Namun realitas berkata lain. Saat aku melangkah keluar, yang kutemukan hanya deretan warung Ampera. Lagi-lagi pilihan jatuh pada rendang ayam dengan daun singkong. Aku pun menghela napas panjang. Di titik itu, aku sadar: aku benar-benar merindukan warteg.
Rasa rindu itu akhirnya membawaku ke dapur. Kalau warteg tidak bisa ditemukan, maka warteg harus diciptakan. Aku mulai belanja sayuran. Untungnya, kedai sayur harian di Pekanbaru tetap menyediakan sayuran segar: bayam, kangkung, buncis, bahkan labu siam.
Sudah lama aku tidak rutin masak sendiri. Tapi begitu panci mendidih, aroma bawang merah dan putih mulai harum, ada rasa hangat yang sulit dijelaskan. Saat kuicip kuah sayur bening bayam buatanku sendiri, aku tersenyum. Rasanya persis seperti yang kucari: sederhana, ringan, tapi bikin lega.
Sejak saat itu, memasak jadi kunci. Minimal seminggu tiga kali aku masak sendiri. Menu favoritku tidak muluk-muluk: sayur bayam bening, tempe goreng, sambal terasi, kadang ditambah tahu bacem. Rasanya? Tiada duanya. Apalagi ketika disantap siang-siang sambil menonton berita, seakan-akan aku sedang duduk di meja makan rumah sendiri di Jawa.
Rumah dalam Sepiring Sayur
Bukan berarti aku menolak warung Ampera. Justru, nasi Padang punya keistimewaannya sendiri. Rendang yang legit, gulai tunjang yang empuk, sambal ijo yang nendang—semuanya sulit ditolak. Tapi dalam jangka panjang, aku merasa tidak bisa bergantung sepenuhnya pada pola makan itu.
Warteg dan Ampera ibarat dua dunia yang berbeda. Warteg menawarkan variasi sederhana dengan keseimbangan sayur yang menyehatkan, sementara Ampera memberikan kepuasan rasa lewat bumbu kaya rempah dan santan. Dua-duanya enak, tapi tubuh kadang butuh keseimbangan antara “lezat” dan “ringan”.
Dari kerinduan pada warteg ini, aku belajar bahwa makanan bukan sekadar soal perut, melainkan juga identitas. Setiap orang membawa “lidah budaya” masing-masing. Perantau dari Jawa mungkin rindu warteg, perantau Minang mungkin rindu nasi kapau, perantau Bugis mungkin rindu barobbo.
Akhirnya aku sadar, rumah itu bisa diciptakan dari mana saja. Kadang, ia hadir lewat sepiring nasi, semangkuk sayur bening bayam, sepotong tempe goreng, dan sambal terasi yang pedasnya bikin hati hangat.
Pada akhirnya, rindu warteg bukan sekadar soal makanan murah meriah, tapi tentang rasa rumah yang tak tergantikan. Dan di tengah perantauan, sepiring sayur bening bayam dengan tempe goreng hangat bisa jadi cara paling sederhana untuk pulang—meski tanpa benar-benar kembali.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI