Dapat kita lihat dalam grafik di atas bahwa terdapat 5 proyeksi yang dibuat untuk menganalisis tingkat kemiskinan dan relasinya terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Terlihat pergerakan yang berlawanan antara laju grafik tingkat kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi.
Pada skenario terburuk, jika ekonomi tumbuh hanya 1%, maka tingkat kemiskinan Indonesia mencapai 12,37%. Angka ini meningkat dari 2019 yang memiliki tingkat kemiskinan satu digit sebesar 9,22%. Laporan tersebut menjelaskan kemajuan Indonesia dalam mengurangi angka kemiskinan dalam satu dekade terakhir akan musnah. Maka dari itu, pemerintah perlu memperluas program perlindungan sosial untuk melindungi penduduk miskin yang semakin bertambah.
Laporan The SMERU Research Institute yang berjudul "The Impact of Covid-19 Outbreak on Poverty: An Estimation for Indonesia" membuat lima proyeksi peningkatan jumlah orang miskin. Pada skenario terburuk, yaitu jika ekonomi Indonesia hanya tumbuh 1 persen pada 2020 maka tingkat kemiskinan mencapai 12,4 persen. Jumlah penduduk miskin diperkirakan 33,2 juta penduduk. Selain itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Mohammad Faisal, juga mengatakan bahwa banyak orang yang berada di golongan hampir miskin terancam terjun ke dalam garis kemiskinan karena terimbas Corona. Jumlahnya diperkirakan ada 67 juta orang. Hal ini didasarkan oleh adanya data yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang statusnya mendekati garis kemiskinan saat ini sejumlah 67 juta orang.
Hal yang dikhawatirkan adalah, saat ada gejolak dalam perekonomian kelompok tersebut sangatlah rentan untuk masuk ke dalam garis kemiskinan. Melihat dampak yang dirasakan dalam kesejahteraan hidup masyarakat, dalam hal ini kemiskinan, terklasifikasi menjadi eksternalitas negatif karena pihak ketiga, masyarakat, merasakan dampak dari adanya kebijakan PSBB yang ditetapkan oleh pemerintah.
Berdasarkan teori eksternalitas, jika sebuah eksternalitas yang terjadi adalah negative maka cara untuk mengkompensasi hal tersebut adalah diberlakukannya pajak terhadap perusahaan. Namun, dalam konteks pemerintahan, kompensasi yang diberikan pemerintah haruslah berkenaan dengan dampak yang ditimbulkan oleh setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam hal ini, terdapat dua sektor yang terimbas secara negatif, yaitu ketenagakerjaan dan kemiskinan.
Salah satu cara untuk menghadapi ekternalitas dari PSBB ini adalah dengan pemberian berupa bantuan sosial kepada masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhannya pada kondisi seperti ini.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah sejauh ini terdapat pemberian Program Keluarga Harapan (PKH), Pemberian Kartu Penerima Sembako, dan Kartu Prakerja, selain itu adanya pembebasan dan diskon tarif listrik serta keringanan pembayaran kredit bagi pekerja disektor informal sangat membantu masyarakat dalam mengelola  kondisi keuangan mereka pada saat krisis seperti ini.
Selain itu perlu adanya upaya pemenuhan ketersediaan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, sebab untuk memberikan bantuan sosial berupa sembako tentunya harus didukung oleh ketersediaan pangan yang  memadai, dengan adanya PSBB ini pemerintah harus memikirkan bagaimana agar produksi pangan tetap berjalan di tengah pandemi COVID-19 ini. Jadi dapat kita simpulkan bahwa di dalam penerapannya, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menuai banyak eksternalitas yang terjadi di masyarakat baik itu negative maupun positif. Hal ini didasarkan oleh adanya teori eksternalitas. Berdasarkan sorotan penulis, terdapat tiga sektor utama yang terdampak yaitu konsumsi, ketenagakerjaan dan juga kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
Buchanan, James M. 1962. The Calculus of Consent: Logical Foundations of Constitutional Democracy. The Online Library of Liberty