Pertumbuhan ekonomi sering dianggap sebagai indikator utama kemajuan sebuah negara, namun dalam praktiknya pertumbuhan tidak selalu sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara merata. Indonesia, misalnya, mencatat pertumbuhan ekonomi positif dalam beberapa dekade terakhir, tetapi ketimpangan kesejahteraan masih menjadi persoalan serius. Fenomena ini dapat terlihat dari distribusi pendapatan yang timpang, akses terhadap layanan publik yang tidak merata, serta kesenjangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Meskipun Produk Domestik Bruto (PDB) terus meningkat, banyak kelompok masyarakat yang belum merasakan manfaat pertumbuhan secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa pemerataan akan menciptakan ketidakadilan sosial yang pada akhirnya dapat menghambat pembangunan nasional. Oleh karena itu, isu ketimpangan harus ditempatkan sebagai prioritas dalam perumusan kebijakan ekonomi agar pertumbuhan benar-benar mampu meningkatkan kualitas hidup semua lapisan masyarakat (Pojok Jakarta, 2023).Â
Indonesia memiliki potensi besar untuk mengurangi ketimpangan melalui pemanfaatan sumber daya alam, demografi, dan letak geografisnya. Pasar domestik yang besar dan bonus demografi merupakan modal penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif. Namun, kenyataannya, akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja produktif masih jauh dari merata. Sebagian besar penduduk di daerah pedesaan atau terpencil mengalami keterbatasan dalam memperoleh layanan dasar, sedangkan masyarakat perkotaan cenderung lebih diuntungkan dengan infrastruktur dan fasilitas publik yang lebih lengkap. Ketimpangan semacam ini menciptakan lingkaran setan kemiskinan yang sulit diputus, karena tanpa akses yang memadai terhadap modal manusia, masyarakat miskin sulit meningkatkan produktivitasnya. Pemerintah perlu memastikan bahwa pembangunan tidak hanya terkonsentrasi di wilayah tertentu, tetapi menyebar ke seluruh daerah agar manfaat pertumbuhan bisa dirasakan secara luas (Pojok Jakarta, 2023).
Analisis empiris yang dilakukan Ma’ruf dan Wihastuti (2008) memberikan gambaran menarik terkait faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Mereka menunjukkan bahwa investasi, tabungan domestik, tenaga kerja, dan modal manusia berperan positif dalam mendorong pertumbuhan. Namun, penting dicatat bahwa pertumbuhan tersebut seringkali dinikmati lebih banyak oleh kelompok masyarakat menengah ke atas, sementara masyarakat berpendapatan rendah masih tertinggal. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas modal manusia di kalangan kelompok miskin akibat keterbatasan akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang layak. Dalam kondisi ini, pertumbuhan justru memperbesar jurang ketimpangan, karena kelompok kaya memiliki kapasitas lebih besar untuk memanfaatkan peluang investasi dan pasar. Dengan kata lain, tanpa kebijakan redistribusi yang kuat, pertumbuhan ekonomi hanya akan memperkuat dominasi kelompok tertentu dan meninggalkan sebagian besar masyarakat. Referensi dari artikel Pojok Jakarta menegaskan bahwa sumber daya alam melimpah dan pasar domestik besar adalah potensi, tetapi hambatan seperti birokrasi, korupsi, dan infrastruktur yang kurang memadai memperlemah manfaat potensial tersebut.Â
Ketimpangan kesejahteraan juga diperburuk oleh lemahnya tata kelola pemerintahan dan praktik korupsi. Banyak program pembangunan yang sejatinya ditujukan untuk mengurangi kesenjangan, justru tidak tepat sasaran akibat birokrasi yang tidak efisien. Korupsi menggerogoti anggaran negara yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan, atau pendidikan bagi masyarakat miskin. Selain itu, kebijakan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan jangka pendek, seperti eksploitasi komoditas, seringkali mengabaikan aspek keberlanjutan dan pemerataan. Akibatnya, kelompok masyarakat yang lemah justru menanggung dampak negatif, misalnya kehilangan lahan, pencemaran lingkungan, atau ketidakamanan kerja. Artikel Pojok Jakarta menyebut bahwa ketergantungan pada komoditas dan birokrasi yang tidak memadai merupakan hambatan utama bagi pertumbuhan yang inklusif.Â
Salah satu rekomendasi penting dari Ma’ruf dan Wihastuti adalah peningkatan kualitas tenaga kerja melalui pendidikan dan kesehatan. Investasi pada modal manusia ini menjadi kunci dalam mengurangi ketimpangan kesejahteraan, karena memungkinkan masyarakat miskin untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. Pendidikan yang inklusif, terjangkau, dan relevan dengan kebutuhan pasar kerja akan membuka peluang mobilitas sosial bagi generasi muda dari keluarga kurang mampu. Demikian pula, akses terhadap layanan kesehatan yang merata akan meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas kerja masyarakat. Tanpa intervensi yang kuat di bidang ini, ketimpangan akan terus berlanjut, bahkan di tengah pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Artikel Pojok Jakarta juga menekankan pentingnya pendidikan dan kesehatan sebagai bagian dari determinan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.Â
Selain itu, kebijakan fiskal dan moneter perlu diarahkan untuk mengurangi ketimpangan. Insentif investasi harus diberikan bukan hanya kepada sektor besar, tetapi juga untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menyerap tenaga kerja terbanyak. Penguatan inklusi keuangan akan memperluas akses masyarakat miskin terhadap modal, sehingga mereka bisa berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi. Pemerintah juga perlu menjaga stabilitas harga, terutama komoditas pokok, karena inflasi lebih banyak membebani masyarakat berpendapatan rendah. Di sisi lain, keterbukaan perdagangan harus dikelola dengan hati-hati agar tidak hanya menguntungkan kelompok eksportir besar, tetapi juga memberi ruang bagi produk lokal dari daerah untuk bersaing. Rekomendasi dalam artikel Pojok Jakarta termasuk meningkatkan iklim usaha dan memperkuat hukum serta tata kelola sebagai bagian dari upaya meningkatkan investasi dan daya saing Indonesia.Â
Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi tidak boleh dipandang sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan yang merata. Indonesia perlu menyeimbangkan agenda pertumbuhan dengan agenda pemerataan agar pembangunan benar-benar inklusif. Ketimpangan kesejahteraan bukan hanya persoalan moral, tetapi juga mengancam stabilitas sosial dan politik. Jurang yang terlalu lebar antara kaya dan miskin dapat memicu ketidakpuasan, konflik, bahkan menghambat keberlanjutan pembangunan. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi Indonesia di masa depan harus menempatkan pemerataan sebagai pilar utama, sejalan dengan upaya meningkatkan pertumbuhan. Jika pemerintah konsisten menjalankan strategi yang komprehensif—mulai dari pembangunan modal manusia, tata kelola yang bersih, hingga kebijakan ekonomi inklusif—maka pertumbuhan ekonomi dapat menjadi instrumen efektif untuk menutup jurang ketimpangan dan mewujudkan kesejahteraan bersama. Rekomendasi dari Pojok Jakarta (2023) mengenai insentif fiskal, peningkatan investasi publik dan swasta, serta penguatan institusi menjadi bagian dari strategi yang harus dijalankan secara konsisten.
Â
Referensi: https://pojokjakarta.com/2023/07/27/pertumbuhan-ekonomi-indonesia-determinan-dan-prospeknya/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI