Anak perempuan kami masih di rantau, tepatnya di asrama UI. Ia sedang melanjutkan studi di Depok. Dia memilih tidak pulang karena baru saja masuk kampus. Beberapa hari saat Lebaran, kantin di asrama diperkirakan akan tutup. Jadi, sulit baginya mendapatkan bahan makanan. Itulah sebabnya, ia mempersiapkan bahan-bahan makanan itu beberapa hari sebelum Idul Fitri tiba. Ada sedikit buah, mie instant, telor, kripik kacang, beras, dan lain-lainnya yang dibelinya di pasar terdekat. Beruntung juga tidak semua mahasiswa baru berencana pulang kampung sehingga dia tak merasa sendirian. Masih ada beberapa diantaranya yang akan memilih tinggal di asrama selama Lebaran. Salah satu pertimbangannya, karena baru saja masuk kampus dan untuk menghemat biaya.
"Ma, Iin pingin rasakan masakan Mama deh. Buatin ya Ma, biar ada untuk temannyanasi," begitu suara dari seberang. Rupanya anak perempuan kami yang menelpon.
Istriku serta merta mengiyakan. "Akan Mama buatkan tempe dan abon yang sedaaap. Masing-masing satu kaleng. Cukup untuk satu bulan." sahut istriku.
Terdengar jawaban, "He he he, senangnya. Mama soalnya pinter masak. Jadi, pingin nikmati masakannya Mama. Nanti titip saja sama Kak Santi ya, saat dia kembali ke sini 2 hari lagi," ujar anakku di seberang telepon.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, istriku bergegas ke pasar membeli 1 kg daging ayam dan sepotong besar tempe, ditambah dengan bahan-bahan untuk bumbu. Dengan penuh semangat ia pun membuat masakan yang diminta anaknya. Hampir sehari penuh dia mengerjakannya. "Payah juga tangan Mama menumbuk daging ayam untuk abon tadi," ujarnya setengah bergumam. Saya hanya tersenyum mendengarnya. Yang pasti, saya harus sedikit berikan pujian untuk semangatnya itu.
Berhari Raya Galungan
Tgl. 29 Agustus 2012 adalah hari Raya Galungan, hari yang selalu dirayakan oleh umat Hindu di Bali. Tapi, pada tanggal tersebut kegiatan di kampus Depok tetap berlangsung. Maklum saja, hari raya Galungan bukan hari libur nasional. Anakku terpaksa mohon ijin di kampus untuk sembahyang di Pura Rawamangun bersama teman-temannya.
Biasanya, kalau pada hari raya seperti itu, kami sekeluarga di Bali sembahyang bersama di rumah dan di sejumlah pura lainnya. Anak perempuan kami inilah yang banyak membantu ibunya menangani berbagai persiapan menyongsong hari suci Hindu itu. Tapi, kali ini ia tak lagi menemani kami sembahyang. Ada anak kami yang kedua -- laki-laki yang masih kelas 2 SMA -- yang menemani sembahyang, termasuk ketika melakukan persiapan menyambut hari suci itu, membuat penjor, misalnya.
Memiliki seorang anak wanita yang baru mulai belajar merantau terkadang menjadi pikiran, terutama oleh bundanya: Bagaimana ya keadaannya? Apakah dia sudah makan? Sedang apa dia sekarang? Mengapa sms Mama nggak dibalasnya, apakah ia sedang sibuk mengikuti orientasi mahasiswa baru? Begitulah serentetan pertanyaan yang muncul di benak ibunya.