Mohon tunggu...
Yus Rusila Noor
Yus Rusila Noor Mohon Tunggu... Pekerja Lingkungan

Saya adalah seorang yang sedang belajar. Bagi saya, hidup itu adalah proses belajar, dan belajar itu adalah proses seumur hidup .... Iqra

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Antara Jet d'Eau dan Broken Chair, Kisah Perjalanan dan Nurani di Jenewa

2 September 2025   12:53 Diperbarui: 2 September 2025   16:26 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patung Kursi Patah di depan Markas PBB, Jenewa (Foto: Yus Rusila Noor)

Patung Kursi Patah di depan Markas PBB, Jenewa (Foto: Yus Rusila Noor)
Patung Kursi Patah di depan Markas PBB, Jenewa (Foto: Yus Rusila Noor)
Jenewa memang kota diplomasi. Di sini berdiri kantor-kantor organisasi internasional, seperti WHO, WTO, ICRC, hingga UNHCR. Namun saya tidak hanya melihat nama-nama besar itu sebagai deretan huruf di papan nama gedung.

Saya melihat manusia di baliknya. Di dekat gedung UNHCR, saya melihat kelompok kecil pengungsi yang mungkin sedang mengurus administrasi, mungkin untuk mendapatkan bantuan atau kepastian status mereka.

Wajah-wajah lelah, mata-mata yang menyimpan perjalanan panjang dari tempat yang mereka tinggalkan, tapi juga percikan harapan.

Ada sesuatu yang menggenggam hati saya saat itu, kenyataan bahwa di kota yang elegan dan mahal ini, ada mereka yang datang tanpa membawa apa-apa, hanya dengan keyakinan bahwa dunia akan melindungi mereka.

Penduduk Jenewa mencerminkan wajah dunia. Kota ini dihuni beragam kebangsaan, mulai dari warga lokal Genevois yang menjaga tradisi, diplomat dari berbagai belahan dunia, pekerja organisasi internasional, mahasiswa, hingga para pengungsi yang mencari rumah baru.

Suara berbagai bahasa terdengar di kafe-kafe, di trem, dan di tepi danau. Kehidupan kota terasa kosmopolitan, namun tidak kehilangan kelembutannya.

Menjelang malam, saya melihat sebagian sisi jalan ditutup, kursi dan meja ditata di trotoar hingga separuh jalan, orang-orang duduk, menyeruput kopi atau teh, bercakap ringan. Tidak ada hiruk pikuk, hanya percakapan santai di bawah lampu-lampu jalan yang temaram.

Di momen-momen seperti itu, kota ini terasa lembut, seolah-olah ingin memeluk semua yang datang, para diplomat, pengungsi, atau sekadar pejalan seperti saya.

Dan tentu, tak lengkap rasanya meninggalkan Jenewa tanpa membawa sedikit "rasa" kota ini. Di toko-toko suvenir dan bandara, saya melihat Swiss Army knife yang terkenal akan ketepatannya, cokelat yang manisnya seakan merangkum keramahan Swiss, dan jam tangan yang presisinya seperti mencerminkan keteraturan kota ini. Semuanya menjadi pengingat kecil yang bisa dibawa pulang, bagian dari pengalaman besar yang saya alami.

Bagi saya, Jenewa adalah kota yang mengajarkan keseimbangan antara keputusan besar dan kehidupan sehari-hari, antara rapat-rapat serius dan secangkir teh hangat (I don't drink coffee my dear, kata Sting dalam lagu Englishman in New York), antara wajah lelah para pengungsi dan senyum orang-orang di kafe.

Di kota ini, saya belajar bahwa diplomasi bukan hanya tentang dokumen dan negosiasi, tetapi juga tentang hati, tentang memastikan bahwa keputusan-keputusan yang diambil di ruang rapat akhirnya menyentuh kehidupan nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun