Masyarakat, Karang Taruna, Pendidikan, dan Tradisi merupakan sebuah komponen penting dan memiliki keterkaitan satu sama lain dalam sebuah tatanan masyarakat. Setidak-tidaknya 4,5 tahun ini membenahi dan mengamati hal yang fundamental tentang bagaimana seseorang bersikap dan merespon sesuatu lewat tradisi yang mereka miliki. Dalam konteks ber-organisasi dimulai semenjak paska covid-19 silam, lebih tepatnya tahun 2021, masyarakat sering kali lupa bahwa sisi yang harus dirawat bukan hanya kesehatan saja, melainkan ranah penting yang dimiliki oleh setiap insan manusia seperti kognitif, psikologis, sosial-emosional, nalar kritis, dan kesadaran sosial ini menjadi hal yang fundamental dan harus dirawat saban setiap individu.
Alternatif solusi yang bisa dilakukan ketika ranah penting seseorang ini terganggu/tidak stabil/tidak selayaknya dalam menjalani kehidupan bermasyarakat adalah kembali pada tradisi yang memiliki sifat habituasi (kebiasaan).
Kenapa demikian? karena kebiasaan positif (baca: tradisi) yang dibangun dengan konsisten akan memberikan sebuah reinforcement (penguatan) bagi tiap individu yang menjalaninya. Maka kembali pada tradisi yang mereka miliki, yang  notabene memiliki pola habituasi dan berulang, ranah kognitif, psikologis, sosial-emosional, nalar kritis, dan kesadaran seseorang diharapkan perlahan tumbuh seperti bibit yang disemai oleh petani.
Sebagaimana teori behavioristik yang digagas oleh Edward Torndhike, Ivan Pavlov, dan B.F Skinner yang menjelaskan mengenai stimulus-respon, trial dan error. Dimana teori tersebut berfokus mengenai pola tingkah laku baru seseorang yang diulang dan dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi kebiasaan dalam bertindak dan bersikap. Dan output daripada habituasi ini memang tidak bisa instan begitu saja perlu waktu yang panjang dan konsistensi jika ingin melihatnya lebih jelas.
Alternatif lain berikutnya adalah belajar dengan melakukan (learning by doing) namun dengan alternatif tersebut perlu role model yang memadahi pula, tetapi role model yang ada seringkali menjadi penghalang bagi tumbuhnya  ranah kognitif, psikologis, sosial-emosional, nalar kritis, dan kesadaran seseorang itu sendiri, pasalnya role model ini memiliki pernanan penting dalam kondisi seperti ini. Jika tidak mengambil bagian dan peranan, jangan harap kondisi ini bisa teratasi.
Mau tidak mau menumbuhkan ranah penting seperti (kognitif, psikologis, sosial-emosional, nalar kritis, dan kesadaran) dalam masyarakat adalah roadmap dan perjalanan panjang bagi stakeholder dimanapun berada dan merupakan tanggung jawab bersama.
Dari rentetan kejadian ini dapat disimpulkan bahwa kondisi "learning loss" akibat pandemi, bak tombol restart pada perangkat digital itu tidak benar-benar diatasi pemerintah dengan baik lewat terobosan kurikulum yang mereka pelajari di sekolah maupun di masyarakat, tak terkecuali orang dewasa sekalipun. Belajar secara tekstual tidak benar-benar berhasil tanpa diselingi belajar secara kontekstual. Padahal jika ditelisik lebih dalam, masyarakat memiliki hidden curriculum (baca: adat) yang terbangun dan terbentuk dengan sendirinya sehingga membentuk sebuah petunjuk yang bisa mengatasi sebuah persoalan yang sedang dialami oleh masyarakat itu sendiri.
Bisa dilihat dan dibuktikan ketika masyarakat goyah dari segi (karakter, kebiasaan, pola interaksi, dll) maka hal yang harus dibenahi adalah adat terlebih dahulu (kembali ke adat yang dimiliki) sebab tumbuhnya karakter, tingkat kognitif, psikologis, sosial-emosional, nalar kritis, dan kesadaran akan terbentuk dengan sendirinya seiring berjalannya waktu, sejalan dengan adat yang mereka rawat dan benahi.
Tidak lepas dari jalannya roda organisasi kecil di desa (karang taruna) problem diatas erat sekali dan berkaitan satu sama lain. Generasi-generasi yang ada memang memiliki karakteristik dan kecenderungan yang unik, sama seperti Ki Hajar Dewantara yang memaknai tiap siswa laksana tanaman yang beragam dalam suatu taman. Ada yang cepat dalam merespon sesuatu, ada pula yang perlu demonstrasi, ada yang kepekaannya tumbuh dengan sendirinya, ada yang harus memang ditekankan, ada yang enggan sama sekali, ada pula yang semangatnya berapi-api. Semua punya karakternya masing-masing, semua berperan dalam jalannya organisasi ini, semua punya tingkat/taraf kesadaran sosial masing-masing.Â
Jika berbicara mengenai kesadaran sosial (social awarenes) tiap individu dalam masyarakat, maka pendidikan-lah yang berperan besar di dalamnya. Paulo Freire menjelaskan jika sebuah kesadaran sosial terbentuk ketika seseorang memiliki kecerdasan sosial. Kecerdasan ini bukan saja sekadar kepekaan serta rasa simpatik dan empatik terhadap kondisi masyarakat. Lebih jauh daripada itu semua, kecerdasan sosial mencakup pemahaman mendalam tentang realitas sosial sehingga individu mengetahui langkah-langkah tepat yang perlu diambil dalam menanggapi keadaan tersebut.
Bagi sekolah yang benar-benar menerapkan kurikulum rekonstruksi sosial, ataupun dalam pendidikan keluarga ditanamkan kesadaran sosial dengan cara paling sederhana maka tentu akan menghadirkan masyarakat yang memiliki tingkat kesadaran penuh tanpa harus diaba-aba dan ditekankan lebih lanjut. Bahkan kesadaran sosial akan tumbuh dengan sendirinya sejalan dengan kondisi yang mendesak sehingga naluri seseorang akan membawa ke arah tersebut. Namun jika pendidikan dalam keluarga dan sekolah tidak berjalan selayaknya maka hadirnya karang taruna ini dapat menjadi angin segar bagi mereka yang memiliki kecenderungan kesadaran sosial yang kurang. Aktivitas dan kegiatan yang ada walaupun itu sederhana dan singkat, hal ini dapat menumbuhkan kesadaran sosial itu seiring dengan berjalannya waktu dan tindakan sosial yang mereka lakukan.Â
Tapi memang benar lagi-lagi problem kesadaran adalah hal yang paling urgent di tengah kondisi masyarakat masing-masing, hal tersebut sering memantik pertanyaan besar bagi penulis tentang "Bagaimana menumbuhkan kesadaran saban setiap individu, dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat?" Tentu jawaban atas pertanyaan tersebut bisa dicari dan dapat digali lewat penelitian dan ikhtiar panjang. Akhir daripada perjalanan 4,5 tahun menjadi "abdi ndalem" karang taruna adalah: rawat apa yang perlu dirawat, dan sekali lagi "ojo lali karo adate". Karena adat istiadat adalah inti dan esensi daripada menjalani kehidupan bermasyarakat, karena adat istiadat bagaikan kurikulum yang tidak tertulis namun menjadi pedoman bagi jalannya kehidupan bermasyarakat dan berorganisasi.
Sekian, dengan meminjam penggalan lirik lagu The Jeblogs-Sambutlah sebagaimana tertulis: "Sambutlah matahari yang terbit di ufuk timur membelah gelap hangat merambat membangunkan lelap. Sampaikan salam kami kepada bulan dan bintang. Oh tenang saja generasi baru telah tiba!" -Dzulkifli Isadaud (Pegiat Karangtaruna)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI