Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menyusur Kesunyian dan Kegembiraan Saat Menulis di Kompasiana

14 November 2019   14:53 Diperbarui: 14 November 2019   14:52 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya Bersama Menaker Hanif Dhakiri di Kompasianival Tahun Lalu. Kebanggaan sebagai Kompasianer (dokpri)

Saya menapaki perjalanan menulis Kompasiana dengan merawat kesunyian sekaligus melintas kegaduhan. Saat menulis di sosial budaya kesunyian terasa, para pembacanya adalah kesunyian dan jarang ada komentar dan jarang ada yang melirik. 

Kenapa memilih jalan sunyi, sebab saya ingin menuliskan idealisme, sebisa mungkin bicara sesuai passion. Sebab sehari- hari saya bergelut di sosial budaya menjadi perenung dan pengamat pasif. Saya bukan pelaku budaya hanya guru biasa yang kebetulan mengajar seni budaya.

Apakah saya mengajari etika dan karakter manusia. Terus terang saya lebih banyak bergulat dalam estetika, jarang menyentuh etika karena terbawa sikap saya yang "masa bodoh". Saya sering hanya peduli diri sendiri, kesenangan diri sendiri dan jarang menyelami kesulitan- kesulitan siswa saat merasa frustrasi dengan coretan- coretan yang menggelikan, tidak bermakna.

Tetapi apapun jika sudah mencoret sudah, sudah mau menggambar dan mengenal seni sudah mempunyai nilai. Saya menginginkan kebebasan dalam proses penciptaan karya. 

Mereka perlu mengerti bahwa untuk mengejar kesempurnaan perasaan estetis diri mereka harus terbebaskan dari keterkungkungan dan pembatasan. Tetapi banyak dilema ketika mengajarkan kebebasan berekspresi karena akan membuat gaduh kelas, ketidakteraturan dan teguran dari pemangku kepentingan di sebuah institusi bernama lembaga pendidikan.

Saya menuliskan tulisan sosial budaya dengan penuh kesadaran tetapi para pembaca yang tidak sadar untuk mengerti bahwa persoalan sosial budaya adalah inti dari manusia yang ingin merangkul makna keindahan. 

Sangat penting menghaluskan budi dan kepedulian, sayangnya bahasan politiklah yang sangat ramai dilongok. Jadilah saya menulis politik dan saudaranya untuk menaikkan tingkat keterbacaan. Ya sudah idealisme kadang harus dibayar mahal. Saya anggap tulisan-tulisan saya sebagai proses saya untuk memahami kehidupan.

Yang bergerak  cepat dan mempunyai kemampuan tinggi dalam menulis memang akan selalu dilirik, tulisan- tulisannya ditunggu, inspirasinya dijadikan patokan dalam menulis. Dan saya hanya remah- remah, kadang dilirik kadang dicampakkan. Terkadang dalam ketersunyian jiwaku menjerit, seperti ingin menangis. Aku ingin teriak atas kegagalan- kegagalan yang harus saya lewati. Tetapi nyanyian sunyi itu inspirasi manis berpuisi. Puisi yang bagus juga bisa menghentak dan menjaring pembaca.

Jadi saya tetap setia menulis walau kadang,sedih juga menyaksikan pergerakan pembaca yang super lambat. Konon kebanggaan penulis jika tulisannya ramai ditanggapi, dikasih vote, dikomentari syukur- syukur masuk Artikel utama dengan ribuan bahkan puluhan ribu viewer.

Siapa menanam dialah yang memetik hasilnya. Mungkin saya bukan marketing yang baik bagi tulisan- tulisan yang pernah terpublish, aku cenderung membiarkan tulisan mengalir menemui takdirnya sendiri. Di platform blog seperti Kompasiana seharusnya saya agresif, tidak pasif, mau berbagi, mau mengunjungi artikel teman, kolega, seteru, suhu atau guru menulis. 

Saling interaksi sangat dibutuhkan agar artikel- artikel yang dipublish mendapat respon dari sesama kompasianer. Dulu Kompasiana mengusung tagline sharing and connecting. Ada sharing antar penulis dan pastinya terhubung satu sama lain dalam interaksi komentar secara online maupun saat kopi darat.

Sedangkan Beyond Blogging roh atau jiwa dari setiap kompasianer saya menyadari semakin menulis benci, sedih, kangen rindu bercampur menjadi satu di Kompasiana "sepertinya" lebih dari sekedar ngeblog. Setiap hari HP saya selalu menyala hanya untuk membuka Kompasiana. Salah satu alasannya karena saya menulis di situ jadi harus mengecek tulisan- tulisan yang sudah dipublish mendapat respon baik pembaca atau tidak. 

Jika pergerakan lambat ada perasaan sedih campur kecewa menyeruak di hati. Rasanya seperti perasaan putus cinta atau mengharap cinta tapi tidak pernah dibalas, jika artikel mendapat tanggapan positif, masuk ke nilai tertinggi atau terpopoler apalagi artikel utama kegembiraan begitu membuncah.

Jika setiap hari menulis dan ternyata respon pembaca sepi saya seperti ingin segera menutup dan meninggalkan layar Kompasiana. Ingin menyepi dan berpikir bagaimana tulisan yang sudah ditulis dengan kesungguhan ternyata sunyi senyap.

Kembali menekuri tulisan -- tulisan sosial budaya yang sunyi dan gaduh di isu- isu receh politik saya terus belajar, sabar menerima apapun takdir tulisan yang sudah menjadi milik publik. Saya mesti belajar keras lagi untuk menjaring pembaca, menjaring simpati dan belajar pada tulisan- tulisan yang biasa nangkring ditangga terpopuler atau tulisan dari penulis yang langgaran Artikel Utama.

Itulah proses pembelajaran di Kompasiana. Memasuki usia ke 11 Kompasiana sudah banyak menciptakan dan melahirkan penulis handal. Banyak buku yang sudah dihasilkan, banyak yang bisa melakukan perubahan sehingga patut bangga karena dianggap penulis kompeten yang bisa mengisi seminar dan pelatihan- pelatihan menulis.

kompasiana.com
kompasiana.com
Menjadi bagian dari Kompasiana membanggakan mesti tidak bisa dipungkiri merasakan nestapa, merasa, merasa ditinggalkan saat artikel yang dipublikasikan tidak mendapat respon sepadan. 

Selamat Ulang Tahun Kompasiana sampai saat ini saya masih setia tinggal dirumah besarmu. Menjadi bagian dari ratusan ribu penulis yang terdaftar sebagai kompasianer.

#menyusurkesunyiandanKegaduhanSaatMenulisdiKompasianajokodwiatmoko # Beyondblogging #11tahunkompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun