Mohon tunggu...
M.Dzaky Shabir
M.Dzaky Shabir Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Komputer Indonesia

Saya mahasiswa, yang sembari bekerja sebagai penyiar di Ardan Radio Bandung

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Isu Pencampuran Pertamax dengan Pertalite di Indonesia

13 April 2025   23:40 Diperbarui: 13 April 2025   23:40 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Isu mengenai pencampuran bahan bakar jenis Pertamax dengan Pertalite oleh oknum tidak bertanggung jawab di berbagai daerah di Indonesia menimbulkan keresahan di tengah masyarakat khususnya para pengguna kendaraan bermotor yang mengandalkan bahan bakar berkualitas tinggi untuk menjaga performa mesin mereka. Fenomena yang dikenal dengan istilah bensin oplosan ini menjadi perhatian publik setelah viralnya video di media sosial TikTok dan Instagram, yang memperlihatkan perbedaan warna dan bau mencolok dari bahan bakar yang seharusnya murni Pertamax tetapi diduga telah dicampur dengan Pertalite Dalam wawancara yang dilakukan oleh Kompas.com pada 10 April 2024, seorang pengguna mobil di Jakarta bernama Luthfi Saputra menyatakan bahwa ia merasa performa kendaraannya menurun setelah mengisi Pertamax di sebuah SPBU di bilangan Jakarta Timur Ia mengungkapkan bahwa konsumsi BBM mobilnya meningkat drastis dan tarikan mesin menjadi lebih berat padahal sebelumnya menggunakan Pertamax dari SPBU lain tidak pernah mengalami masalah serupa.

Menurut laporan CNN Indonesia pada 11 April 2024 investigasi yang dilakukan oleh Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengindikasikan adanya praktik pencampuran Pertamax dengan Pertalite yang dilakukan oleh oknum operator SPBU, dengan alasan untuk mendapatkan margin keuntungan yang lebih tinggi. YLKI menyebut bahwa dari uji sampel yang mereka ambil di lima titik SPBU ditemukan adanya kandungan senyawa yang tidak konsisten dengan standar resmi Pertamax yang telah ditetapkan oleh Pertamina Dalam pernyataannya Ketua Harian YLKI Tulus Abadi menyebut bahwa pencampuran ini tidak hanya merugikan konsumen dari sisi ekonomi namun juga berpotensi merusak mesin kendaraan dalam jangka panjang karena Pertalite memiliki nilai oktan yang lebih rendah daripada Pertamax, sehingga bisa menyebabkan knocking atau kerusakan pada sistem pembakaran mesin.

Salah satu mekanik bengkel resmi di Surabaya bernama Deni Rachmat kepada Detik.com pada 12 April 2024, menyatakan bahwa ia menerima banyak keluhan pelanggan yang merasa mobil mereka mengalami penurunan performa meski telah menggunakan Pertamax Deni menyebut bahwa saat dilakukan pengecekan saringan bahan bakar dan busi ditemukan residu yang tidak biasanya muncul pada bahan bakar oktan tinggi. Menurutnya indikasi tersebut menguatkan dugaan bahwa bahan bakar yang digunakan telah tercampur zat lain yang kualitasnya lebih rendah seperti Pertalite atau bahkan air Praktik ini menurutnya sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kerusakan mesin permanen serta biaya perbaikan yang mahal.

Sementara itu Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menyampaikan dalam keterangan persnya kepada Tempo pada 12 April 2024, bahwa Pertamina sedang menelusuri dugaan pencampuran bahan bakar tersebut dan telah menonaktifkan sementara beberapa SPBU yang terindikasi melakukan kecurangan. Pihaknya juga menghimbau agar masyarakat segera melaporkan apabila menemukan perbedaan mencolok pada warna atau bau bahan bakar yang mereka beli agar bisa segera ditindaklanjuti. Fadjar menegaskan bahwa Pertamina tidak akan mentoleransi praktik curang seperti ini dan akan memberikan sanksi tegas hingga pencabutan izin operasi terhadap SPBU yang terbukti bersalah.

Dalam artikel Tirtoid yang terbit 13 April 2024 pakar komunikasi krisis dari Universitas Indonesia Dr. Hendra Kusuma menyebut bahwa kasus ini mencerminkan lemahnya sistem komunikasi antara badan pengatur dan Masyarakat. Ia menekankan bahwa keterbukaan informasi dan pelaporan berkala dari Pertamina sangat diperlukan untuk menghindari asumsi negatif yang dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap distribusi BBM di Indonesia. Ia juga menyarankan agar pemerintah memperkuat sistem audit independen terhadap SPBU, serta menerapkan sistem pelaporan digital real-time agar publik bisa mengakses informasi kualitas bahan bakar dari setiap SPBU secara langsung.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun