Saya melihat manusia di baliknya. Di dekat gedung UNHCR, saya melihat kelompok kecil pengungsi yang mungkin sedang mengurus administrasi, mungkin untuk mendapatkan bantuan atau kepastian status mereka.
Wajah-wajah lelah, mata-mata yang menyimpan perjalanan panjang dari tempat yang mereka tinggalkan, tapi juga percikan harapan.
Ada sesuatu yang menggenggam hati saya saat itu, kenyataan bahwa di kota yang elegan dan mahal ini, ada mereka yang datang tanpa membawa apa-apa, hanya dengan keyakinan bahwa dunia akan melindungi mereka.
Penduduk Jenewa mencerminkan wajah dunia. Kota ini dihuni beragam kebangsaan, mulai dari warga lokal Genevois yang menjaga tradisi, diplomat dari berbagai belahan dunia, pekerja organisasi internasional, mahasiswa, hingga para pengungsi yang mencari rumah baru.
Suara berbagai bahasa terdengar di kafe-kafe, di trem, dan di tepi danau. Kehidupan kota terasa kosmopolitan, namun tidak kehilangan kelembutannya.
Menjelang malam, saya melihat sebagian sisi jalan ditutup, kursi dan meja ditata di trotoar hingga separuh jalan, orang-orang duduk, menyeruput kopi atau teh, bercakap ringan. Tidak ada hiruk pikuk, hanya percakapan santai di bawah lampu-lampu jalan yang temaram.
Di momen-momen seperti itu, kota ini terasa lembut, seolah-olah ingin memeluk semua yang datang, para diplomat, pengungsi, atau sekadar pejalan seperti saya.
Dan tentu, tak lengkap rasanya meninggalkan Jenewa tanpa membawa sedikit "rasa" kota ini. Di toko-toko suvenir dan bandara, saya melihat Swiss Army knife yang terkenal akan ketepatannya, cokelat yang manisnya seakan merangkum keramahan Swiss, dan jam tangan yang presisinya seperti mencerminkan keteraturan kota ini. Semuanya menjadi pengingat kecil yang bisa dibawa pulang, bagian dari pengalaman besar yang saya alami.
Bagi saya, Jenewa adalah kota yang mengajarkan keseimbangan antara keputusan besar dan kehidupan sehari-hari, antara rapat-rapat serius dan secangkir teh hangat (I don't drink coffee my dear, kata Sting dalam lagu Englishman in New York), antara wajah lelah para pengungsi dan senyum orang-orang di kafe.
Di kota ini, saya belajar bahwa diplomasi bukan hanya tentang dokumen dan negosiasi, tetapi juga tentang hati, tentang memastikan bahwa keputusan-keputusan yang diambil di ruang rapat akhirnya menyentuh kehidupan nyata.