Mohon tunggu...
Ecik Wijaya
Ecik Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - Seperti sehelai daun yang memilih rebah dengan rela

Pecinta puisi, penggiat hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siratan dalam Suratan Zaman, Kali Ini...

23 Desember 2020   16:50 Diperbarui: 23 Desember 2020   17:24 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dunia berkabung. Banyak doa-doa dilantun. Airmata kehilangan membanjir dinana-mana. Semua kepala berseru " oh Tuhan", sambil menutup mulut yang terperangah. Pintu-pintu ditutup rapat, bahkan pintu masjid , pintu gereja, pura dan pintu-pintu peribadatan lainnya. Taman-taman sepi dari anak-anak berlarian. Sekolah-sekolah sunyi dengan bangku berdebu.

Udara dunia sesak menikam hingga ke kalbu. Berapa ratus hari lalu, jalan-jalan masih padat lalu lalang. Orang-orang sibuk bekerja hingga larut malam. Tempat hiburan, pusat perbelanjaan, pasar-pasar, tempat perobatan, selalu penuh di waktunya  Hari libur terbiasa di hari Sabtu Minggu adalah hari yang ditunggu untuk melabuhkan lelah. Dan segala kemudahan yang kemarin itu mulai sulit didapatkan. Tiba-tiba dunia tersentak. Pandemi virus menyapu tiap sisi dunia. Sunyi mencekam tapi membunuh. Korban beratus ribu rebah dalam kecepatan waktu yang tak dinyana. Aduhai. Aroma maut dibawa banyak ambulans yang hilir mudik. Tanah kubur terus digali.

Pandemi kiriman dari langit. Anggap saja pesan dari langit yang dikirim berupa virus. Belum ditemukan obat penyembuh sampai saat ini. Kita cuma bisa mencegah dengan hal-hal sepele tapi ternyata kebiasaan kecil yang baik. Cuci tangan!. Tapi pesan dari langit sangat jelas untuk dibaca yang waras. Yang waras saja ya, hehe.

Rutinitas dunia yang nyaris lupa keberadaan Tuhan dengan kemajuan peradaban dan teknologi yang mungkin kurang santun kita pakai selama ini  Hutan dibabat habis, kekayaan laut yang dirusak, agama yang hanya digunakan sebagai pencitraan demi kepentingan sendiri atau kelompoknya, pekerjaan yang banyak memakan waktu sampai lupa keluarga, penggunaan teknologi yang kebablasan, rantai makanan yang kebablasan, kesenjangan sosial yang makin rentan, perubahan perilaku manusia secara sosial dan banyak lagi yang tak mungkin ditulis persatu.

Di mana Tuhan tak lagi ada selain gaung angin semata. Hukum-hukum diberdirikan sendiri sebagai puncak keberhasilan mencapai kepuasan. Manusia memasuki peradapan dimana pencapaian-pencapaian yang didapat adalah bentuk eksistensi diri bukan bentuk nyata untuk ke-maha-an-Nya. Apakah kali ini Tuhan marah? pasti sebagian besar menjawab " tidak, ini hanya badai yang alami". Hehe..ya begitulah. Apakah kali ini Tuhan tak lagi peduli? Mungkin saja. Segala jawaban milik diri masing-masing yang mengimani keyakinan masing-masing, yang memiliki ilmu pengetahuan untuk mampu melogikakan keadaan.Terserah. semua boleh berpendapat sendiri. Termasuk saya..hehe

Namun yang tersirat dalam suratan jaman kali ini, keadaan yang menjungkirbalikkan keadaan harusnya mampu merubah perspektif manusia tentang kehidupan. Sebuah kontemplasi diri, sikap yang lebih baik dilakukan dari pada saling menyalahkan darimana asal usul virus pandemi ini. Bisakah dilihat secara terang, bagaimanakah pandemi ini mengembalikan banyak hal pada tempatnya. Paling dekat seperti fungsi keluarga, yang awalnya seluruh pendidikan generasi dibebankan pada guru disekolah dari pagi sampai sore dari hari Senin sampai Sabtu dan kadang  hari Minggu pun ke sekolah untuk kegiatan ekstrakurikuler, kehangatan keluarga cuma tampak pada posisi liburan ke tempat-tempat wisata tapi jarang bersua di meja makan di pagi hari.

Kali ini, pembelajaran, pekerjaan  harus dilakukan di rumah masing-masing. Dengan segala keribetannya, keruwetannya, fungsi ayah ibu bahkan ketakziman anak mulai ditumbuhkan, dipaksa untuk kembali saling bertatapan, berbincang satu sama lain. Mau atau tidak saling menyingsingkan lengan untuk menyelesaikan yang dicita-citakan bersama. 

Kalau tidak sekarang, kapan lagi?. Apakah akan kita tinggalkan dunia dengan pewaris yang  membuat kerusakan seperti kemarin-kemarin?; Anak membunuh bapak ibunya, ibu membunuh anaknya, bapak membunuh keluarganya, anak menikam temannya, anak-anak dibawah umur dirudapaksa saudara, pamannya, tetangganya dan banyak kasus lainnya. Banyak hal yang sudah hilang dalam fungsi keluarga selama ini. Kehangatan keluarga yang bisa membantu memperbaiki lingkungan kita dengan mewariskan generasi yang memiliki adab dan mental yang baik.

Bagaimana dengan fungsi sosial? Betewe coba ricek jauh kebeberapa tahun terakhir. Fungsi sosial yang memiliki norma-norma sebagai batas manusia bergerak dan berkehidupan mulai rusak. Hubungan seksual  sesama jenis, hubungan inces, keterbukaan teknologi di media sosial yang sudah melampaui batasan-batasan ruang individu begitu gencar digaungkan, kesenjangan sosial yang makin besar. Logika saja, tak ada satu pun keyakinan yang membolehkan terjadinya hubungan sejenis yang menyalahi fitrah berpasangan laki-laki dan perempuan.

Parahnya lagi, sebagian dari kita menggunakan nama  hak asasi manusia sebagai pembelaan dari pelanggaran yang sangat dilarang dimana pun. Norma sosial yang dikerdilkan, dibabat habis. Secara usaha pekerjaan apapun beberapa waktu terakhir sangat berat untuk memenuhi kebutuhan hidup, pengangguran membludak, jeritan petani butuh pupuk yang makin mahal, mudahnya kita bilang saja;  yang kaya makin mudah kaya yang miskin makin jatuh miskin. Coba perhatikan disekitar, diantara kita hanya mampu bertahan sehari dua tapi di lain sisi kalangan lain bisa mengupayakan perjamuan besar-besaran. Tapi, kali ini tak hanya yang miskin atau yang kaya disantroni virus, semua bisa jadi korbannya. Tak peduli seberapa banyak harta dan ilmu yang dimiliki, habis. Sama-sama melewati jalan yang sama.hehe..

Apa kali ini Tuhan mengirim banjir besar seperti jaman Nuh atau prahara belalang di jaman Musa atau hujan batu di jaman Luth? Bisa jadi, dengan bentuknya sendiri, virus ini tak terlihat, tak tercium, tak mampu dirasa. Hanya tiba-tiba saja vonis positif diterakan di dahi. Saya mempercayai ke- Esa-an-Nya dan kuasa-Nya.  Meski segala ilmu dan teknologi manusia akan membantah keberadaan-Nya kali ini.  Bukankah pembatasan sosial untuk melakukan aktifitas berkerumun atau membuat keramaian sudah terpenggal oleh pandemi ini. Jangan keluar rumah bila tidak penting sangat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun