Buku sebagai sumber ilmu sudah tak disangsikan lagi. Ilmu yang ada di dalam buku menyebabkan orang jadi pandai. Banyak orang yang menjadi terkenal dan maju dalam hidupnya lantaran kontribusi buku. Mereka menjadi "seseorang" berkat membaca. "To day a reader, tomorrow a leader," ujar Margaret Fuller.
Buku saat ini bukan lagi barang langka. Buku sudah relatif mudah diperoleh. Ada banyak perpustakaan dan toko buku di berbagai tempat. Tak hanya di pusat-pusat kota besar, bahkan juga di kota-kota kecil hingga di pedesaan. Hanya saja, di pedesaan buku yang ada relatif masih terbatas karena berbagai sebab.
Selain itu, e-book juga sudah tersedia. Kita bisa mengaksesnya, baik yang gratisan maupun yang berbayar. Di era digital ini, mendapatkan ilmu pengetahuan dan berbagai skill lainnya sudah sangat dipermudah. Kita-lah yang harus menguatkan semangat untuk memanfaatkan perkembangan dunia perbukuan yang ada, baik yang konvensional (cetak) maupun yang digital (e-book).
Kendati belakangan ini kesempatan untuk mendapatkan dan mengakses buku jauh lebih mudah dibanding satu atau dua dasa warsa yang silam, tetapi mengapa minat baca buku tak kunjung meningkat? Buktinya, banyak guru yang mengeluhkan para siswa didiknya tidak suka membaca. Banyak orangtua yang berharap besar putra-putrinya senang membaca buku, tapi nyatanya tak mau menggubris buku.
Ada apa sebenarnya dengan buku? Sejatinya pemerintah pusat dan daerah, kalangan swasta, serta banyak komunitas, berjuang untuk mewujudkan masyarakat gemar membaca.Â
Perpustakaan nasional bahkan kini dimungkinkan untuk diakses secara online. Perpustakaan di daerah serta toko-toko buku tak terlalu sulit didapatkan. Tapi, mengapa upaya-upaya  mendorong masyarakat gemar membaca buku tak kunjung berhasil?
Pengaruh Media Sosial
Adakah ini lantaran pengaruh era digital? Bukankah di era digital, kita dibantu mengakses buku digital (e-book) dengan mudah, bahkan sangat mudah? Saya menduga, ketidaktertarikan generasi masa kini terhadap buku lantaran daya tarik buku yang kurang.Â
Buku kalah menarik dan kalah menggodanya dibandingkan dengan media sosial seperti istagram, facebook, twitter, dan sejenisnya. Kebanyakan generasi muda kini familiar dengan media sosial dibandingkan dengan buku-buku.
Mereka merasa lebih "modern" dengan berselancar di media sosial daripada  tenggelam di antara buku-buku. Tetapi, apakah hal ini salah atau tak sesuai dengan yang kita kehendaki? Saya rasa tidak juga. Tidak menjadi masalah kalau generasi muda familiar dengan media sosial karena hal ini juga dapat menambah pengetahuan dan memperluas pergaulan mereka.
Akan tetapi, tetap harus diakui bahwa untuk menumbuhkan budaya literasi, baik membaca maupun menulis, tak bisa berbekalkan pada kepiawaian bermedia sosial. Â