Mohon tunggu...
Dyah Ayu Anggara Shavitri
Dyah Ayu Anggara Shavitri Mohon Tunggu... An author and a long life learner

Saya adalah seorang penulis dan editor kreatif yang telah berkecimpung di industri konten digital, penerbitan buku, dan komunikasi strategis. Lulusan Ilmu Komunikasi Internasional dari LSPR Jakarta, saya menaruh perhatian besar pada narasi personal, storytelling bermuatan budaya, dan isu-isu sosial yang berkelindan dengan keseharian generasi muda urban. Berpengalaman sebagai content writer, copywriter, proofreader, dan editor akuisisi, saya juga aktif menulis fiksi dan nonfiksi dengan gaya khas: reflektif, emosional, dan kadang satir. Lewat blog ini, saya ingin berbagi keresahan, imajinasi, dan percakapan batin dengan siapa pun yang sempat singgah dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Film

Disney Lupa Riset Arti Kuat Sesungguhnya dari Perempuan

22 Mei 2025   14:04 Diperbarui: 22 Mei 2025   14:04 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto young superhero girl wearing crown showing silence gesture Sumber: Freepik/Kredit Foto

Menjadi independen nggak salah---tapi sejak kapan independen cuma jadi satu-satunya cara seorang perempuan kelihatan kuat? Absolutely wrong. Punya rasa cinta itu juga perasaan kuat buat seorang perempuan. Apalagi kalau si perempuan berada di situasi kompleks saat mereka masih punya rasa percaya akan cinta itu. Cinta nggak ujuk-ujuk muncul gitu aja. Ada rasa keingintahuan dan harapan yang diselimuti kepercayaan kalau ia layak dicintai, karena orang itu telah berani mencintai. 

Kesetaraan Sudah Ada di Dongeng-dongeng Klasik

Contohnya, Cinderella. Awal mula cerita, Cinderella nggak pernah memimpikan cinta dari seorang pangeran. Film adaptasi 2021 nambahin alasan Ibu Cinderella meninggal dunia, setelah ngasih pesan untuk berani dan menjadi orang yang baik. Walaupun setelah beliau wafat, berani mempercayai tujuan dari berbaik hati itu goyah karena kecemburuan Ibu dan saudari-saudari tirinya. Pada akhirnya, Cinderella berani bicara kekurangan yang ia punya---nggak ada gelar atau kekayaan lainnya, sebelum pakai sepatu kacanya. Apa pangeran menolaknya? Nggak, pangeran bahkan juga jujur bilang apa adanya kalau ia masih seorang murid yang belajar---masih ragu menjadi seorang raja. Kedua orang ini sama-sama takut nggak bisa memenuhi ekspektasi orang yang mereka cintai, tetapi mereka berani mutusin buat hidup bersama---melalui rintangan hidup bersama, nggak lagi sendiri-sendiri. 

Dari daftar film-film Disney Princesses versi Forbes (Mercuri & Corones, 2024), bisa kita lihat hampir semua animasinya bakal dibabat habis---dibuat jadi live action di atas tahun 2019-an. Sebelumnya, makasih banget buat Disney, nggak menghilangkan kisah cinta Aurora di Maleficent, Cinderella, Beauty and The Beast, dan Aladdin. Namun, sejujurnya kalau dibuat ranking, Cinderella tahun 2015 yang tetap nomor satu di hati, lanjut ke Maleficent---karena adaptasinya berusaha ngasih tau penonton dilema perempuan anti-cinta yang kembali percaya arti cinta sesungguhnya, barulah Beauty and The Beast dan Aladdin.   

Foto perpisahan Katherine dan murid-muridnya di Film Mona Lisa Smile (2003) Sumber: Scroll.in/Kredit Foto
Foto perpisahan Katherine dan murid-muridnya di Film Mona Lisa Smile (2003) Sumber: Scroll.in/Kredit Foto

Sedangkan, Snow White and The Seven Dwarfs (1937) yang diadaptasi pada tahun 2025 nggak akan mendambakan cinta dari seorang pangeran. Ia nggak cuma masak dan bersih-bersih karena ditakdirkan jadi pemimpin, bisa kalian lihat sendiri di film live actionnya---malah kurcaci-kurcacinya yang bersih-bersih setelah selesai nguli di tambang permata. Karakter Snow White 2025 ini bikin saya ingat dengan tokoh Katherine, seorang guru, di film Mona Lisa Smile---yang berusaha meyakinkan murid perempuannya (Joan) menjadi independen dengan menunjukkan kecerdasannya di sekolah hukum. Namun, perspektif Katherine patah karena Joan punya pemikiran baru. Hanya karena Joan nggak masuk ke sekolah hukum, dan tetap memilih menjadi Ibu rumah tangga serta punya anak, bukan berarti kepintarannya langsung lenyap gitu aja!

Harapan Para Penonton Soal Film Adaptasi dari Dongeng Klasik Disney

Film-film versi manusia yang seharusnya memiliki nilai hiburan dari nostalgia, malah membuat kening para penonton mengkerut. Karena bukannya terhibur dengan sensasi nostalgia dan kisah cinta yang memberdayakan, malah disodorin ajaran-ajaran keras realita---yang sebenarnya udah muak kita alami sehari-hari. Harus berjuang supaya sukses, sendiri bukan berarti sepi, blablabla. 

Kalau memang Disney ingin mengikuti zaman dan nggak ketinggalan budaya feminisme sekarang, lebih baik membuat karakter-karakter lain dengan inovasi cerita baru. Bicara soal cinta, perasaan itu hadir dalam berbagai bentuk. Nggak hanya dari pasangan lawan jenis. Lagipula kisah cinta yang bukan ke lawan jenis juga udah dilakukan di beberapa karya animasi Disney---seperti, rasa saling menghargai dan menyayangi ke saudara yang terasingkan (Frozen). Kasih sayang dan penghormatan anak perempuan ke keluarga dan tanggung jawab mereka di Moana, lalu Raya and The Last Dragon.  Okay, that's fine, but that's also enough. 

Film-film animasi itu karya baru Disney yang berusaha membaur sama budaya feminisme. Ada aja, kok, yang suka. Terus kenapa keinginan itu masih dibawa juga ke film-film live action dari putri-putri dongeng klasik Disney?     

 

Foto Portrait of lady with short hair in office Sumber: Freepik/Kredit Foto
Foto Portrait of lady with short hair in office Sumber: Freepik/Kredit Foto

Girl Boss Era Menghambat Perempuan Bebas Memilih Hidup yang Diinginkan

Rebecca Hains, Profesor dari Salem State University, ngajak orang tua dan pendidik buat bantu anak-anaknya berpikir kritis di dalam budaya konsumerisme lewat bukunya---The Princess Problem: Guiding Our Girls Through the Princess-Obsessed Years (Hains, 2014). Prof Hains nulis kalau orang tua dan anak-anak mereka perlu menavigasi dunia yang dipenuhi oleh budaya konsumerisme 'Putri Impian' (berdasarkan male gaze), sambil membangun identitas sendiri yang sehat dan kuat.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun