Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Pengangguran, Idealisme, dan Anak Bawang Kehidupan

17 April 2021   11:00 Diperbarui: 20 April 2021   11:57 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
semangat bersaing dari anak bawang menjadi superstar dan ada yang idealis selaras air mengalir. (magazine.job-like.com)

Setiap orang mempunyai pengalaman dalam hidup, demikian juga dalam dunia kerja dari titik nol sampai puncak tertinggi prestasi. Ada yang mempunyai pengalaman manis dengan jenjang karir cepat dan sukses mencapai puncak. Merasakan menjadi anak bawang, merasakan menjadi bos di antara para senior yang kenyang pengalaman. Dan ada yang tetap nyaman menjadi pekerja tanpa target muluk, cukup mengalir dan mendapatkan penghasilan cukup tanpa muluk- muluk bersaing dengan orang lain untuk mendapatkan kedudukan jauh lebih tinggi.

Sampai saat ini saya tetap hanya sebagai pekerja biasa belum pernah mencapai tataran prestasi dalam bidang administrasi karena saya merasa administrasi bukan bidang saya. Dalam organisasipun saya tidak mau repot- repot bertanggungjawab dalam satu bidang misalnya bendahara, sekretaris. Paling banter menjadi seksi dekorasi, fotografi dan artistik. Kelemahan saya orangnya terlalu cuek untuk bisa melangkah jauh dalam hal peningkatan jenjang karir.

Kalau Kompasianer selalu bicara tentang peningkatan karir, suksesnya menjadi bos padahal secara pengalaman masihlah disebut anak bawang, saya bingung harus bercerita apa. Terus terang saya tidak punya target, mengalir saja. Main aman, mendapat gaji dan mendapat kesempatan untuk bisa menikmati hobi, kegemaran. Tidak melompat jauh mengawang, tidak pula jatuh terjerembab mengalami kebangkrutan ataupun kegagalan.

Menapaki Beban Hidup Sebagai Pengangguran karena Idealis

Mungkin titik terendah dalam hidup saya dulu ketika selama bertahun - tahun (masa ketika perubahan dari orde baru ke masa reformasi antara 1998 sampai  2001 ) belum mempunyai pekerjaan tetap padahal notabene saya lulusan sarjana. Masa menganggur itu membuat saya minder, kurang pede, sementara teman - teman sebaya sudah mendapat kedudukan, mendapat pekerjaan tetap dan penghasilan bagus, saya masih luntang- lantung dengan idealisme saya yang ingin hidup sebagai seniman, namun makan, minum  masih nebeng pada orang tua yang kata orang cukup mampu.

lantang lantung menjadi pengangguran sebelum menemukan pekerjaan yang pas (smartpresence.id)
lantang lantung menjadi pengangguran sebelum menemukan pekerjaan yang pas (smartpresence.id)
Kedua orang tua adalah pegawai negeri, secara pendapatan sudah pasti setiap bulan ada pemasukan, meskipun pegawai negeri zaman dulu tidaklah sementereng sekarang. Saya bisa merasakan menjadi anak bawang, minder dan merasa gagal dalam hidup, dulu masa - masa "menganggur"  saya isi dengan kegiatan menjadi pelatih pencak silat, menulis dan menjadi kontributor majalah, menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah yang tidak bergaji, hanya senang dan bangga bisa menulis dan tulisan dinikmati banyak orang, ikut kegiatan teater dan sibuk di organisasi keagamaan meskipun kemampuan pengetahuan agama saya tetaplah kurang, saya bukan orang religius, yang selalu rajin membaca tentang buku - buku agama, peminatan bacaan saya adalah buku seni budaya, sastra dan filsafat. Juga pengetahuan umum lain.

Namun saya meyakini agama sebagai dasar dari penghargaan saya untuk bergaul dan saling menghargai pemeluk agama. Saya senang mempelajari ilmu misteri, sejarah sejarah animisme, dinamisme, menghargai adanya aliran kepercayaan dan semua pengetahuan yang bertujuan baik untuk relasi antar manusia dan alam semesta.

Masa - masa menganggur setelah lulus kuliah ini memberi banyak pengalaman. Saya pernah melakukan perjalanan bonek ke Jakarta tanpa bekal cukup, yang menjadi modal hanya keyakinan. Itu meneruskan hobi saya waktu kuliah yang sering nekat ke Bandung, ke Jakarta, Surabaya, Palembang dengan uang seadanya. Waktu itu hanya berdasarkan relasi, pertemanan dan organisasi saya bisa sampai ke Palembang dengan ilmu masa bodo, makan dari traktiran teman, menumpang mobil dengan modal nekat. Pokoknya benar- benar anak bawang, yang hanya mendasarkan pada ketulusan dan kebaikan teman atau relasi.

Masa - masa itu tentu ada rasa minder, rasa kurang percaya diri dan selalu mendengar sindiran yang tertuju pada saya. Pengangguran tidak punya pekerjaan tetap, luntang lantung. Masih mending kalau punya pekerjaan sebagai sales, guru atau apa. Saya lulusan perguruan tinggi yang terlalu idealis, ingin menjadi seniman tapi tidak berkarya, ingin menjadi penulis dan wartawan tapi hanya kadang- kadang mendapat honor itupun tidak cukup jika digunakan untuk kost atau hidup mandiri. Artinya selama masa itu saya bisa dikatakan menjadi manusia bermodal numpang hidup. Di Jakarta saya numpang di rumah Om saya, masih minta jatah uang dari orang tua dengan alasan mencari pekerjaan, masih aktif berorganisasi meskipun hampir semua teman mempunyai pekerjaan tetap.

Pengangguran Ibarat Benalu bagi Orang Lain

Rasanya dulu seperti benalu saja, pengangguran banyak acara. Apakah itu disebut anak bawang kehidupan, entah, baru setelah mempunyai pekerjaan tetap saya merasa bahwa pengalaman menganggur saya itu menjadi cerita berjilid - jilid buku. Sebab dengan masa menganggur itu saya sangat rajin menulis, menceritakan tentang duka, kegagalan, dan hal - hal melankolis, tentang cinta yang tertolak, berharap tetapi tidak berani mendekat.

Kalau teman - teman bercerita tentang suksesnya karir, jenjang luar biasa dari kecerdasan kompasianer yang mampu menyalib dari anak bawang menjadi superstar, saya hanya menceritakan bahwa tetap berkarya bekerja dengan modal air mengalir. Tidak punya target, tidak punya spirit bersaing untuk mendapatkan jenjang karir lebih tinggi. Dari awal menjadi guru ya tetap menjadi guru seperti sekarang. Bedanya saya sekarang sudah lebih menikmati profesi guru, beda dulu ketika awal - awal mengajar masih kontra karena saya sebetulnya senang bekerja bebas tanpa ikatan. Kalau saja saya menjadi seniman maka mungkin saat ini saya masih tertatih - tatih atau malah sudah sukses menelorkan karya- karya hasil dari perjuangan saya.

Jiwa bebas saya yang mempengaruhi sikap saya sampai saat ini untuk tidak terikat. Bila saya menjadi kepala sekolah misalnya pasti saya akan terikat pada tugas administrasi, rapat rapat, agenda rutin yang membosankan, padahal saya orangnya gampang bosan dan tidak mau terlalu terikat dengan kegiatan rutin.

Menikmati Pekerjaan dan Belajar Tidak Malu Bertanya pada siapapun termasuk Anak Bawang 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun