Mohon tunggu...
Muhammad Dzaky Fauzi
Muhammad Dzaky Fauzi Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UPN "Veteran" Yogyakarta

Berminat pada sastra, politik, sejarah, sedikitnya kucing, juga nasinya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembangunan Laos dan Jebakan Utang China

27 April 2025   17:39 Diperbarui: 27 April 2025   17:39 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Laos, beberapa tahun sebelum keruntuhan Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin, gencar melakukan pembangunan di berbagai sektor. Melalui kebijakan Chintanakan Mai  (Pemikiran Baru) pada tahun 1986, Laos melakukan reformasi ekonomi dengan beralih dari sistem ekonomi sosialis menuju ekonomi pasar terbuka.

Secara garis besar, terdapat dua faktor yang melatarbelakangi kebijakan tersebut. Dalam faktor internal, misalnya, pascamerdeka pada tahun 1975, Laos memberlakukan kebijakan nasionalisasi sektor ekonomi strategis seperti tanah dan distribusi  barang yang berujung pada kegagalan.

Akibatnya, secara ekonomi, Laos mengalami hiperinflasi. Krisis ekonomi tersebut kemudian mendorong melemahnya legitimasi terhadap pemerintah seiring dengan tingginya kekecewaan rakyat.

Sementara, dalam faktor eksternal, Laos melihat adanya peralihan sistem di antara negara-negara penganut sosialisme, seperti China dan Vietnam. Kedua negara tersebut, tak kurang dari satu dekade, kompak melakukan reformasi ekonomi menuju sistem pasar terbuka.

China dan Vietnam, kendati mengubah sistem ekonomi, tak serta merta mengganti tatanan politik yang ada. Kondisi tersebut kemudian turut diikuti Laos sebagai negara yang mengalami hiperinflasi dan membutuhkan suntikan dana.

Baru pada dekade pertama tahun 2000-an, Laos mulai fokus menggarap sektor strategis dengan sistem ekonomi baru. Dengan mengusung slogan Battery of Southeast Asia, Laos gencar melakukan pembangunan pembangkit listrik tenaga air (hydropower) untuk diekspor ke negara tetangga, seperti Thailand dan Vietnam.

Studi dari Lowy Institute menyebut bahwa terjadi peningkatan kapasitas energi listrik sebesar 14 kali lipat dalam dua dekade sejak tahun 2000-2020. Tercatat, pada tahun 2000, total kapasitas energi listrik di Laos hanya sebesar 600 Megawatt (MW), berbeda dengan tahun 2020 yang telah mencapai angka lebih dari 9.500 MW.

Fokus pada pembangunan energi tersebut secara langsung mendorong Laos agar turut mengembangkan sektor distribusi. Salah satunya dengan peningkatan inftrastuktur dan jalur transportasi, seperti kereta api.

Pada dekade kedua tahun 2000-an, pengembangan tersebut mulai nampak dengan adanya proyek-proyek strategis seperti puluhan bendungan di sungai Mekong, jalan raya, jembatan, saluran telekomunikasi, dan yang kerap menjadi sorotan, kereta cepat Laos-China.

Lewat program Belt and Road Initiative (BRI) milik China pada tahun 2013,  Laos mengoptimalkan berbagai pembangunan tersebut. Namun, alih-alih mempercepat laju pembangunan dalam negeri, belakangan, Laos justru merasa terjebak karena terus berada dalam pengaruh China dan mengalami ketergantungan.

Hal tersebut turut memicu krisis ekonomi lanjutan, setelah sebelumnya disebabkan kegagalan penerapan nasionalisasi sektor strategis,  banyak berutang pada lembaga keuangan China seperti China Exim Bank dan China Development Bank. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun