Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Kisahku yang Sering Ugal-ugalan Bersepeda di Jalan!

20 Maret 2021   17:50 Diperbarui: 20 Maret 2021   18:02 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bersepeda ke sekolah (Sumber partizany.tumblr.com)

Aku dan sepeda, sepertinya tidak bisa dipisahkan. Mau ke sekolah naik sepeda, mau bermain  naik sepeda. Bahkan, di rumah pun aku bermain sepeda di halaman. Sepeda akan-akan sudah menjadi sahabat bermainku.

Teringat ketika pertama kali belajar naik sepeda, aku menggunakan sepeda laki-laki. Berbeda dengan sepeda perempuan, sepeda laki-laki dilengkapi dengan besi antara lapak tepat di bawah tempat duduk memanjang hingga ke bawah leher sepeda.

Untuk belajar bersepeda dengan sepeda laki-laki, dengan demikian, relatif lebih sulit. Kalau duduk di lapak, kaki tak sampai di pedal pengayuhnya. Ya, terpaksa belajar mengayuh dengan posisi miring, memasukkan setengah badan di antara "besi laki-laki" itu.

Begitulah, sejak SD hingga SMA aku bersepeda. Pengalaman bersepeda jadi demikian panjang. Semasih SD aku bersepeda hanya di seputar rumah atau di halaman sekolah yang letaknya dekat rumah. Nah, kemudian sejak SMP dan SMA, aku harus mengayuh sepeda dengan jarak cukup jauh, sekitar 20 Km pp.

Karena aku juga suka ke perpustakaan dan toko buku yang letaknya jauh dari rumah, ya, aku naik sepeda juga.

Kalau bicara tentang pengalaman naik sepeda, aku pernah jatuh dari sepeda, salah satunya jika tidak ditabrak teman, ya, menabrak teman dari belakang.

Bahkan, pernah suatu kali, aku "ngebut" naik sepeda. Ceritanya, aku sedang iseng balapan dengan teman satu sekolah ketika pulang sekolah. Saat itu kami berdua ngebut mengejar mobil sedan yang ada di depan. Bukan untuk apa-apa, hanya untuk menentukan siapa yang lebih cepat, he he he. Nakalnya kami...

Apa yang terjadi? Tanpa kami sangka sama sekali, mobil itu tiba-tiba berhenti. Sepeda kami berdua tidak bisa di rem mendadak dan lepas kendali. Alhasil, kami pun menabrak pantat mobil sedan itu bersamaan. Kami terjatuh. Pak sopir turun, dan menatap kami berdua, lalu melihat bagian belakang mobilnya.

"Untung tidak apa-apa. Kalau sampai rusak, kau berdua mesti menggantinya," ujar Pak sopir itu. Aku terdiam, lalu secara bersamaan meminta maaf atas kesalahan kami. Ia mengatakan, "Lain kali jangan ngebut lagi  apabila ingin sampai di rumah dengan selamat," tambahnya.

Kami berdua hanya bisa menunduk dan mengangguk dan sekali lagi minta maaf.

Masih beruntung saya dan sahabat saya tidak mengalami cedera. Hanya sedikit lecet di telapak tangan, sedangkan teman saya lecet di siku tangan kanannya.

Kami pun mengambil kembali sepeda yang tergeletak di jalan dan berangkat pulang dengan hati sedih dan sesal. Untungnya lagi, ayah tidak mengetahui peristiwa itu. Aku sengaja tidak menceritakan kepadanya. Kalau aku menceritakannya, aku pasti akan menerima dampratan kemarahan.

Ada satu lagi kenanganku naik sepeda saat sekolah. Aku dan sahabat karibku baru saja pulang dari sekolah. Di perjalanan, kalau keadaan sedang sepi, kami biasanya bersepeda berjejer. Aku yang di tengah, teman yang di sebelah kiriku, atau sebaliknya.

Nah, dalam posisi seperti ini, kami sama-sama lepas tangan. Maksudku, melepaskan tangan dari stang sepeda, belajar menjaga keseimbangan.

Aku melakukan hal ini seringkali ketika dalam perjalanan pulang sekolah, saat keadaan jalan sepi. Untuk maklum, saat itu keadaan di desa kami masih relatif sepi. Bahkan, yang namanya di kota Denpasar pun tidak seramai sekarang.

Tibalah pada suatu hari aku melakukan hal yang sama, bersepeda berjejer dua. Nah, tanpa dinyana sebuah mobil tangki minyak yang hampir menyerempetku. Tiba-tiba aku diguyur air.

Badanku basah, demikian juga dengan sahabatku. Rupanya si sopir dan temannya yang duduk di sebelahnya marah lantaran perilaku kami di jalanan dan memberikan ganjaran berupa guyuran air.

Sambil terus mengayuh dalam keadaan basah kuyup, aku segera menyadari kekeliruanku yang telah mengganggu kelancaran lalu-lintas saat itu. Pantaslah aku disiram air agar aku menyadari kesalahanku. Masih beruntung air yang dipakai menyiram adalah air bersih, bukan air bekas, he he he.

Pengalamanku bersepeda itu mengantarkanku pada kesadaran yang tumbuh belakangan, betapa berkendara di jalan perlu mengikuti aturan dan memiliki etika.

Hal itu dimaksudkan agar tercipta ketertiban dan kenyamanan bagi semua pengguna jalan. Tidak boleh egois, mementingkan diri sendiri. Harus selalu memedulikan kepentingan orang lain juga.

Di jalan aku dapatkan pengalaman dan dari jalan pula aku mendapat pelajaran.

( I Ketut Suweca, 20 Maret 2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun