Mohon tunggu...
Dwi Wahyu Alfajar
Dwi Wahyu Alfajar Mohon Tunggu... Seorang sarjana.

Menulis apapun yang bisa ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Nasi Padang Melimpah, tapi Sayurku Hilang

1 Oktober 2025   12:00 Diperbarui: 2 Oktober 2025   09:11 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah Satu Warung Ampera di Pekanbaru (Sumber: Instagram @pekanbarukuliner)

Hidup di perantauan sering kali bikin rindu hal-hal kecil yang dulu terasa biasa saja. Bagiku, bukan gedung tinggi atau suasana kota yang paling kurindukan dari Jawa, melainkan warteg dengan sayur bening, tumis jamur, dan kentang mustofanya. Empat tahun di Pekanbaru, aku harus puas berteman dengan warung Ampera dan daun singkong yang tak pernah absen.

Salah Satu Warteg Jaya Bahari Group (Sumber: https://jayabahari.com/)
Salah Satu Warteg Jaya Bahari Group (Sumber: https://jayabahari.com/)

Warteg dan Ampera: Dua Dunia Berbeda

Kalau bicara soal warteg, imajinasiku langsung melayang. Pagi, siang, atau malam, tinggal jalan sebentar pasti ketemu warteg di ujung gang.

Menu yang ditawarkan berderet di etalase kaca: sayur bayam bening, orek tempe, tumis jamur, semur jengkol, kentang mustofa, ditambah lauk sederhana tapi bikin bahagia—telur dadar, tempe goreng, ikan tongkol balado.

Yang bikin nyaman adalah variasi. Setiap kali mampir, aku bisa ganti menu sesuka hati. Hari ini pilih sayur lodeh, besok pindah ke tumis kangkung, lusa ganti capcay. Pokoknya, kalau soal sayur, warteg tidak pernah kekurangan stok.

Sajian Lauk Pauk di Warteg Bahari Tebet (Sumber: https://www.suara.com/).
Sajian Lauk Pauk di Warteg Bahari Tebet (Sumber: https://www.suara.com/).

Namun semua berubah ketika aku pindah ke Pekanbaru. Di sini, warteg tidak ada. Yang ada adalah warung Ampera—istilah lokal untuk warung nasi Padang. Dari luar, sama-sama etalase kaca. Tapi begitu dilihat menunya, perbedaannya terasa sekali.

Warung Ampera menawarkan lauk khas Minang yang sudah akrab di telinga: rendang, ayam pop, gulai tunjang, ayam gulai, dan sambal ijo. Rasanya mantap, porsinya melimpah, tapi kalau bicara soal sayur, pilihannya terbatas. Setiap kali aku makan di sana, sayurnya hanya itu-itu saja: daun singkong rebus atau tumisan kol.

Dua minggu pertama aku tinggal di Pekanbaru, pencernaanku langsung protes. Bayangkan, tubuh yang terbiasa dengan serat dari aneka sayur tiba-tiba hanya disuguhi daun singkong. Alhasil, perut terasa penuh dan kembung. Momen itu membuatku sadar: urusan makanan bukan sekadar soal kenyang, tapi juga keseimbangan.

Dari Nostalgia ke Dapur Sendiri

Lucunya, rindu pada warteg itu muncul tidak hanya karena masalah perut. Ada sisi emosional yang ikut bermain. Pernah suatu sore, setelah seharian kerja, aku membayangkan betapa nikmatnya kalau bisa makan nasi hangat, sayur bayam bening, tempe goreng, dan sambal terasi. Bayangan sederhana itu bikin air liur menetes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun