Mohon tunggu...
EcyEcy
EcyEcy Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Sejatinya belajar itu sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bahagia yang Sempurna

29 Agustus 2019   16:00 Diperbarui: 30 Agustus 2019   07:38 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langit biru cerah meskipun awan menyisakan sedikit mendung di beberapa bagiannya. Dan hujan seakan belum bisa beranjak pergi. Terlihat titik titik gerimis masih setia membelai udara yang sudah mulai terasa hangat pada raga raga bernyawa.

Kicauan burung mulai berdendang riang. Bersuka ria menyambut pagi yang indah. Hijau pohon menari bersama desahan sang bayu yang tak pernah lelah bergerak ke segala arah. Meskipun uap air masih berjatuhan di udara, namun keceriaan tetap terpancar dari gerak geriknya. Alam pun bersuka cita.

Tampak dari balik lapisan awan, di sebuah istana megah di atas khayangan, seorang pemuda nan gagah sedang bermuram durja. Garis garis halus di kening, lekukan bibir ke bawah dan mata sayu tak bergairah menandakan tak adanya kebahagiaan pada hatinya. Padahal tampak sekali bidadari bidadari cantik menghiburnya dengan gelak tawa. Ada apakah dengannya?

"Hai anak muda! Apa yang sedang kau pikirkan?" Seorang lelaki berambut panjang dan  berjanggut tebal dengan pakaian serba putih, longgar tergerai melambai karena tiupan sepoi angin bertanya dengan heran.

"Aku sedih." Pemuda tadi menjawab tanpa mengalihkan pandangannya ke bawah.

"Bukankah seharusnya kamu bahagia karena sudah berada di surga?" Lelaki  tadi bertanya kembali.  

"Aku bahagia. Tapi kebahagiaanku tak sempurna." Pemuda tadi menjawab dengan datar.

"Seperti tak bersyukur saja. Tuhan telah berbaik hati padamu. Tuhan telah memasukkanmu ke surga sebagai balasan kebaikanmu selama di dunia. Tapi mengapa kamu merasa semua ini masih belum sempurna?" Lelaki itu bertanya kembali dengan geramnya.

"Lihatlah jauh di bawah sana! Karena itulah aku masih bersedih." Pemuda itu mengarahkan jari telunjuknya ke bentangan permukaan bumi.

Tampak seorang nenek terbaring lemah di atas balai bambu di bawah gubuk yang terlihat tak terurus. Sepertinya nenek itu sedang sakit dan tak ada yang mengurus.

Lelaki tadi semakin keheranan. Begitu banyak tanya bergejolak dalam kepalanya. Terlebih ketika terlihat bulir bening pecah di kedua pipi pemuda tadi. Keheranan lelaki itu semakin memuncak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun