Mohon tunggu...
Dyvia Mahargi
Dyvia Mahargi Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

Selamat datang di akun saya ✨

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepotong Kisah yang dipilihkan Semesta Cerpen Dyvia Mahargi Hayu

30 Maret 2021   17:43 Diperbarui: 30 Maret 2021   17:46 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepotong Kisah yang dipilihkan Semesta
Cerpen DYVIA MAHARGI HAYU

Manusia itu rumit. Ketika semesta menuliskan kisah untuknya, memaksa dirinya untuk menjelajah setiap lembar yang ditulis rapi untuknya, ia menolak. Berusaha lari dari kisah itu, menyangkal dengan berlapis-lapis alasan agar bisa berpindah ke kisah lain. Tapi bukankah semesta sudah sepakat dengan takdir, dan takdir rajin membagikan kisah-kisah yang berbeda pada setiap manusia. Setiap harinya takdir menaburkan satu-persatu kisah pada penghuni bumi. Persis seperti petani yang sedang menabur benih jagung di ladang, berharap benih yang ditaburkan akan dirawat dengan baik oleh tanah. Lalu sebagai manusia apakah kita punya hak untuk memilih kisah kita sendiri? Tidak. Kita hanya memiliki dua pilihan, merawat kisah yang telah dituangkan takdir, atau membiarkannya persis seperti tanah tandus yang membiarkan benih jagung mati kehabisan air. Ya, pilihan kita hanya dua, menjadi tanah yang subur atau tanah yang tandus.

Tunggu dulu, sebelum kalian menyelesaikan kisah ini hingga paragraf terakhir, aku akan mencincang dahulu ekspektasi kalian. Kisah ini bukanlah kisah hebat layaknya kisah cinta Romeo dan Juliet apalagi Habibie dan Ainun. Kisah ini sederhana, hingga kesederhanaan itulah yang menjadikan cerita ini begitu sempurna. Ketika semesta memilihkan kisah untukku, pertama aku menolak. Tapi hari ini aku memahami satu hal, manusia tidak pernah diizinkan menolak pembagian kisah yang telah ditetapkan, atau manusia itu akan menyesal dengan penolakannya sendiri. Ini adalah kisah yang dipilihkan semesta untukku beberapa tahun lalu, dan aku memilih untuk merawatnya hingga hari ini.

***

25 Maret 2021

Aku bingung harus memulai kisah ini dari mana, sudah banyak karya-karya berupa cerpen yang aku tulis selama ini, tentang pengorbanan, kasih sayang, persatuan, nasionalisme, dan masih banyak lagi. Tapi, aku tidak pernah menuliskan tentang kisah cintaku, tidak pernah. Kalian tahu mengapa? Aku takut. Sungguh aku takut sekali keyboard laptopku rusak karena tetesan air mata. Dan itu bukanlah satu-satunya ketakutanku. Ketakutan terbesarku memang soal mengenang, karena setiap aku mengenang suatu hal yang sempat terjadi dalam serpihan hidupku, pasti aku akan bercumbu lagi dengan yang namanya rindu. Tapi hari ini, aku akan memberanikan diriku untuk menulis kisah ini. Aku akan membuat semesta bangga dengan kisah yang telah dia pilihkan untukku. Aku akan membuat takdir berbangga diri, karena telah memilihkan orang yang tepat untukku, sebagai pemeran utama yang akan kutuliskan dalam kisah ini.

Entah apa tujuan semesta membawaku kembali. Dua tahun lalu aku masih berlarian di lapangan sekolah ini, menjadi siswi paling malas ketika pelajaran olahraga, sehingga kerap dihukum Pak Guru untuk berlari keliling lapangan. Aku tersenyum getir mengingatnya. Sekarang aku bediri disini lagi, bukan sebagai murid nakal yang sering berpura-pura sakit ketika pelajaran olahraga, tetapi sebagai mahasiswa perguruan tinggi yang datang untuk melakukan observasi demi memenuhi laporan Mata Kuliah Pengenalan Lapangan Persekolahan yang harus kuselesikan di semester ini. Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya, berusaha mengambil kedamaian setelah hatiku penuh sesak beberapa hari ini karena aku takut sekolah ini akan menghadapkanku dengan kenangan-kenangan menyesakkan.

Akhirnya setelah dua tahun berlalu, aku kembali ke tempat ini. Tidak banyak yang berubah. Sekolah ini tetap sempurna dengan tampilan cantiknya. Stempel Adiwiyata memang pantas melekat pada nama sekolah ini. Lihatlah betapa rindangnya pohon-pohon ketapang yang menjulang di taman kelas, bunga-bunga unik bergantungan di teras kelas, dan lukisan-lukisan cantik penuh warna yang ditorehkan siswa kreatif di dinding serta tiang sekolah. Sungguh pemandangan yang luar biasa menakjubkan. Tapi bukan itu yang membuat sekolah ini begitu melekat di memoriku. Ada hal lain yang terselip di sekolah ini, dan setiap kali kukupas satu persatu ingatan itu, maka akan sakit pula hatiku.

***

13 Oktober 2017

"Mau masuk? password dulu sayang," Lelaki tinggi itu mengerlingkan sebelah matanya, membuatku muak setiap kali harus berpapasan dengannya di pintu kelas. Aku memalingkan muka. Malas menganggapi. Lebih baik aku menunggu Pak Seno, Guru Sejarah datang agar bisa masuk ke dalam kelas tanpa mengucapkan 'Aldi Sayang' pada teman sekelasku itu. Kuletakkan tas ransel di lantai teras kelas, kemudian duduk di samping tas itu. Kebetulan memang di depan kelasku tidak ada kursi atau bangku panjang yang disediakan sekolah, jadi anak-anak kerap sekali nglesot di teras kelas ketika tidak ada jam pelajaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun