Mohon tunggu...
Dwi Nurcahyo
Dwi Nurcahyo Mohon Tunggu... Buruh - Pekerja Swasta

Lebih memilih untuk berdiam diri menyaksikan tayangan sepakbola ketimbang berbicara dengan seekor kambing kolot

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Peradaban Harus Beregenerasi, Namun Tidak untuk Toiletnya

10 Januari 2024   11:59 Diperbarui: 10 Januari 2024   12:09 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antara-Muhammad Adimaja

Saya cukup takjub dengan beragam perubahan yang dilakukan oleh PT KAI terutama untuk KAI Commuter, termasuk dalam hal fasilitas publik. Saking saya takjubnnya, saya sampai tidak habis-habis mengelus dada.

Perut saya tiba-tiba bunyi gemericik tatkala saya sedang menaiki KRL, saya kira itu hanya buang angin biasa, namun buang angin yang luar biasa. Berhubung saya sedang di dalam kereta, terpikirlah saya untuk berhenti di stasiun pemberhentian terdekat untuk buang hajat sisa makan martabak dan bakso cuanki semalam. Sesampainya di stasiun terdekat, stasiun yang bisa dibilang bukan stasiun besar lah, sebab di dalam toilet pria nya juga hanya ada satu

Di dalam toilet terlihat ada bapak-bapak sedang menunggu orang di dalam wc. "nunggu juga, pak? sapa saya. "Iya ini, mas." jawabnya singkat dan padat. Tidak lama setelahnya orang yang di dalam keluar dan disusul oleh si bapak yang masuk ke dalam. Karena sudah di ujung sekali, seringkali ada suara angin merdu yang keluar. Dan waktu yang ditunggu tiba juga, namun kaget setengah mati saya.

"Airnya gak bisa di flush, mas." Loh, heh. Kaget lah saya. Saya lihat masih ada sisaan yang mengambang. Masyaallah, kok bisa fasilitas publik bisa kayak gini. Katanya kita udah modern, tapi hal yang dasar kayak gini masih aja ada" celoteh saya dalam hati. Daripada saya bab di celana, bodo amat lah saya bab dengan sisaan punya si bapak yang masih menonjol. Setelahnya sama juga air tidak dapat keluar dan kebetulan ada jet washer di sana, tapi kekuatannya lemah sekali dan sangat tidak bisa membantu untuk mendorong kotoran ke dalam.

Mata saya memincing tatkala melihat keran, namun di bawahnya tidak ada ember untuk menampung air itu. "Terus gunanya keran untuk apa?" pikir saya keras dalam-dalam. Saya buka pintu dan saya dapati petugas kebersihan di depan kaca yang sedang bekerja. "Mas, tolong bilang ke pimpinan divisi sampeyan, itu ada keran, tapi gak ada ember. Klosetnya juga gak bisa di flush jadinya kan mampet. "Zaman juga sudah canggih, kok masih ada toilet yang bilas masih manual. Harusnya sudah otomatis, apalagi fasilitas ini dinikmati semua kalangan," tutur saya sembari menahan kesal yang gak karuan.

Terus yang menjadi pusat perhatian saya juga ketersediaan sabun dan tissue saat sedang bab tidak tersedia. Jadi kek gimana ya, sulit kalo itu gak ada. Masa iya orang habis bab gak gak ada pengering. Basah dong. Lembab dong. Saya mohon dengan amat sangat untuk pimpinan PT KAI, tolong sangat diperhatikan kembali kelengkapan yang ada di dalam toilet kalian di setiap stasiun. Saya bahkan tidak menemukan catatan ceklis yang memuat perlengkapan toilet seperti sabun, tissue, urinoir dll. Semuanya tidak ada ceklisnya, saya harap ini jadi perhatian dari para pimpinan di sana.

Sebelumnya saya sudah mencuitkan keluhan saya mengenai fasum toilet ini, namun hingga tulisan ini di publish, belum ada balasan juga dari akun twtitter @CommuterLine. Saya harap ke depannya ada perbaikan dari segi fasum toilet mengingat ini salah satu komponen utama yang acapkali kurang diperhatikan.

Remember when your ex Dirut KAI said: "toilet sebagai simbol peradaban modern manusia."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun