolah yang harus diinsyafi sebagai tanggung jawab bersama antara keluarga dan sekolah. Pranata sekolah memiliki stakeholders (pemangku kepentingan) yang terdiri dari empat unsur utama: pengurus sekolah (guru, bagian administrasi), siswa, orangtua siswa, dan pemerintah sebagai regulator pendidikan, dan sejumlah unsur penunjang seperti: armada antar-jemput siswa, pengelola kantin sekolah, pedagang (makanan, mainan) di sekitar sekolah pada jam sekolah, dan petugas kebersihan non-pegawai sekolah, pemasok buku ajar dan sebagainya.
Unsur-unsur stakeholders inilah yang harus menjadi perhatian Komite Sekolah dan sekolah. Mendapati kasus-kasus kekerasan, pelecehan dan penyimpangan-penyimpangan sosial di sekolah seperti yang sedang marak terjadi, sudah saatnya pula Komite Sekolah dan sekolah membentuk semacam Satuan Tugas (Satgas) yang beranggotakan cerdik pandai dari sekolah dan kalangan orang tua. Satgas ini bisa merumuskan sistem ketahanan sekolah yang terdiri dari:
#1 Kontrol sosial komunitas sekolah yang berfokus pada assessment (penilaian) potensi-potensi masalah sosial (kenakalan siswa, perilaku menyimpang, kebiasaan-kebiasaan tak wajar, dan perilaku asosial lainnya).
#2 Pengawasan terhadap jajanan sekolah untuk mencegah kasus-kasus keracunan, mengupayakan peningkatan asupan gizi dan makanan berkualitas.
#3 Penggagasan aktivitas-aktivitas internal sekolah yang bisa mengakomodasikan dan mengarahkan energi anak didik ke arah yang positif. Aktivitas semacam ini tak perlu menunggu momen peringatan 17 Agustus, hari besar keagamanaan, Kartinian atau Hari Pahlawan. Kita masih punya Hari Bumi, Hari Lingkungan Hidup, Hari Anak, Hari Bebas Tembakau, Hari Ibu, dan hari-hari lain yang bisa dirayakan dalam kemasan aktivitas edukatif.
#4 Pemrakarsaan kegiatan-kegiatan pemupuk kerja sama dan kesetiakawanan yang tidak hanya berfokus pada siswa sekelas dan sepantaran, melainkan pada kebersamaan seluruh siswa sekolah. Saya ingat, ketika saya mengajar Bahasa Inggris di Sekolah Jepang Surabaya. Pada istirahat sekolah tengah hari, sebelum makan siang, semua siswa dari tingkatan TK, SD, SMP dan SMA harus membersihkan WC dan kamar mandi sebelum makan siang, memunguti sampah yang berserakan di halaman sekolah atau mencabuti rumput liar. Sementara siswa-siswa bekerja, diputar musik yang disalurkan lewat corong-corong di sudut-sudut sekolah.
#5 Penciptaan aktivitas orang tua siswa dan siswa di sekolah. Ini ditempuh dengan cara mengundang orang tua siswa (bergantian) untuk melihat langsung kegiatan belajar-mengajar di sekolah dan melihat perilaku anak di sekolah. Lagi, contoh dari Sekolah Jepang Surabaya, setahun sekali diadakan satu kegiatan olahraga bersama (saya lupa waktu dan namanya). Orang tua harus hadir di sekolah, membawa bekal makanan, membawa untuk duduk di lapangan, dan menyaksikan anak-anak mereka bertanding olahraga. Orang tua kadang juga terlibat sebagai anggota tim olahraga anak-anak mereka.
#6 Penggagasan event-event yang melibatkan semua unsur pemangku kepentingan sekolah, misalnya bazaar yang dipadu dengan pentas seni di mana kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, petugas kebersihan, armada antar jemput sekolah, pemasok buku ajar, pengusaha kantin, penjaja makanan ikut terlibat. Dalam event-event itu bisa disisipkan berbagai lomba untuk semua pemangku kepentingan.
#7 Penugasan kunjungan mendadak anggota Komite Sekolah pada jam-jam sekolah. Personil yang ditunjuk akan mengamati berbagai aspek: kebersihan lingkungan, ketertiban siswa, dan potensi-potensi kerawanan sosial lain.
#8 Pembentukan petugas breaktime watch (pengawas jam istirahat) dari kalangan pengurus sekolah, yang bertugas berkeliling lingkungan sekolah untuk memantau situasi siswa dan lingkungan sekolah pada umumnya. Ingat, jam-jam istirahat adalah saat-saat anak-anak lepas dari pantauan guru. Dengan kegiatan #7 dan #8, kasus pelecehan seksual oleh petugas kebersihan JIS terhadap siswa TK tak akan pernah terjadi, kasus penyiksaan Renggo di SDN 09 Makasar tak akan pernah ada, dan bibit-bibit pertengkaran siswa sekecil apapun di saat istirahat bisa dideteksi lebih awal.
8 aktivitas tersebut di atas (boleh ditambah kalau mau) bisa menjadi sarana pengawasan dan pengendalian langsung dan tak langsung terhadap kehidupan sosial sekolah, yang sangat mungkin bisa meredam berbagai energi negatif siswa (ingat kasus SDN 09 Makasar) dan mencegah timbulnya penyimpangan-penyimpangan lain semacam pelecehan seksual (ingat kasus JIS), bullying, dan lain-lain.
Intinya, sekolah dan Komite Sekolah saat ini sangat perlu meningkatkan peran aktif untuk turut membantu character building di sekolah, sesuatu yang saat ini mulai terlupakan.
Mungkin hal-hal tersebut akan sulit dilaksanakan dari segi waktu, biaya dan tenaga. Namun demikian, tidakkah lebih baik kita berkorban waktu, tenaga dan biaya katimbang terpaksa mendapati anak-anak kita menjadi korban pelecehan seksual oleh orang-orang berkepribadian menyimpang atau mendapati anak-anak yang kita cintai tewas sia-sia di tangan rekan-rekan sekolah sendiri?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI