Yus Rusila Noor
yus.noor@gmail.com
Sejarah manusia bukan hanya sejarah peperangan dan perebutan kekuasaan, melainkan juga sejarah pengetahuan, bagaimana ia lahir, tumbuh, dipelihara, atau justru dihancurkan. Cerita Umberto Eco yang difilmkan menjadi The Name of the Rose mengajak kita untuk mengikuti alur pertentangan antara kekuasaan dan pengetahuan. Namun, sejarah juga mengajari dari perpustakaan besar yang dibakar di Baghdad hingga risalah ilmiah yang dilindungi di Konstantinopel, dari manuskrip yang digelapkan oleh kolonialisme hingga naskah yang dikaji untuk kepentingan politik, pengetahuan kerap berada di persimpangan antara apakah ia akan menjadi cahaya yang menerangi, atau api yang membakar?
Represi terhadap Pengetahuan
Kisah penghancuran pengetahuan bukanlah hal asing dalam sejarah. Dari pembakaran Perpustakaan Aleksandria, penutupan sekolah filsafat di Athena oleh Kaisar Yustinianus, hingga eksekusi ilmuwan seperti Giordano Bruno, semuanya memperlihatkan bagaimana kekuasaan, baik politik maupun agama, sering kali melihat pengetahuan sebagai ancaman. Dalam banyak kasus, yang menjadi lawan pengetahuan bukanlah agama atau ideologi itu sendiri, tetapi para elite yang merasa kewenangannya terancam oleh pikiran-pikiran baru.
Istilah "genosida pengetahuan" dapat dipahami sebagai upaya sistematis untuk mematikan warisan intelektual suatu bangsa. Peristiwa penghancuran Baghdad pada tahun 1258 oleh Hulagu Khan, cucu Kubilai Khan, misalnya, bukan hanya merenggut nyawa ribuan orang, tetapi juga menenggelamkan khazanah pengetahuan Islam ke dalam Sungai Tigris. Sejarawan menilai peristiwa ini sebagai simbol pemusnahan budaya dan pengetahuan yang disengaja.
Apakah motivasinya sekadar menghapus identitas budaya atau juga menggantikan dengan pengetahuan penguasa baru? Dalam banyak kasus, keduanya berjalan bersamaan. Penghancuran buku berarti pemutusan ingatan kolektif, sementara pengetahuan baru diperkenalkan untuk melegitimasi kekuasaan sang penakluk.Â
Panglima dan Preservasi Pengetahuan
Namun, sejarah juga mencatat wajah lain, penakluk yang justru melestarikan pengetahuan wilayah yang ditaklukkannya. Mehmed II, atau Al-Fatih, setelah merebut Konstantinopel pada 1453, tidak membakar perpustakaan Bizantium, melainkan memelihara banyak manuskrip dan bahkan mendorong terjemahan karya-karya klasik Yunani. Salahuddin al-Ayyubi, ketika menaklukkan Yerusalem, juga dikenal melindungi tempat ibadah dan manuskrip, berbeda dengan praktik penjarahan yang lazim di masa itu.