Mohon tunggu...
DZIKRA LIHAYATAKI 223507033
DZIKRA LIHAYATAKI 223507033 Mohon Tunggu... Pelajar

Universitas Siliwangi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Luar Negeri Indonesia: Antara Kepentingan Nasional dan Tantangan Global

20 Mei 2025   17:45 Diperbarui: 20 Mei 2025   17:45 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dengan ekonomi terkuat di ASEAN dan populasi terbesar keempat di dunia, Indonesia memiliki posisi strategis dalam politik internasional. Prinsip politik luar negeri "bebas aktif" yang dianut sejak era kemerdekaan telah menjadi landasan diplomasi Indonesia dalam menjaga kedaulatan sekaligus berkontribusi pada perdamaian dunia (Solechah, W. M., & Sugito, S. 2023). Di tengah persaingan geopolitik AS-China yang semakin panas, krisis iklim global, serta ketegangan di Laut China Selatan yang mengancam kedaulatan maritim Indonesia, tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks dibanding era Perang Dingin. Indonesia kini tidak hanya harus mempertahankan netralitasnya, tetapi juga dituntut untuk lebih proaktif dalam merumuskan strategi jangka panjang yang mampu mengamankan kepentingan nasional sekaligus memperkuat perannya sebagai mitra strategis bagi berbagai kekuatan global.

Politik luar negeri Indonesia saat ini tidak bisa lagi hanya berfokus pada isu-isu tradisional seperti kedaulatan dan keamanan, tetapi harus mampu memanfaatkan peluang ekonomi global untuk mendorong kemakmuran nasional. Dengan kekayaan sumber daya alam melimpah dan posisi geografis yang strategis, Indonesia seharusnya bisa memainkan peran lebih besar dalam percaturan ekonomi dunia. Ketergantungan yang tinggi pada investasi China dan minimnya diversifikasi mitra dagang justru membuat Indonesia rentan terhadap tekanan geopolitik. Di sisi lain, sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia sering diharapkan menjadi pemimpin dalam menyelesaikan berbagai krisis regional, mulai dari konflik Laut China Selatan hingga krisis Myanmar (Aldrich, K., et al. 2025). Pertanyaan besarnya adalahapakah Indonesia sudah memiliki strategi yang jelas dan konsisten untuk menjawab tantangan-tantangan ini, atau justru terjebak dalam kebijakan yang reaktif dan jangka pendek? Dalam konteks inilah Indonesia perlu mengevaluasi kembali pendekatan politik luar negerinya agar bisa menjadi aktor utama, bukan sekadar penonton, dalam percaturan global.


Prinsip Bebas Aktif dan Relevansinya di Era Modern
Prinsip "bebas aktif" yang dicetuskan oleh Mohammad Hatta pada 1948 tetap menjadi landasan politik luar negeri Indonesia, tetapi konteks global yang berubah mengharuskan penafsiran ulang atas prinsip ini (Choirin, M. 2024). Konsep "bebas" yang awalnya dimaknai sebagai tidak memihak blok Barat maupun Timur selama Perang Dingin, kini menghadapi tantangan baru dalam era persaingan AS-China yang lebih kompleks. Di satu sisi, Indonesia masih berpegang pada netralitas dengan menolak aliansi militer dengan kekuatan manapun, tetapi di sisi lain, ketergantungan ekonomi pada investasi China seperti dalam proyek-proyek infrastruktur skala besar menimbulkan pertanyaan apakah Indonesia masih benar-benar "bebas". Tuntutan AS dalam isu-isu seperti demokrasi, HAM, dan keamanan maritim juga memaksa Indonesia untuk terus menyeimbangkan hubungan dengan kedua negara adidaya tersebut tanpa kehilangan kedaulatan.

Di tengah dinamika geopolitik saat ini, komponen "aktif" dari prinsip ini juga menghadapi ujian berat. Jika dahulu Indonesia memainkan peran sentral dalam Gerakan Non-Blok, kini kontribusinya dalam penyelesaian konflik global seringkali terbatas pada pernyataan diplomatik tanpa tindakan nyata yang berdampak. Contohnya, sikap Indonesia yang cenderung hati-hati dalam menanggapi krisis Ukraina atau konflik Laut China Selatan menunjukkan betapa prinsip bebas aktif terkadang diartikan sebagai sikap pasif daripada keterlibatan konstruktif (Liza, A. L. 2024). Agar tetap relevan, Indonesia harus mentransformasikan prinsip ini menjadi pendekatan yang lebih dinamis tidak sekadar menolak keterikatan pada blok tertentu, tetapi juga secara proaktif membangun kemitraan strategis yang berimbang dan memperjuangkan kepentingan nasional di forum global. Tanpa penyesuaian ini, prinsip bebas aktif berisiko menjadi sekadar retorika tanpa makna di tengah persaingan kekuatan besar yang
semakin sengit. 


Indonesia di Kawasan ASEAN: Pemimpin atau Pengikut?
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar, populasi terbanyak, dan wilayah terluas di ASEAN, Indonesia secara alamiah dituntut untuk memimpin (Marwah, S., & Yulyana, E. 2024). Namun dalam praktiknya, posisi kepemimpinan Indonesia di kawasan seringkali lebih bersifat simbolis daripada substantif. Dalam isu Laut China Selatan misalnya, meski memiliki kepentingan strategis di Natuna, Indonesia cenderung mengambil pendekatan diplomatik yang terlalu hati-hati terhadap pelanggaran kedaulatan oleh China. Sikap ini berbeda kontras dengan Vietnam yang secara konsisten menentang klaim sepihak China atau Filipina yang berhasil memenangkan gugatan di Pengadilan Arbitrase Internasional tahun 2016. Ketidaktegasan Indonesia ini berpotensi melemahkan posisi tawar ASEAN secara keseluruhan.

Pada krisis Myanmar, meski Indonesia menunjukkan inisiatif dengan mengusulkan dialog inklusif, upaya tersebut belum membuahkan hasil konkret karena kurangnya tekanan kolektif dari ASEAN. Lemahnya penegakan konsensus five-point ASEAN menunjukkan betapa organisasi regional ini masih terjebak dalam prinsip non-interferensi yang kaku (Oktaviani, S., & Yumitro, G. 2022). Sebagai pemilik hutan tropis terbesar ketiga dunia, Indonesia justru sering menjadi sorotan negatif internasional akibat praktik deforestasi dan kebakaran hutan yang berdampak pada negara tetangga. Alih-alih memimpin diplomasi lingkungan di kawasan, Indonesia justru kerap berada dalam posisi defensif menghadapi kritik global. Ketidakkonsistenan dalam kebijakan lingkungan ini melemahkan kredibilitas Indonesia sebagai pemimpin regional yang bertanggung jawab. Fakta-fakta ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah Indonesia benar-benar memimpin ASEAN, atau sekadar mengikuti arus tanpa memberikan arah yang jelas? 


Hubungan dengan Kekuatan Global: Antara China dan AS
Indonesia berada dalam posisi strategis sekaligus dilematis dalam menjalin hubungan dengan dua kekuatan global utama, China dan Amerika Serikat. Kedua negara ini menawarkan peluang besar sekaligus tantangan kompleks bagi kepentingan nasional Indonesia. Dalam hubungan dengan China, Indonesia menikmati manfaat ekonomi yang signifikan, terutama melalui investasi infrastruktur seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan perdagangan bilateral yang mencapai ratusan miliar dolar. Namun, kemitraan ini menyimpan risiko ketergantungan yang mengkhawatirkan. Skema pembiayaan berbasis utang dalam banyak proyek China berpotensi membebani keuangan negara di masa depan. Masuknya tenaga kerja China secara besar-besaran juga memicu ketegangan sosial di berbagai daerah. Yang paling krusial adalah persoalan kedaulatan di Natuna, di mana aktivitas kapal China terus menguji keteguhan Indonesia dalam mempertahankan wilayahnya (Shafitri, D. N., Patriani, I., & SD, H. A. 2024).

Hubungan dengan AS lebih bernuansa politis-strategis. Sebagai mitra keamanan tradisional, AS memberikan dukungan dalam modernisasi pertahanan dan kerja sama maritim. Hubungan ini sering diwarnai ketegangan akibat perbedaan pandangan dalam isu HAM dan demokrasi, khususnya menyangkut Papua (Arum, D. S., Prakoso, L. Y., & Sutanto, R. 2024). AS juga terus mendorong Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada China, suatu tekanan yang sulit diikuti sepenuhnya mengingat besarnya kepentingan ekonomi dengan Beijing. Dalam situasi ini, Indonesia dituntut untuk bersikap bijak. Kebijakan luar negeri yang terlalu condong ke salah satu pihak berisiko mengikis prinsip bebas aktif. Tantangan terbesar adalah mempertahankan hubungan seimbang dengan kedua negara sambil terus memperkuat posisi tawar Indonesia di kancah global. Pemerintah perlu merumuskan strategi yang jelas untuk mengubah hubungan ini dari sekadar transaksional menjadi kemitraan strategis yang setara dan menguntungkan. 


Diplomasi Ekonomi: Meningkatkan Posisi Indonesia di Pasar Global
Dalam era persaingan ekonomi global yang semakin ketat, diplomasi ekonomi menjadi senjata vital bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya di kancah internasional. Politik luar negeri tidak lagi sekadar berbicara tentang keamanan dan stabilitas regional, tetapi harus mampu menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. Indonesia perlu secara strategis memperluas jaringan kemitraan ekonomi, tidak hanya mengandalkan pasar tradisional seperti China dan Amerika Serikat, tetapi juga membuka peluang baru dengan Uni Eropa dan negara-negara Timur Tengah yang memiliki daya beli kuat dan kebutuhan besar akan komoditas Indonesia (Wargi, S. 2021). Diversifikasi pasar ini penting untuk mengurangi kerentanan terhadap fluktuasi ekonomi di satu wilayah tertentu. Sektor industri hijau menjadi peluang emas yang belum sepenuhnya tergarap optimal. Dengan kekayaan sumber daya alam dan potensi energi terbarukan yang melimpah, Indonesia seharusnya mampu menjadi pemain utama dalam ekonomi hijau global. Investasi di bidang energi surya, kendaraan listrik, dan pengolahan mineral ramah lingkungan bisa menjadi daya tarik besar bagi investor Eropa dan Asia Timur. Indonesia masih sering terjebak dalam sengketa dagang, seperti kasus larangan ekspor nikel mentah yang berujung pada konflik dengan Uni Eropa di WTO. Kejadian ini menunjukkan perlunya pendekatan diplomasi ekonomi yang lebih matang, yang tidak hanya fokus pada proteksionisme jangka pendek tetapi juga membangun nilai tambah industri secara berkelanjutan. Pertanyaan kritisnya adalah: sudahkah Indonesia memiliki strategi diplomasi ekonomi yang komprehensif dan agresif untuk benar-benar bersaing di panggung global, atau kita masih terjebak dalam pola lama yang reaktif?Politik luar negeri tidak hanya tentang keamanan, tetapi juga ekonomi. Indonesia perlu memperkuat diplomasi ekonomi untuk menarik investasi, meningkatkan ekspor, dan menguatkan posisi di pasar global. Beberapa langkah yang bisa diambil:

  • Memperkuat Kemitraan dengan Uni Eropa dan Timur Tengah untuk diversifikasi pasar.
  • Mendorong Industri Hijau untuk menarik investasi ramah lingkungan.
  • Memperjuangkan Kepentingan di WTO terkait ekspor komoditas seperti sawit dan nikel.


Tantangan ke Depan: Apa yang Harus Diperbaiki?
Agar politik luar negeri Indonesia lebih efektif, diperlukan perbaikan mendasar dalam beberapa aspek krusial. Pertama, konsistensi kebijakan harus ditingkatkan untuk menghindari kesan plin-plan, seperti terlihat dalam kasus pembelian pesawat tempur yang bolak-balik antara opsi AS, Rusia, dan Prancis. Kedua, diplomasi Indonesia harus lebih proaktif dan vokal di forum internasional, bukan sekadar menjadi "penonton" yang pasif. Ketiga, soft power melalui budaya, pariwisata, dan diplomasi publik seperti optimalisasi Bali Democracy Forum perlu digencarkan untuk memperkuat pengaruh global. Yang tak kalah penting, Indonesia harus segera melakukan diversifikasi mitra ekonomi untuk mengurangi ketergantungan berisiko pada China, sekaligus memperkuat ketahanan geopolitik dalam menghadapi persaingan AS-China yang semakin sengit (Ro'in, A. 2022). Tanpa langkah-langkah strategis ini, Indonesia berpotensi tertinggal dalam percaturan global yang semakin kompetitif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun