Mohon tunggu...
Yus Rusila Noor
Yus Rusila Noor Mohon Tunggu... Pekerja Lingkungan

Saya adalah seorang yang sedang belajar. Bagi saya, hidup itu adalah proses belajar, dan belajar itu adalah proses seumur hidup .... Iqra

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Lahan Basah, Nadi Kehidupan yang Tak Boleh Hilang

2 September 2025   18:39 Diperbarui: 19 September 2025   14:59 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto udara hutan mangrove Jembatan Cinta di Kampung Paljaya, Desa Segara Jaya, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (10/5/2023). | KOMPAS/AGUS SUSANTO

Lahan basah hilang perlahan, dari atas peta, dari radar kebijakan, dan dari kesadaran masyarakat. Di Jakarta, Surabaya, Makassar, dan kota pesisir lainnya, rawa dan lahan banjir yang dulunya menyerap limpahan air kini digantikan beton dan aspal. Jakarta tenggelam sebagian karena hilangnya lahan basah dan over-ekstraksi air tanah, kombinasi yang mematikan.

Krisis ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Mesopotamia, Irak, rawa-rawa yang dulu dianggap taman Eden nyaris musnah di akhir abad ke-20. Di Kenya, Ethiopia, dan Uganda, lahan basah di Lembah Rift tertekan oleh pertanian dan polusi. Di dunia global yang memanas, kehilangan lahan basah memperparah banjir, kekeringan, dan krisis air bersih.

Lahan Basah Benteng Iklim dan Masa Depan

Di tengah perubahan iklim yang makin ekstrim, lahan basah adalah benteng alami yang tak tergantikan. Mereka menyerap karbon, menyaring air, menahan gelombang laut, dan memperlambat banjir.

Mangrove dan rawa pasang surut termasuk dalam sistem blue carbon, ekosistem pesisir yang menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah besar dan stabil. Ketika dilindungi, mereka menjadi solusi iklim, tetapi ketika dihancurkan, mereka jadi bom karbon.

Di Demak, pendekatan Building with Nature yang dikembangkan oleh Wetlands International bersama pemerintah dan masyarakat setempat membuktikan bahwa solusi berbasis alam dapat menyelamatkan garis pantai yang terkikis, meningkatkan pendapatan warga, dan membangun ketahanan terhadap banjir rob.

Masyarakat sebagai Penjaga Utama

Saya belajar bahwa lahan basah akan selamat jika masyarakat lokal diberdayakan dan diikutkan dalam berbagai inisiatif. Di Kalimantan, komunitas adat Dayak menjaga hutan rawa gambut melalui hukum adat. Di Aceh, kelompok perempuan memulihkan hutan mangrove sekaligus membangun usaha perikanan berkelanjutan.

Restorasi sejati tidak bisa top-down. Harus partisipatif, berbasis sains, dan menghormati hak masyarakat. Pendidikan ekologi juga penting, kita harus membawa isu lahan basah ke ruang kelas, ruang publik, dan ruang kebijakan.

Langkah Global, Tindakan Lokal

Konvensi Ramsar, perjanjian multilateral tertua di bidang lingkungan, telah menjadi pijakan hukum internasional untuk perlindungan lahan basah. Indonesia memiliki 8 situs Ramsar, dari Danau Taman Nasional Berbak di Jambi hingga Taman Nasional Wasur di Papua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun