Masa remaja adalah masa di mana berbagai persoalan gizi yang bersifat spesifik sering muncul. Pada periode ini, berlangsung interaksi hormon yang cukup kompleks yang sangat diperlukan untuk menunjang jalannya proses pubertas, pertumbuhan tinggi badan yang optimal, serta perkembangan sistem saraf. Semua proses tersebut tidak akan terjadi secara normal apabila tubuh tidak memperoleh asupan gizi yang cukup. Remaja sendiri merupakan kelompok usia yang rentan terhadap berbagai masalah kesehatan, baik yang disebabkan oleh penyakit infeksi, kecelakaan, kekurangan zat gizi tertentu, maupun pertumbuhan yang tidak berjalan dengan semestinya, sehingga kekurangan gizi masih menjadi salah satu permasalahan utama pada masa ini.
Menurut Telisa dan Eliza (2020), asupan gizi yang tidak tercukupi dapat menghambat pertumbuhan optimal remaja dan meningkatkan risiko terjadinya Kekurangan Energi Kronis (KEK). KEK pada remaja putri dapat diidentifikasi melalui pengukuran lingkar lengan atas (LiLA), di mana nilai LiLA kurang dari 23,5 cm menunjukkan status gizi kurang dan menandakan risiko KEK. Fenomena ini juga diperkuat dengan temuan Kementerian Kesehatan RI (2018) yang menyebutkan bahwa semakin muda usia calon ibu maka semakin besar risiko mengalami KEK.
Kondisi ini semakin diperparah oleh persepsi sebagian remaja putri di Indonesia yang masih menganggap bentuk tubuh kurus dan kecil sebagai standar kecantikan. Pandangan mengenai body image yang keliru ini dapat mendorong perilaku membatasi asupan makanan secara berlebihan, sehingga memperbesar risiko terjadinya kekurangan gizi. Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa remaja putri perlu memahami bahwa persiapan kehamilan membutuhkan kecukupan gizi sejak dini, bukan sekadar menjaga penampilan fisik (Kemenkes RI, 2018).
Lebih lanjut, Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa meskipun terjadi penurunan prevalensi KEK pada wanita usia subur dari 24,2% menjadi 17,3% pada ibu hamil, serta dari 20,8% menjadi 14,5% pada wanita tidak hamil tantangan gizi remaja tetap besar. Siswanto menegaskan bahwa "ibu hamil yang mengalami KEK merupakan calon produsen anak stunting, karena jika energi ibu kurang, anak yang dilahirkan berisiko BBLR atau lahir dengan tubuh pendek" (Kemenkes RI, 2018). Kondisi ini semakin kompleks dengan meningkatnya prevalensi anemia pada remaja putri, dari 37,1% pada 2013 menjadi 48,9% pada 2018, terutama pada kelompok umur 15--24 tahun. Fakta-fakta ini jelas menunjukkan bahwa kesehatan remaja, terutama remaja putri, sangat menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan nasional, khususnya dalam upaya menekan angka stunting dan meningkatkan kualitas generasi penerus bangsa.
Pola makan sehari-hari dan aktivitas fisik yang dijalani remaja berperan besar dalam menentukan kondisi kesehatan serta kecukupan gizi yang mereka terima. Pada fase pertumbuhan ini, kebutuhan akan energi, protein, zat besi, kalsium, dan berbagai zat gizi lainnya meningkat pesat karena harus mendukung pertumbuhan dan perkembangan tubuh yang maksimal. Akan tetapi, tidak sedikit remaja yang mengalami keterbatasan asupan gizi, sehingga memicu munculnya masalah gizi seperti Kekurangan Energi Kronis (KEK) maupun anemia yang timbul akibat rendahnya asupan zat besi.
Menurut Telisa dan Eliza (2020), rendahnya asupan zat gizi makro dan zat besi, disertai kadar hemoglobin yang rendah, menjadi salah satu faktor utama penyebab terjadinya KEK pada remaja putri. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa remaja putri dengan asupan energi, protein, dan zat besi yang rendah memiliki risiko jauh lebih besar mengalami KEK, bahkan asupan zat besi rendah meningkatkan risiko hingga 11 kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa kecukupan zat gizi makro dan mikro sangat krusial untuk mencegah KEK, terutama pada kelompok usia remaja putri.
Temuan ini sejalan dengan laporan Riskesdas (2018) yang meskipun mencatat adanya penurunan prevalensi KEK pada wanita usia subur, namun angka anemia remaja justru meningkat dari 37,1% (2013) menjadi 48,9% (2018), sehingga memperkuat urgensi pencegahan KEK sejak remaja sebagai upaya menekan angka stunting di Indonesia. Hal ini relevan mengingat kebutuhan zat besi pada remaja, khususnya remaja putri, meningkat karena adanya kehilangan zat besi selama menstruasi (Sari et al., 2019). Kekurangan zat besi tidak hanya berdampak pada penurunan kadar hemoglobin, tetapi juga dapat mengganggu metabolisme dan transportasi oksigen dalam tubuh (Agustina & Fridayanti, 2017).
Namun demikian, sebagian besar remaja putri cenderung lebih sering mengonsumsi sumber zat besi non-heme yang berasal dari nabati, yang bioavailabilitasnya rendah dan penyerapannya mudah terhambat oleh zat lain (Sholicha & Muniroh, 2019). Ditambah lagi, sebagian remaja memiliki kebiasaan menghindari sumber zat besi hewani seperti hati sapi, hati ayam, atau daging merah karena alasan bau amis maupun kandungan lemaknya yang dianggap tinggi (Rahayu & Dieny, 2012). Faktor-faktor tersebut semakin memperbesar risiko terjadinya defisiensi zat besi dan berujung pada KEK.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Telisa dan Eliza (2020) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara rendahnya asupan energi, protein, dan lemak dengan meningkatnya risiko Kekurangan Energi Kronis (KEK) pada remaja putri, sedangkan asupan karbohidrat tidak menunjukkan kaitan yang signifikan. Analisis Odds Ratio (OR) memperlihatkan bahwa remaja putri yang kekurangan energi memiliki kemungkinan hampir lima kali lebih besar mengalami KEK, kekurangan protein meningkatkan risiko sekitar 4,7 kali, sedangkan kekurangan lemak menambah risiko sekitar 3,3 kali. Hal ini menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan gizi makro memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga status gizi remaja putri.
Temuan tersebut sejalan dengan penelitian Zaki et al. (2017) yang juga menemukan hubungan erat antara asupan energi, protein, dan lemak dengan kejadian KEK, dengan nilai keeratan hubungan yang cukup bermakna. Semakin tinggi asupan zat gizi makro, semakin baik pula status gizi remaja yang tercermin dari lingkar lengan atas (LiLA). Akan tetapi, tidak semua penelitian menghasilkan temuan yang sama. Penelitian yang dilakukan oleh Ruaida dan Marsaoly (2017) serta Arista et al. (2017) justru menunjukkan bahwa tingkat faktor risiko KEK pada remaja putri dapat bervariasi antar populasi, dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, kebiasaan makan, serta gaya hidup remaja itu sendiri.