Era Milenial merupakan sebutan untuk orang yang lahir pada tahun 1980 sampai 2000-an. Istilah ini berasal dari kata millenials yang diciptakan oleh dua pakar sejarah dan penulis dari Amerika Serikat, William Strauss dan Neil Howe (Kemkominfo RI, 2016). Menurut World Health Organization (WHO), generasi muda adalah generasi yang berusia antara 10 sampai 24 tahun (Munasya, 2017). Generasi muda atau generasi milenial tersebut hidup di era globalisasi. Era di mana teknologi dan ilmu pengetahuan berkembang pesat karena semua kegiatan mengandalkan pemanfaatan teknologi, seperti media komunikasi dan informasi. Namun, di balik manfaat kemajuan teknologi, terdapat pula hal negatif yang dapat memicu terjadinya disintegrasi bangsa, salah satunya yaitu penyebaran berita hoax di kalangan masyarakat. Beragam hoax yang muncul tersebut menjadi fenomena baru yang harus diatasi oleh para penggunanya, terutama oleh kalangan remaja.
Hoax dan Implikasi Arus Bebas Informasi
Hoax atau berita bohong merupakan informasi palsu, namun dibuat seolah-olah suatu kebenaran. Hoax dapat tersebar melalui perilaku negatif atau penyimpangan sosial dari kebebasan seseorang dalam berbicara dan berpendapat di media sosial. Media sosial saat ini hampir tidak semuanya dipenuhi dengan beragam hoax, isu-isu SARA, ujaran kebencian (hate speech), provokasi, fitnah, sikap intoleran, dan bahkan anti Pancasila. Keberadaan hal-hal negatif tersebut sangat memprihatinkan, sebab dapat mengancam keutuhan bangsa. Lebih dari itu, beberapa media mainstream (cetak dan digital) bahkan secara sengaja menyebarkan berita dan informasi palsu untuk tujuan politik tertentu. Â
Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), terdapat sekitar 800 ribu situs yang memproduksi hoax di internet. Subdirektorat Cyber Crime Polda Metro Jaya menyebut sekitar 300 konten media sosial telah menyebarkan hoax yang kebanyakan diproduksi para buzzer politik, dan bahkan tidak jarang menggunakan nama menyerupai media yang terverifikasi. Ruang siber telah menjadi jawaban dari impian untuk melampiaskan kebebasan berkomunikasi, mendapatkan dan menyebarluaskan informasi (free flow of information) serta kebebasan mengemukakan pendapat (freedom of speech) tanpa mengindahkan lagi norma-norma yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Arus bebas informasi berimplikasi pada percepatan lalu lintas informasi di ruang maya. Setiap orang akan sangat mudah mendapatkan, memproduksi dan menyebarkan informasi melalui beragam jenis media yang terus tumbuh dan berkembang. Sebut saja misalnya website, blog, media sosial seperti facebook, twitter, Instagram, whatsapp, dan bentuk media sosial lainnya. Permasalahan yang muncul dari cepatnya lalu lintas informasi tersebut yaitu filter dan chrosscheck atas konten informasi yang diperoleh, diproduksi, dan disebarluaskan tersebut menjadi terabaikan (Ningrum, 2019).
Berita hoax yang sempat beredar di dunia maya dan viral di kalangan masyarakat Indonesia beberapa waktu lalu ialah berita tentang vaksin Pfizer yang diyakini beracun dan berbahaya karena mengandung kalium klorida (potassium chloride) yang digunakan untuk suntik mati di penjara Amerika Serikat. Berbeda hal nya fakta yang diperolah dari Kementrian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia (Kemkominfo RI, 2021) yang menjelaskan bahwa berdasarkan BPOM Amerika Serikat, setiap dosis vaksin Pfizer memang mengandung 0.01 miligram kalium klorida. Profesor Fakultas Keperawatan Purdue, Libby Richards, menyatakan bahwa bahan tersebut dipilih dengan cermat dan diteliti secara ketat untuk keamanan masyarakat. Jumlah kadar kalium klorida yang ditemukan dalam vaksin Pfizer sangat kecil dan dianggap sebagai jumlah yang aman bagi tubuh. Profesor Purdue juga menyebutkan bahwa kalium klorida ditemukan di hampir semua makanan yang kita makan seperti daging, buah-buahan, sereal, keripik dan susu formula.
Berita palsu lainnya yang juga sempat viral tersebar pada pertengahan tahun 2020. Publik telah dirugikan dengan berita akun instagram yang mengatasnamakan Kartu Prakerja. Kemkominfo RI mengklarifikasi bahwa akun instagram yang mengatasnamakan Kartu Prakerja dengan ciri profil tertentu dan mencantumkan Email prakerja yakni 'grsapps@gmail.com', serta nomor Whatsapp: 087811819321 merupakan akun palsu (Kemkominfo RI, 2021).
Hoax dalam Hukum Positif dan Hukum Islam
Arus informasi melalui media maya pada dasarnya telah diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Â UU tersebut mengatur perlindungan atas kegiatan yang memanfaatkan teknologi, termasuk kegiatan lewat sosial media yang berhubungan dengan informasi atau komunikasi. UU ITE mengatur mengenai sanksi bagi seseorang maupun kelompok tertentu yang menyalahgunakan teknologi dengan cara penyebaran berita hoax (Irpan, 2020). Pelaku penyebaran hoax diatur dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menyatakan: "Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik". Sanksi atas pelanggaran pasal tersebut diatur dalam Pasal 45A Ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016, yaitu: "Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita yang bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan / atau denda paling banyak Rp 1 miliar". (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, 2016)
Hoax sebagai bentuk pembohongan terhadap publik merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan dalam agama Islam. Pembuat hoax telah merugikan orang lain dan hoax yang dibuatnya dikategorikan sebagai adits al-ifk atau cerita dusta (Ahmad & Hotimah, 2018). Lebih dari itu, dalam Surah an-Nur Ayat 11-12 Allah SWT mengancam pembawa berita paslu dengan azab yang pedih.
Dampak dan Identifikasi Hoax
Berita hoax yang merebak di media sosial, telah memberikan dampak negatif yang sangat besar. Di antaranya yaitu pertama, merugikan masyarakat. Berita-berita hoax yang berisi kebohongan dan fitnah secara langsung dan tidak langsung berdampak pada kondisi psikis dan fisik setiap orang. Efek yang ditimbulkan oleh berita palsu terus menerus sehingga dianggap sebagai kebenaran tentu berimbas pada pola pikir masyarakat. Kedua, memecah belah publik. Berita bohong yang disebarkan, baik mengatasnamakan kepentingan politik maupun organisasi agama tertentu, berimbas pada pengkotakan kelompok-kelompok. Setiap kelompok mengklaim kebenaran tertentu dan di saat yang sama menyalahkan dan bahkan menyerang kelompok lain yang dianggap salah. Dampak negatif ketiga, mempengaruhi opini publik. Hoax menjadi pemicu utama kemunduran masyarakat. Keempat, mendiskreditkan salah satu pihak, sehingga mengakibatkan konflik terhadap sesama masyarakat. Kelima, menciptakan ketakutan terhadap masyarakat. Kalangan awam merupakan golongan yang paling dirugikan oleh berbagai dampak negatif tersebut. Upaya untuk meredam berita hoax dengan demikian sangat diperlukan agar masyarakat kembali sadar dan berhati-hati (Maulana, 2017).
Untuk mengetahui sebuah berita tergolong palsu, dapat diidentifikasi dari 4 ciri sebagai berikut. Pertama, berupa pesan yang membuat cemas dan panik para pembaca. Kedua, penulis berita biasanya menambahi sebuah himbauan agar pembaca membagikannya seluas-luasnya. Ketiga, Judul dan pengantar yang bersifat provokatif. Keempat, pesan mengandung unsur sepihak serta menyerang pihak individu atau suatu kelompok.
Tantangan Hoax dan Peran Milenial Indonesia Era GlobalisasiÂ
Generasi milenial (digital native), yang terlahir saat budaya internet booming, mempunyai andil besar dalam menangkal berita hoax. Generasi ini dipandang sebagai generasi masa depan yang diasuh dalam lingkungan budaya baru media digital yang interaktif, berwatak menyendiri (desosialisasi), berkomunikasi secara personal, dan melek komputer. Hasil survei We Are Social yang dilakukan di Singapura pada 2017, menunjukkan bahwa penduduk Indonesia yang menggunakan media sosial mencapai 106 juta dari total populasi 262 juta. Aktivitas tertinggi pengguna media sosial di Indonesia dilakukan oleh para digital native dengan persentase 62% menggunakan smartphone, 16% menggunakan komputer, dan 6% menggunakan tab. Digital native di Indonesia menempati jumlah populasi terbesar saat ini. Tingkat pengetahuan para generasi milenial sudah memadai untuk mengoperasikan media sosial. Mereka bukan hanya sebagai pengguna media sosial saja, melainkan juga pembuat konten media yang dijadikan sebagai bentuk pesan interaksi di dunia maya. Generasi digital native memahami bahwa media sosial bersifat konvergen yang mampu menghubungkan satu platform media ke media lain. Oleh karena itu, aksesibilitas kepemilikan media sosial yang mereka gunakan tidak hanya pada satu akun media sosial saja, melainkan pada lebih dari satu media sosial (Supratman, 2018). Arus Globalisasi pada akhirnya telah membawa para generasi milenial sebagai digital native yang paling besar partisipasinya dalam bersosial media. Mengetahui benar atas tindakan dan peran yang dilakukan dalam bersosial media penting disadari oleh para milenial, karena kontribusi para milenial dalam menanggulangi hoax yang tersebar memiliki urgensifitas teratas.
Beberapa peran yang dapat dilakukan para milenial guna menanggulangi tantangan hoax yaitu; pertama, berhati-hati dengan judul berita atau informasi yang provokatif. Kedua, cermat melihat sumber berita. Dari mana berita itu muncul? apakah sumbernya kredibel atau tidak? kedua hal tersebut wajib dimiliki agar berita yang diterima valid. Ketiga, periksa fakta dan keaslian sebuah berita. Keaslian juga merupakan hal yang penting dalam memilih berita (Juditha, 2018). Generasi muda pun dapat melakukan berbagai aksi menanggulangi hoax kepada masyarakat, seperti sosialisasi hoax dengan membuat seminar, gerakan anti hoax dan kampanye bertema bahaya dari hoax. Selain itu, tindakan preventif seperti tidak ikut serta menyebarkan berita yang belum jelas sumber dan kebenarannya, memblokir dan me-report akun penyebar hoax agaknya bisa untuk dilakukan. Lebih dari itu, para milenial dituntut banyak membaca. Tidak terpaku pada satu sumber saja, melainkan juga membaca sumber yang lain, sehingga berita diterima secara holistik dan komprehensif. Hal ini dilakukan agar objektifitas tumbuh pada diri mereka. Setelah membaca banyak sumber, selanjutnya menyaring berita yang benar, akurat, dan dapat dipercaya. Meminjam istilah Gus Nadir, saring sebelum sharing, agaknya paling pas dilakukan. Di saat kebanyakan orang latah, copy -- paste -- share, generasi milenial harus mampu menyaring setiap berita yang didapat, sehingga tidak mudah membagikan sebuah berita yang belum jelas kebenarannya.
Sikap bijak sangat diperlukan bagi generasi milenial untuk membentengi diri dari pengaruh negatif berita hoax, khususnya pada era ini. Bijak berteknologi, bijak bermedia sosial, dan bijak bertransfer informasi, membawa generasi muda yang cerdas, kritis, inovatif dan kreatif, dan taat hukum (Remaja & Ardana, 2020). Setiap anggota memiliki peran masing-masing. Generasi muda-milenial harus ambil bagian dalam menangkal berita hoax.
Â
Â
DAFTAR PUSTAKA
Â
Ahmad, S., & Hotimah, H. 2018. Hoaks Dalam Kajian Pemikiran Islam dan Hukum Positif. dalam Jurnal SALAM: Jurnal Sosial & Budaya Syar 'I. 5(3):289-299
Irpan, I. 2020. Melawan Hoax Melalui Sosialisasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Adi Widya: Jurnal Pengabdian Masyarakat. 4(1):53.
Juditha, C. 2018. Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial serta Antisipasinya Hoax Communication Interactivity in Social Media and Anticipation. Jurnal Pekommas. 3(1):42
Kemkominfo RI 2016. Mengenal Generasi Millennial. Dilihat 03 Maret 2021. .
Kemkominfo RI. 2021. [DISINFORMASI] Vaksin Pfizer Beracun dan Mematikan. Dilihat 04 Maret 2021. .
Kemkominfo RI. 2021. [HOAKS] Akun Instagram Mengatasnamakan Kartu Prakerja. (Dilihat 07 Maret 2021. .
Maulana, L. 2017. Kitab Suci dan Hoax: Pandangan Alquran dalam Menyikapi Berita Bohong. Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya. 2(2):233
Munasya. 2017. Apa dan Siapa Itu Generasi Muda?. Dilihat 03 Maret 2021. < https://munasya.com/apa-dan-siapa-itu-generasi-muda/>.
Ningrum, D. P. 2019. Pemanfaatan Media Sosial Terhadap Fenomena "Hoax" di Kalangan Remaja Milenial (Studi di SMAN 1, Kecamatan Pleret, Bantul, Yogyakarta). Jurnal Ilmiah Padma Sri Kreshna. 1(1):53
Remaja, I. N. G., & Ardana, D. M. J. 2020. Pengamanan Informasi Dalam Rangka Mengawal Generasi Milenial Tolak Ancaman Berita Hoax. Jurnal Karya. 1(1):42-43
Supratman, L. P. 2018. Penggunaan media sosial oleh digital native. Disertai Doktor. IPB. Bogor
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI