Mohon tunggu...
dyah hidayati
dyah hidayati Mohon Tunggu... arkeologi

berlayar tanpa layar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Legenda Maru dan Nujakali Pulau Tengkorak

15 September 2025   00:12 Diperbarui: 15 September 2025   15:55 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendaratan di Nujakali
Pendaratan di Nujakali

Pulau tengkorak dengan sisa jasad manusia
Pulau tengkorak dengan sisa jasad manusia
e
Transportasi laut di Kepulauan Batu
Transportasi laut di Kepulauan Batu
Pulau tengkorak? Hem... seperti di film-film silat itukah? Kurang lebihnya seperti itu. Tapi tentunya dengan versi yang berbeda.

Adalah Nujakali, sebuah pulau mungil yang bahkan tak bisa dihuni oleh manusia. Bagaimana mau dihuni, selain terlalu kecil pulau ini juga dipenuhi batu karang terjal dengan daratan yang berbukit, hampir tak menyisakan tempat landai sedikit pun. Seluruh permukaannya ditumbuhi semak belukar dan tumbuhan pantai yang rapat. Saat datang ke sini kami harus mengendap dan membungkuk untuk menghindari semak-semak tersebut agar tak melukai tubuh. Selain semak belukar yang terkadang menusuk kulit, karang-karang tajam pun cukup mengancam keselamatan kaki-kaki yang telah rapat berbalut sepatu.

Pulau Nujakali berada sangat dekat dengan Pulau Sibaranun (yang berpenghuni) di Kecamatan Pulau-pulau Batu, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara. Pulau ini juga dikitari gugusan pulau lain seperti Pulau Hayo, Pono, Tello, Balgia, dan Sifika. Yah, pulau-pulau di Samudera Hindia ini memang relatif saling berdekatan. Penduduk asli yang bermatapencaharian sebagai nelayan biasanya memiliki perahu kayu kecil yang juga digunakan untuk transportasi antar pulau yang berdekatan. Terkadang mereka menggunakan mesin berkekuatan kecil, tak jarang juga hanya mengandalkan dayung semata. Jika ingin bepergian jauh antar pulau mereka harus menumpang boat lain yang lebih besar dan tentunya berbayar.

Nujakali bukanlah pulau biasa. Walaupun di peta hanya terihat sebagai titik kecil, di wilayah Kepulauan Batu pulau ini merupakan salah satu yang istimewa, terutama karena folklor yang melatarbelakangi keberadaannya.

Legenda Maru di Pulau Hayo

Hidup di lingkungan masyarakat tradisional hampir dapat dipastikan  tak pernah lepas dari folklor. Folklor adalah nyawa, yang merupakan nafas kehidupan masyarakat di masa lalu. Begitu juga di Kepulauan Batu, khususnya di Pulau Hayo yang akrab dengan legenda Maru.

Siapakah Maru? Tokoh Maru ini ternyata sangat lekat dengan kisah kuburan-kuburan kuno yang ada di Pulau Hayo. Pulau Hayo memiliki jejak-jejak tradisi penguburan masa lalu di mana kematian seseorang ditangani dengan cara meletakkan jasad pada sebuah keranda kayu tanpa proses pengebumian. Keranda kayu ini hanya akan diletakkan di atas tumpukan batu karang ataupun di lokasi yang lebih terlindung. Saat ini seiring waktu tentunya tak banyak lagi jejak yang bisa ditemukan. Tradisi ini pun telah terhenti ketika masyarakat telah memeluk agama baru dan meninggalkan kepercayaan lokal mereka.

Keranda-keranda kayu tersebut tentunya telah rapuh dimakan usia dan juga cuaca ekstrim lautan. Walaupun tak ditemukan lagi keranda yang utuh, namun potongan-potongan keranda kayu berbahan kayu rasak tersebut masih bisa kita lihat sampai sekarang. Kayu rasak merupakan jenis kayu yang berkualitas baik sehingga keranda kayu tersebut tidak seluruhnya hancur dan masih menyisakan bagian-bagian yang dapat dipelajari. Dan bagaikan sedang menata puzzle, kita bisa merekonstruksi bentuk utuhnya dari potongan-potongan yang tersisa. Keranda kayu itu, sebagaimana layaknya peti mati dibentuk menyerupai perahu dengan bagian kaki lebih sempit dibandingkan dengan bagian kepala. Hanya saja keranda kayu di Kepulauan Batu  ini sangat istimewa karena secara keseluruhan menggambarkan wujud makhluk mitologi bernama lasara. Lasara berwujud seperti binatang, memiliki kepala serta ekor. Maka pada bagian kepala keranda akan diukirkan bentuk kepala makhluk lasara, dan di bagian kaki diukirkan bentuk ekor lasara. Selain potongan-potongan peti, di lokasi tersebut juga masih berserakan tengkorak dan tulang-belulang manusia yang dahulunya disemayamkan di tempat itu. Kuburan semacam ini disebut sogawugawu.

Nah, sogawugawu konon sebenarnya tak boleh ada di pulau ini. Artinya ada larangan keras untuk menyemayamkan orang yang meninggal dunia di Pulau Hayo. Larangan itu datang dari Maru, tokoh sakti yang bermukim di Pulau Hayo.  Ketika Maru masih berada di Pulau Hayo, pulau ini dikenal sebagai Pulau Mutiara. Sebutan itu untuk menggambarkan betapa kaya rayanya Pulau Hayo karena emas melimpah ruah di pulau ini. Maru adalah tokoh sakti yang mempu membaca fikiran orang walaupun orang tersebut tidak sedang berada di hadapannya. Di saat itu jika ada orang yang meninggal dunia di Pulau Hayo maka wajib dibawa ke Pulau Nujakali, sebuah pulau kecil yang khusus untuk penyemayaman jasad orang yang meninggal dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun