Mohon tunggu...
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team Mohon Tunggu... Bakul Es :
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ngerol

30 Agustus 2022   02:00 Diperbarui: 30 Agustus 2022   17:53 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: id.gofreedownload.net

Semua pada sambung menyambung tiada putusnya, laksana kicau seekor burung. Bisa jadi bagai burung beo yang piawai meniru suara manusia yang cenderung hanya latah karena meniru belaka tanpa menyentuh kesadaran makna dari sumber ucapan seseorang yang ditangkap yang kemudian ditiru ucapannya dalam genre kicauannya. Ada pula bagai kutilang, cucak rowo, burung hantu, dan sebagainya dengan genre kicauannya masing-masing dan kekhasannya masing-masing dari spesies burung.

Yang bukan jurnalis berlagak bagai sang jurnalis amatir maupun profesional, yang bukan pengamat mendadak jadi pengamat mengalahkan pengamat yang sejatinya pengamat, yang bukan ahli beralagak bagai ahli di ranah disiplin ilmu masing-masing (ideologi, politik, ekonomi, sosiologi, humaniora, budaya, pertahanan dan keamanan) dan dengan segala cabang ilmunya masing-masing. Semuanya pada berkicau dalam komentarnya. Di media massa, cetak maupun eletronik, apalagi di media sosial, mulai dari facebook, instagram, twitter, youtube, tiktok, dan entah apalagi yang terlingkup dalam medsos. Membludak dalam gelegar bagai jamur di musim hujan ... 

Mengapakah tiba-tiba jadi begini, terjadi fenomena baru yang tiba-tiba menggelontor bagai air bah dengan komentar-komentar yang bervariasi dalam nada, irama dan genre-nya? Di pasar-pasar, di setiap sudut ruang publik yang kian sempit namun masih bisa berbicara dengan bebas dan terbuka, di kampung-kampung kota dan di desa-desa pelosok pun tak ketinggalan membicarakannya, mengomentarinya, mempergunjingkannya menurut kapasitas, kapabilitas, dan sudut pandangnya masing-masing.

Betapa tidak? Sebab, tak mungkin ada asap tiada api, terjadinya akibat pastinya ada penyeyebabnya, yang kesemuanya dalam terminologi bahasa ndakik-nya adalah sebuah causaliteit verband.

Fakta realitanya memang begitu. Negeri ini tiba-tiba saja jadi goyang berguncang, anak negeri tanpa kecuali jadi sontak terhenyak, begitu menyaksikan siaran pada 11 Juli 2022 dari Humas POLRI sebagai corong setianya tentang sebuah tragedi di dalam tubuhnya sendiri yang langsung dipahami oleh kebanyakan segala lapisan, tak terkecuali sebagai awam sekalipun, yakni, sebuah keganjilan yang tak bisa diterima dari persepektif logika rasional yang paling simpel nan sederhana. 

Koq, ya bisa-bisanya? Kata sang kebanyakan. Lhawong, sebagai institusi yang merupakan bagian dari alat negara, salah satu dari kaki tangan dan atau kepanjangan tangan negara yang meneruskan amanah dari negara karena negara telah menerima amanah dari bangsanya, koq justru bikin perkara atau kasus maha hebat yang pantas dijuluk tragedi. Apalagi kasus dimaksud sarat dengan hal-hal yang rumit dan teramat sulit untuk disederhanakan dan digamblangkan dalam proses penyelidikan, penyidikan ataupun investigasinya dalam mendapatkan informasi yang tepat dan akurat. Utamanya, dalam hal motivasinya, sehingga sampai terjadi dugaan pembunuhan berencana terhadap personil di jajaran tubuh POLRI itu sendiri. Bukankah mereka adalah tukang menyelidik, menyidik yang sudah menjadi tugas dan amanah yang diemban dalam penegakan hukum dan keadilan, serta ketertiban masyarat bangsanya? Koq, justru mereka pula yang berulah menyimpang dari tugas, kewajiban dan amanah yang diembannya? Ada apakah gerangan? Mengapakah hal itu bisa terjadi yang sepertinya sebagai peristiwa atau kejadian yang tak masuk di akal  oleh sudut pandang dari orang awam biasa sekalipun? 

Fenomena dahsyat itulah yang menjadi pemicunya, menjadikan publik mereaksi atau merespons begitu vulgarnya, lebih-lebih respons komentar dari masyarakat netizen yang sudah abai dengan warning-nya dalam UU IT yang bisa menjeratnya dengan segala sanksi menurut kadar tindak pidananya, bila memang terbukti menabarak rambu-rambu dalam pasal atau klausul yang mengatur kebebasan berbicara dan berpendapat di ranah dunia maya. Nampaknya mereka sudah memilih sikap tak peduli, boleh jadi karena saking gregetan terhadap kasus kejadian yang melanda di tubuh POLRI dengan tersangka utama sang jendral berbintang dua itu. 

"Oalah, muaranya ke situ, toch,  deskripsi narasi sampeyan sedari tadi?" Tanya sang awam. 

"Iya, lantas, apa yang tergambar oleh sampeyan atas deskripsi narasi itu tadi, kang?"

"Simpel saja bagi saya. Telah terjadi kasus kejadian tragis di tubuh POLRI. Yakni, Terbunuhnya seorang Brigadir berinisial J, dimana dalangnya adalah Irjen FS dalam skenario yang beralur membingungkan, namun tetap tidak masuk akal dari apa yang disiarkan oleh Humasnya di media massa."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun