Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Gadis Pemandu Wisata Chiang Mai (5)

12 November 2011   04:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:46 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

EPISODE 4 bisa disimak di sini

Mae Sa Valley Tuptim Cottage itu sebenarnya bukan lodging yang mewah. Terdiri dari gugusan bangunan berdinding kayu tanpa cat, beratap ilalang. Setiap gugus terdiri dari coupled room yang berandanya dibatasi pagar kayu juga. Sederhana tapi asri, dengan lindungan sejumlah pohon besar di sekelilingnya. Gemericik air terdengar di sekeliling. Sejumlah turis tampak memadati restaurant yang juga berfungsi sebagai resepsionis.

“Silakan, dua kamar, nomor 05 dan 06,” resepsionis menyerahkan kunci kamar masing-masing padaku dan pada Kanita. Aku kemudian memesan dua kopi dan khao nia ma muang alias ketan mangga. Kami memilih meja menghadap hamparan lembah di bawah sana.

Dua pasangan bule duduk tak jauh dari aku. Lelaki bule ganteng dan perempuan bule cantik, dengan rambut terikat ke belakang. Kedua turis asing ini juga sedang menunggu makanan. Si bule perempuan, tertarik pada hamparan lembah, meraih papan persegi empat yang dilengkapi dengan kertas sketsa, meraih pensil dan berdiri mencari sudut pandang yang pas dan mulai membuat sketsa pemandanga dengan coretannya. Bosan menunggu, tertarik dengan kegiatan artistik si cewek bule, Kanita pun menghampiri si bule perempuan dan mulai mengobrol.

Aku melihat Kanita dari kejauhan.

“Perempuan memang lebih dulu tertarik pada yang indah-indah,” tiba-tiba bule lelaki itu bicara padaku.

Excuse me?” aku memastikan ia bicara padaku.

Look at them,” si bule menunjuk istrinya dan Kanita. “Waktu untuk menunggupun dimanfaatkan untuk menyimak yang indah-indah,” kata si bule lelaki.

“Oh ya, benar!” kataku. “My name is Fajar,” aku menjulurkan tangan memperkenalkan diri. Si bule pria menyambut tanganku.

I’m Jake. Nice to meet you!”

Nice to meet you too!”

Are you Thai?” Jake tanya.

No, Indonesian! And you?”

Canadian! She’s Canadian too,” Jake menunjuk bule perempuan.

Your girlfriend?” kataku.

Yeah!”

She’s beautiful,” pujiku.

Thanks. Itu pacarmu?” Jake menanyakan Kanita.

“Bukan, ia pemandu wisata, perempuan Thai!”

She’s pretty!” ujar Jake.

Pujian Jake ini tentu saja meragukanku. Bule kan biasa pasang pujian, meski kadang tidak jujur. Benar-benarkan Jake melihat Kanita sebagai perempuan cantik? Timbul niatku untuk menguji pendapat Jake sekaligus menguji obyektifitas persepsiku atas penampilan Kanita.

Aku mendekatkan kursi ke dekat kursi Jake.

“Jake, aku tahu ini aneh. Tapi aku perlu pendapatmu yang sebenarnya. Tell me, apakah perempuan Thai itu benar-benar cantik, maksudku physically attractive?”

Well, my friend, sepanjang pengamatanku, perempuan Thailand biasanya cantik-cantik dan atraktif,” kata Jake tak segera menjawab pertanyaanku.

“Apakah pemandu wisataku itu termasuk dari itu?” desakku.

“Bisa kubilang ya!”

Aku tak puas pada jawaban Jake. Aku menoleh berkeliling. Gadis resepsionis muda itu cantik juga, sepantaran Kanita, tapi Kanita jauh lebih menarik.

“Sori kalau aku minta pendapatmu sebagai sesama pria , Jake. Menurutmu, siapa lebih menarik gadis resepsionis itu atau pemandu wisataku?”

Jake memutar badan untuk menyimak si gadis resepsionis yang tengah berdiri membenahi sesuatu di meja pendek di depannya.

“Benar kamu minta pendapat obyektifku?” kata Jake.

“Benar”

“Terus terang, ya, gadis resepsionis itu lebih cantik, lebih menarik, dan lebih muda!” kata Jake.

Aku menghela nafas. Aku tahu Jake melihat sosok Kanit pada raga Kanita, persis seperti pendapat orang lain ketika melihat Kanita.

What’s wrong, buddy? Kau suka gadis itu? Tak usah membanding-bandingkan, kecantikan bukan nomor satu,” kata Jake berseloroh.

Kecantikan bukan nomor satu! Berarti Kanita tidak cantik menurut pandangan Jake. Aku makin yakin ia melihat Kanit, bukan Kanita.

***

Hari beranjak gelap ketika aku dan Kanita usai menikmati makanan kecil sore.

“Aku mau istirahat beberapa saat, kalau kau tidak keberatan” kata Kanita membuka pintu kamar 05, persis bersebelahan dengan kamarku.

“Oke,” kubangunkan kamu saat makan malam nanti,” kataku, “Selamat beristirahat!”

Aku tak berhasrat beristirahat. Terbelenggu oleh ucapan Jake dan kegalauanku tentang persepsi orang yang berbeda akan fisik Kanita, aku merasa harus mencari penjelasan lewat cara lain.

Aku bergerak ke resepsionis, dan bertanya, “Ada saluran internet di sini?”

“Ya, ada, di belakang, kiri,” jelas resepsionis, “20 baht per 10 menit, pakai koin”

Kudapakan saluran internet itu, dan mulai googling. Kumasukkan kata kunci ‘woman with two faces’ pada kolom search. Tak banyak fakta yang kudapat, kecuali  makna kiasan yang artinya punya dua kepribadian, dan beberapa judul film. Satu film tahun 1941 berjudul ‘Two-faced Woman’ yang dibintangi Greta Garbo, dan satu lagi sebuah film Prancis baru rilis berjudul ‘Ne Je Retourne Pas’ atau “Don’t Look Back’ dalam bahasa Inggris. Film ini dibintang Sophie Marceau dan Monica Belucci.

Kubaca resensi film itu. Ini menarik. Dalam thriller di youtobe kulihat adegan perubahan wajah dari peran Sophie Marceau ke wajah Monica Belucci yang sama-sama cantik dan seksi. Perubahan wajah terjadi karena peristiwa kelam yang dialami tokoh Sophie Marceau di masa lalu! Hm!

Dan satu lagi, tentang lahirnya bayi perempuan di India yang menghebohkan dunia. Bayi ini lahir dari keluarga miskin pada tanggal 10 Maret 2008. Bayi itu punya dua wajah, empat mata, dua mulut dan hanya dua telinga. Hm!

Kira-kira apa yang terjadi dengan Kanita? Kekacauan persepsiku? Keremangan ilusi? Teka-teki belum terjawab tuntas.

***

Aku mengetuk pintu kamar Kanita sekitar jam tujuh malam. Ia telah siap, masih dengan celana jins pendek dan jaket; rupanya ia tak bawa ganti baju yang cocok untuk udara yang beranjak dingin.

Aku dan Kanita semeja dengan pasangan Jake dan Leslie, turis bule tadi sore. Leslie rupanya pelukis berbakat. Ia menunjukkan banyak karya sketsa, mulai dari candi, panorama alam, binatang dan manusia.

“Boleh kalian kulukis?” Leslie meminta ijin.

“Sure. Tapi kami tak bisa bayar,” kataku.

Don’t be silly. Ini gratis, ujar Leslie dengan senyum cantiknya.

Aku dan Kanita membiarkan Leslie mulai bekerja dengan pensil dan kertas sketsa. Sesekali Leslie menghapus beberapa goresan salah dan meminta kami diam memaku sejenak untuk merekam detail gambar.

“Leslie pelukis sketsa yang berbakat,” puji Jake, “ia bahkan bisa melukis sesuatu hanya dengan mendengarkan gambaran lisan orang tanpa melihat obyeknya”

20 menit kemudian, sketsa itu usai. Leslie membentangkannya di hadapanku. Ia benar-benar seniman keren. Wajah lelaki di sketsa itu, aku kenal betul; wajahku. Dan wajah Kanita yang disketsakan,…..wajah Kanit!

“Hebat! Sketsa yang sangat fotografik!” kata Jake, seratus persen akurat”

“Bagaimana pendapatmu, Kanita?” tanyaku.

Nice, I like it!” kata Kanita singkat.

“Ini buat kalian, hadiah! Kalau mau salinannya, silakan scan,” kata Leslie.

“Thanks, Leslie, aku perlu tandatanganmu di sketsa ini. Dan Leslie dengan senang hati menggoreskan tandatangan itu.

Kanita tak berkomentar banyak tentang sketsa buatan Leslie, tidak punya perlu bertanya apakah aku heran melihat wajah Kanit dalam sketsa itu. Yang jelas aku punya satu titik baru; sketsa buatan tangan ternyata bisa merekam wajah asli Kanita.

***

Pukul 8.38 malam.

Aku mengantar Kanita ke depan pintu kamarnya. Ia membuka pintu dan berkata, “Tiba waktunya beristirahat. Sampai jumpa besok. Aku biasa bangun lambat. Kita ketemu jam 9”

“Oke, Kanita. Tapi satu hal, aku mau minta maaf soal di air terjun tadi. Aku khilaf, terlalu terpesona kecantikanmu,” kataku.

It’s okay, Fajar. Believe me, aku suka momen tadi sore”

“Benarkah?”

“Ya!”

“Oke!” kataku.

“Oke!” Kanita berhenti sebentar di pintu kamar, melangkah perlahan masuk,” baliklah ke kamarmu, besok keliling dulu sebelum kembali ke Chiang Mai,” ia menatapku beberapa saat, seakan kurang yakin dengan bagian kata ‘baliklah ke kamarmu’.

“Baik, good night!”

Ratri sawad” Kanita membalas ucapan selamat malam dalam bahasa Thai.

Perlahan aku melangkah ke kamarku, dan menutup pintu. Ada yang aneh dalam dada dan benakku ketika menyimak tatapan Kanita di depan pintu itu. Sungguh aku ragu apakah itu tadi tatapan mengundang atau apa? Aku menghitung detak jam. Dalam beberapa menit, berharap ada keajaiban.

Dan benar, tiga menit kemudian, pintu kamarku diketuk dari luar. Kanita berdiri di ambang pintu.

“Kanita?” kataku. Cantik nian ia dalam sinar temaram lampu kamarku. Dan tatapan itu, sekarang mudah kutebak maknanya.

“Mau masuk?”

Ia tidak menjawab, langsung melangkah masuk.

“Kenapa kau kemari?” tanyaku, berdiri tak jauh di hadapannya, menutup pintu.

Jam menunjukkan pukul 8.45.

“Mau minta maaf soal tadi,” ujar Kanita.

“Kita sudah saling memaafkan”

“Kamu tidak perlu minta maaf!”

“Kenapa?”

“Karena sebenarnya aku menginginkannya. Bisakah kutarik kembali kata-kataku tadi sore soal ‘tidak boleh begitu’?”

“Maksudmu?”

Joop dichan …..” desisnya.

Dan aku tak menunggu lama. Kuberikan yang ia minta. Hangat, lama dan bergelora. Kanita kemudian menyediakan segala keindahan raganya buatku, yang kuimbali dengan tatapan penuh hasrat.

“Matikan lampu,” pintanya dalam pelukanku di ranjang itu. Aku menekan tombol offlampu meja. Remang. Keindahan dalam remang.

Tapi, ketika titik gelora itu hampir mendekati puncak, tiba-tiba aku merasa ada yang salah dengan tubuh Kanita. Ia menjadi lebih berat, dan dalam rabaanku, tubuh itu tidak seramping Kanita yang kulihat selama beberapa hari ini. Aku meraba wajahnya. Pipi itu bukan pipi Kanita. Something has gone wrong!

Kunyalakan lampu berbareng dengan teriakan Kanita yang melarang aku menyalakan lampu. Tapi itu terlambat. Lampu meja membenderangi kamar.

“Kanit!” aku terpekik.

(BERSAMBUNG KE SINI)

Ratri sawad = selamat malam, joop dichan = cium aku


Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun