Mohon tunggu...
Ecik Wijaya
Ecik Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - Seperti sehelai daun yang memilih rebah dengan rela

Pecinta puisi, penggiat hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Layangan Putus", Cinta saja Tak Cukup...

8 Januari 2022   13:22 Diperbarui: 8 Januari 2022   13:24 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sedikit agak tergelitik untuk ikutan nulis tentang yang lagi viral. Apaan?? Layangan putuslah! . Ini sih gegara nonton dan baca sekilas-sekilas tapi efeknya luar biasa. Pingin nulis!. Pilihan judul Layangan Putus aja memang sudah menggugah , mengulik para kaum perempuan untuk berkomentar banyak. seperti banjir beberapa minggu terakhir, air bah banget. Komen lucu-lucu di media sosial bikin tersenyum, dikiiit.. Tapi sulit tertawa. 

Film Layangan Putus yang diadopsi dari kisah nyata seorang istri yang dikhianati suami  ini benar-benar menguras emosi. Segala yang diimpikan istri malah diamini oleh suami dengan perempuan lain. Alhasil, mewek para netizen. Mengulik itu saja sebenarnya, peristiwa yang terjadi tak cuma stori ini, banyak perempuan di luar sana yang mengalami.  

Kasus ini menampar wajah cinta dalam berumah tangga. Benarkah cinta itu mencukupi untuk tetap menjaga keutuhan keluarga sampai akhir waktu?.  Benarkah pasangan kita ini setia? dan beribu tanda tanya itu pasti muncul di hati para istri, dan bisa jadi para suami juga mulai bertanya-tanya. Apalagi, yang biasanya curiga biasa dan mengabaikan, sekarang akan lebih mengamati perilaku suami, dompet suami, aplikasi pesannya di handphone,sosial medianya bahkan mungkin ada yang sudah bergerak maju duluan : aplikasi melacak posisi keberadaaan pasangan masing-masing.  Ada yang pernah?

Dan arti dari semua itu jelas sudah, tiap diri serius mempertanyakan keadaan keluarga masing-masing. Bagaimana sesungguhnya pernikahan itu berjalan selama ini. Dan memang seharusnya kita instropeksi menerus, menelisik kembali tujuan, visi, misi berkeluarga yang dimulai sejak  orang tua kita menyerahkan pertanggungjawabannya pada pasangan kita. Itu bisa terjadi jika kita masih berkesadaran memiliki tanggung jawab besar menjaga diri dan keluarga. 

Kala seandainya masih dibawah kesadaran, di awang-awang, pastinya tak sempat menelisik tujuan berumah tangga secara tidak langsung menelisik diri sendiri belum mampu. Nah, yang beginian biasanya maling teriak maling kalau ada nasihat baik yang sempat mampir. 

 Karena saya perempuan, saya lihat saja dari sisi saya ya. Jika pertemanan saya umpamakan ada 10 orang, Layangan putus ini terjadi bisa 4 sampai 5 orang mengalami dengan kasus hampir sama. 

Yang 1 atau 2 orang tampaknya baik-baik saja: suami bekerja, istri dirumah atau juga bekerja, pulang tepat waktu, masih bisa bercengkrama dengan anak-anak saat liburan, ekonomi baik, dan mereka seperti terbuka dengan segala hal satu sama lain, ibadah sering bersama (itu yang saya simak ya) , sisa yang 3 orang yang sulit dibaca karena ketrampilan mereka membicarakan masalah dengan para suami mungkin tidak sebagus yang 5 orang tadi untuk berbagi masalah klasik semacam itu. 

Jika dari angka pertemanan saya saja sudah begitu, di luar sana mungkin lebih banyak lagi. Bahkan mungkin angka perceraian di pengadilan lebih bejibun dari yang bisa dibayangkan. Dan jelas nasib anak dan istri sudah bisa diprediksi, selain hancur secara psikologi pastinya secara ekonomi bagi istri yang tidak berpenghasilan  bakal sangat berat. Nestapa!

Lalu saya menelisik diri. Benarlah adanya jika memilih pasangan dari awal adalah keputusan besar yang harus dipertimbangkan betul-betul.  Bukan sekedar cinta lahir semata. Karena saya muslim, maka memilih laki-laki yang beriman adalah prioritas utama. Mengapa begitu, keteledoran membaca sikap sifat, tabiat watak  yang menunjukkan tabiat perilaku baik memang harus teruji.  Tak cuma bersarung dan berkopyah atau yang kelihatan sujud lima waktu tapi memperlakukan istri masih kurang baik. Iya khan?. 

Mungkin kita harus banyak mendapatkan dan mau membuka diri untuk menerima saran beberapa orang dekat yang memang sayang dan peduli kepada kita untuk bisa mengukur kualitas seseorang. Tapi namanya syetan khan suka bikin manusia terpeleset??  Bagi saya, urusan nanti yang penting keimanannya sesuai perilakunya dalam memperlakukan keluarga dan orang lain. 

Selama mau berusaha mengukur dari awal, maka yang terjadi berikut adalah takdir.  Setelah itu, tetaplah mencari penghasilan diri sendiri dengan catatan tak meninggalkan kewajiban dalam keluarga apalagi meninggalkan asah asih asuh pada anak-anak. Mengapa harus berpenghasilan??.  Melihat teman-teman saya yang mengalami Layangan Putus ini, mereka bisa bangkit dengan cepat karena masih berpenghasilan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun