Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bukan Hanya Penindakan, Pencegahan Korupsi Jauh Lebih Penting

11 Desember 2019   11:09 Diperbarui: 11 Desember 2019   22:22 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pemberantasan korupsi. (sumber: kompas.com)

Sebuah media nasional melaporkan bahwa terdapat banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan. 

Sepanjang tahun 2004 hingga November 2019, ada 121 kepala daerah yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni mulai dari wali kota, wakil wali kota, bupati, wakil bupati, hingga gubernur.

Kendati sudah ratusan orang pejabat yang sudah dikenai tindak pidana karena korupsi, tetap saja kasus-kasus merugikan negara terjadi di sejumlah lembaga, baik di pusat maupun di daerah. 

Apakah yang menjadi penyebab orang melakukan korupsi? Faktor-faktor apa saja yang mendorong orang menjadi koruptor.

"Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan tanpa kontrol pasti korup," demikian tulis Lord Acton. 

Jadi, kesempatan berkuasa itu sendiri -- di samping sebagai amanah untuk dijalankan secara bertanggung jawab, termasuk dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, di balik itu ada juga peluang untuk menyalahgunakannya. 

Bergantung kepada pribadi penguasa, apakah akan mengikuti aturan dan ketentuan yang berlaku atau menyimpangkannya. Kontrol  diri dan kontrol eksternal, sangat diperlukan.

Untuk membahas hal ini lebih jauh, berikut penulis sampaikan sejumlah faktor yang bisa mendorong orang berperilaku koruptif. 

Di samping itu, juga diketengahkan beberapa solusi alternatif yang dapat diupayakan untuk meminimalkan terjadinya korupsi di kemudian hari.

Pertama, sifat serakah. Ada dua sifat manusia yang saling berseberangan: sifat baik dan sifat buruk. Semuanya bersifat potensial di dalam diri manusia. Tak ada orang bersifat baik seratus persen atau buruk seratus persen. 

Tinggal sekarang, yang mana yang mau dimenangkan, sifat-sifat baik atau sifat-sifat buruk. Salah satu sifat buruk yang potensial itu adalah sifat serakah alias rakus. Artinya, ada keinginan untuk memperoleh, menguasai, dan memiliki sesuatu yang bukan miliknya dan/atau bukan haknya.

Ketika kekuasaan atau jabatan dipegang yang di dalamnya menyertakan peluang menyalahgunakannya, bukan mustahil sifat rakus itu muncul ke permukaan jika tak ada usaha untuk mengendalikannya. Kalau dibiarkan berkembang, maka sifat tersebut akan semakin mewujud dan merajalela ke dalam beragam bentuk tindakan korupsi.

Kedua, kelemahan pengawasan. Pengawasan itu ada dua, internal dan eksternal. Pengawasan internal adalah pengawasan di dalam institusi itu sendiri. 

Pengawasan internal ini dimaksudkan terutama untuk mendeteksi kesalahan atau penyalahgunaan kekuasaan sejak dini sehingga tidak berkembang lebih jauh.

Selanjutnya, pengawasan eksternal adalah pengawasan dari lembaga pengawas/pemeriksa yang berada di luar institusi yang diawasi yang bersifat independen, seperti KPK, BKP, BPKP, dan lainnya. 

Di samping itu, ada juga kontrol dari media, NGO, dan sebagainya. Pengawasan internal dan internal inilah yang diharapkan untuk mencegah dan/atau memerangi tindakan korupsi.

Ketiga, kelemahan sistem. Sistem yang dimaksudkan di sini lebih mengarah kepada manajemen dan tata kelola pemerintahan dan pelayanan yang masih memberikan peluang aparat untuk melanggar. 

Dalam sebuah sistem yang sifatnya masih manual dan mengutamakan layanan tatap muka, peluang untuk terjadinya penyalahgunaan wewenang atau jabatan cenderung tetap terjadi.

Sehubungan dengan itu, di lingkungan pemerintahan kini terus dipacu pelaksanaan apa yang dikenal dengan sebutan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Sistem elektronik yang diterapkan antara lain e-budgeting, e-planning, dan e-procurement. 

Dengan pemanfaatan sistem elektronik secara terintegrasi, diharapkan akan memperkecil peluang terjadinya korupsi dengan segala bentuknya. 

Dengan SPBE, pemerintah didorong untuk menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat secara cepat, efisien, transparan, dan akuntabel.

Keempat, ongkos politik yang besar. Hal ini sudah terjadi pada sejumlah kepala daerah yang kemudian terbukti terlibat kasus korupsi. 

Ongkos politik sejak masa pencalonan hingga berhasil menjadi pemenang dengan suara terbanyak, memunculkan niat untuk bisa mengembalikan ongkos yang sudah dikeluarkan itu saat menjabat. 

Sistem politik berbiaya tinggi inilah yang bisa menjadi pendorong seorang kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi. Sistem politik ini seyogianya dikaji sehingga menjadi lebih efisien dan tak membebani sang calon kepala daerah.

Kelima, penghasilan yang kurang. Alasan korupsi adalah masih belum memadainya penghasilan. Boleh juga alasan ini. Berarti, orang korupsi karena terpaksa. Akan tetapi, orang melakukan korupsi tidak selalu lantaran faktor penghasilan yang minim, melainkan karena mentalitas berkekurangan.

Orang seperti ini selalu merasa kekurangan uang atau kurang kaya sehingga selalu berusaha untuk mengeduk sumber uang dengan memanfaatkan kekuasaan kendati pun itu bukan hak dan melanggar hukum. 

Dalam beberapa kasus mungkin benar ada yang karena alasan kekurangan pendapatan, tapi saya pikir, ini lebih pada persoalan mentalitas.

Keenam, sikap permisif masyarakat. Perilaku koruptif itu bisa tumbuh dari pribadi yang serakah atau rakus, bisa pula karena dorongan dari pihak luar, terutama mereka yang dilayani, dalam hal ini masyarakat pada umumnya. 

Kalau masyarakat  sendiri permisif bahkan mendorong perilaku korupsi, kemungkinan pertahanan aparat bisa jadi jebol oleh iming-iming uang atau lainnya. 

Oleh karena itu, tak hanya pemerintah, masyarakat pun harus berperan untuk menghindari perilaku negatif seperti menyogok pejabat/petugas  atau jurus 'kong kali kong' lainnya.

Ketujuh, lemahnya pencegahan. Yang banyak tertulis dan terbaca di berbagai media adalah penindakan terhadap mereka yang berperilaku korup. Hari-hari kita banyak dikabari dengan kasus-kasus tertangkap tangan karena kasus suap-menyuap.

Tidak banyak kita membaca upaya pencegahan yang dilakukan secara tersistem dan terencana, walaupun hal ini sesungguhnya sudah mulai dilakukan. Dan, sistem pengawasan internal pemerintah pun sudah dibangun dan terus diperkuat sebagai upaya self control.

Terkait dengan upaya pencegahan dini sekaligus menyelamatkan generasi penerus, ada baiknya intensitas sosialisasi perilaku antikorupsi digencarkan lagi dengan menyasar peserta didik. 

Anak-anak sekolah perlu diberikan pemahaman bahwa korupsi itu adalah tindakan yang melanggar hukum, perbuatan yang tercela, dan merugikan negara dan masyarakat. Perlu ditanamkan dan dikembangkan integritas diri sejak dini.

Tak hanya kepada siswa didik, para kepala sekolah, pengawas, dan terutama guru juga perlu diberikan pemahaman. 

Mengapa ini perlu? Karena, merekalah yang akan mengajarkan dan membimbing para siswa dalam menginternalisasi dan menumbuhkembangkan mentalitas antikorupsi yang bisa dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana di sekolah.

Adalah sangat penting dan strategis bagi para siswa ditanamkan perilaku hidup bersih (baca: berintegritas), karena merekalah yang kelak akan memegang tongkat estafet kepemimpinan negeri ini. 

Merekalah yang menjadi pemilik negeri ini. Tentu kita berharap, mereka akan menjadi lebih baik dibanding generasi sebelumnya, terutama dari sisi kejujuran sebagai bagian utama dari integritas.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat sejumlah faktor penyebab mengapa orang berperilaku korup, yakni karena sifat serakah, pengawasan yang lemah, sistem informasi yang belum sepenuhnya mendukung, upaya pencegahan terutama penanaman nilai integritas masih kurang, perilaku permisif masyarakat, penghasilan yang dianggap masih minim, dan ongkos politik yang besar.

Dari semua ini kita sudah bisa melihat betapa besar pekerjaan rumah yang harus dikerjakan secara sinergis oleh pemerintah, lembaga pengawas, dan didukung oleh seluruh komponen masyarakat untuk meminimalkan kasus korupsi di masa datang.

(I Ketut Suweca, 11 Desember 2019).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun