Di tengah kemajuan teknologi dan arus modernisasi yang deras, Desa Nibung di Kecamatan Puding Besar, Kabupaten Bangka, menyimpan warisan budaya yang unik dan sarat makna "Tradisi Pawai Hantu". Sebuah ritual budaya yang tidak sekadar menjadi tontonan, tetapi juga sarana edukasi, ekspresi spiritual, dan pelestarian nilai-nilai lokal yang berakar dari sejarah panjang dan kepercayaan masyarakat. Tradisi ini bukan sekadar parade kostum menyerupai hantu yang diiringi dengan sorak sorai masyarakat. Di balik wajah-wajah seram yang ditampilkan, tersimpan makna simbolik yang mendalam berasal dari transformasi nilai kepercayaan lama menuju kesadaran spiritual yang lebih religius. Pawai hantu merupakan perwujudan dari transisi sejarah masyarakat Desa Nibung, dari masa penyembahan roh hingga penerimaan ajaran Islam yang dibawa oleh tokoh karismatik Atuk Junjung.
Simbol dan Makna: Ketika Mistis Bertemu Religius
Mengacu pada hasil penelitian yang diterbitkan dalam Ropiah, Sulaiman & Saputra (2021), simbolisasi dalam Pawai Hantu ditemukan dalam dua tokoh utama yaitu Hantu Bukit dan Hantu Rimbak. Hantu Bukit yang berwarna hitam, terbuat dari ijuk batang kabung, merepresentasikan masa lalu yang kelam ketika masyarakat masih menyembah roh dan hidup dalam kesialan. Warna hitam melambangkan penolakan terhadap mara bahaya dan kegelapan spiritual, yang kini ditanggalkan setelah masyarakat memeluk Islam secara utuh. Sementara itu, Hantu Rimbak yang menggunakan daun keterek ayam berwarna hijau melambangkan kelembutan hati dan keterbukaan menerima takdir Ilahi. Hijau sebagai simbol kehidupan dan ketenangan, memperkuat keyakinan bahwa spiritualitas sejati lahir dari hati yang lapang. Slogan "Terang Gerantang Laut Sibarullah"yang berarti "terang berkilauan seperti laut yang diciptakan Allah" menjadi penegasan bahwa tradisi ini tidak bertentangan dengan ajaran agama. Justru, ia menjadi media transendental untuk mengenang proses spiritual masyarakat menuju kehidupan yang lebih terarah dan religius.
Tradisi Sebagai Inovasi dan Identitas
Dalam lanskap pemerintahan desa dan pembangunan daerah, Pawai Hantu telah bertransformasi dari ritual keagamaan lokal menjadi instrumen inovasi budaya. Sejak 2019, tradisi ini menjadi bagian dari ajang perlombaan tahunan yang memperkaya kreativitas lokal dan membangkitkan ekonomi masyarakat. Pemerintah desa bahkan menjadikannya sebagai bagian dari strategi peningkatan pendapatan desa, sesuai dengan semangat inovasi publik dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini juga tampak dalam kolaborasi mahasiswa KKN Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2023 yang turut serta dalam menyemarakkan tradisi tersebut. Seperti dilaporkan oleh BangkaPos.com, pawai ini menarik perhatian luas masyarakat karena memadukan elemen budaya, edukasi, dan hiburan dalam satu rangkaian acara yang meriah dan membekas di hati.
Pelestarian yang Berakar dari Kesadaran Kolektif
Mengapa Pawai Hantu masih bertahan di era yang serba rasional ini? Jawabannya terletak pada kepercayaan kolektif, penghormatan terhadap leluhur, dan kesadaran identitas lokal. Warga Desa Nibung memandang tradisi ini bukan sebagai sesuatu yang mistis semata, tetapi sebagai cara untuk menjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan secara turun-temurun. Ada keyakinan kuat bahwa pelanggaran terhadap pantangan lokal seperti bersiul atau membawa makanan ke sungai dapat mengundang malapetaka, bukan karena takhayul, tetapi karena nilai-nilai simbolik itu telah melekat sebagai sistem sosial dan moral. Tradisi ini tidak sekadar dipertahankan karena romantisme masa lalu, tetapi karena menjadi penanda keberadaan masyarakat Nibung yang memiliki akar sejarah, keunikan budaya, dan kedalaman nilai-nilai spiritual.
Tradisi, Bukan Sekadar Seremonial
Pawai Hantu adalah contoh konkret bagaimana tradisi lokal mampu bertahan di tengah globalisasi, dengan menggabungkan unsur mistik, nilai spiritual, kreativitas, dan inovasi sosial. Ia adalah cermin dari proses dialog antara masa lalu dan masa kini, antara kepercayaan leluhur dan nilai-nilai religius, antara ekspresi budaya dan pembangunan desa. Di era di mana budaya lokal sering kali terpinggirkan oleh arus budaya global, Desa Nibung mengajarkan kita bahwa menjaga tradisi bukan berarti mundur, tetapi justru bentuk kemajuan yang berakar pada jati diri.