Mohon tunggu...
Dwi Cahyo
Dwi Cahyo Mohon Tunggu... Mediator

Belajar!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sengketa Empat Pulau Aceh-Sumatera Utara : Dari Persolan Administrasi Sampai Menjadi Isu Sosial Politik

3 Agustus 2025   16:22 Diperbarui: 3 Agustus 2025   16:22 1031
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang belakangan ini ramai diberitakan. Keempat pulau yang terletak di perairan perbatasan Aceh dan Sumatera Utara ini mendadak menjadi sorotan publik setelah muncul sengketa kepemilikan wilayah antara kedua provinsi. Pemicunya adalah terbitnya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau. Dalam SK tersebut, pulau-pulau ini sempat tercatat berada di wilayah administrasi Sumatera Utara.

Reaksi masyarakat Aceh muncul dengan cepat. Bagi mereka, ini bukan sekadar persoalan peta, tetapi menyangkut identitas dan kebanggaan kedaerahan. Bahkan, muncul ungkapan emosional bahwa Aceh seakan "kehilangan empat anaknya." Sementara itu, Sumatera Utara lebih memilih mengikuti aturan pusat.             Ketegangan ini hampir menimbulkan konflik horizontal, terlihat dari aksi penolakan oleh masyarakat dan mahasiswa Aceh, baik di daerah sendiri maupun di Jakarta. Media sosial pun memperkuat eskalasi isu, memunculkan sentimen yang memanas.

Situasi baru mereda setelah Presiden Prabowo Subianto pada 17 Juni 2025 memutuskan bahwa keempat pulau tersebut kembali menjadi bagian dari Provinsi Aceh. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyebut keputusan ini diambil karena ditemukannya dokumen lama Kementerian Dalam Negeri yang menegaskan status pulau-pulau tersebut memang milik Aceh sejak awal.

Dari kacamata penulis, akar persoalan ini sederhana: administrasi yang tidak terdokumentasi dengan baik. Menteri Dalam Negeri bahkan mengakui bahwa dokumen asli kesepakatan gubernur tahun 1992 sulit ditemukan. Celah inilah yang akhirnya memicu polemik hingga nyaris menjadi isu nasional.Kasus ini memberikan pelajaran berharga. Persoalan administratif yang tampak sepele dapat berkembang menjadi isu sosial-politik bila menyentuh identitas daerah. Oleh karena itu, arsip dan dokumentasi administrasi harus dikelola dengan rapi dan modern. Sistem dokumentasi yang baik akan menjadi kunci untuk mencegah sengketa serupa di masa depan.Empat pulau ini akhirnya kembali ke Aceh tanpa konflik terbuka. Namun, kita diingatkan lagi bahwa urusan administratif bukan hal remeh, karena di balik lembaran dokumen, bisa tersimpan bara yang sewaktu-waktu bisa menyulut konflik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun