Erik Yohan Kartiko, seorang pendidik muda asal Jawa Timur, membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk terus berkarya. Di usianya yang ke-29 tahun, ia telah menorehkan banyak pengalaman di dunia pendidikan dan teknologi. Meski terlahir dengan kondisi buta warna parsial, Erik menjadikan tantangan tersebut sebagai motivasi untuk menemukan cara baru dalam menciptakan karya yang bermakna.
Sejak kecil, Erik memiliki ketertarikan besar terhadap komputer dan dunia visual. Perjalanan pendidikannya dimulai dari SDN 03 Tirtomarto, kemudian SMPN 1 Ampelgading, hingga SMAN 1 Turen. Kecintaannya pada bidang teknologi membawanya melanjutkan studi ke Universitas Negeri Malang jurusan Pendidikan Teknik Informatika, hingga akhirnya menuntaskan Magister Ilmu Komputer di Universitas Brawijaya. Latar belakang akademik ini menjadi fondasi kuat bagi kiprahnya sebagai pendidik sekaligus peneliti.
Di balik keterbatasannya, Erik menemukan sudut pandang baru tentang makna desain. Alih-alih fokus pada warna, ia mengasah kepekaan terhadap komposisi, detail, interaktivitas, dan user experience. Pendekatan tersebut menjadikannya mampu mengajar mata kuliah yang berhubungan dengan UI/UX, 3D Modeling, hingga Augmented Reality (AR). Menurutnya, desain tidak sekadar soal estetika visual, melainkan pengalaman yang dapat menginspirasi dan memberi makna.
Pengalaman mengajar Erik cukup beragam, mulai dari asisten dosen di Universitas Negeri Malang, education consultant di Quipper Video, guru honorer di SMKN 3 Batu, hingga dosen di Universitas Anwar Medika serta Universitas Jember. Selain itu, ia juga pernah menjadi pengajar robotik di CreativKids dan mentor di Superprof. Dari perjalanan tersebut, Erik konsisten mengintegrasikan teknologi dengan kreativitas, menjadikan pembelajaran lebih menyenangkan dan relevan dengan zaman.
Radella Reina Azeera : Muda, Berprestasi, dan Menginspirasi Lewat Budaya
Perempuan Berdaya, Generasi Muda Inspiratif : Kisah Najma Qadisha Ramadhanty
Fokus penelitian Erik saat ini adalah Immersive Geoinformatics, sebuah bidang yang menggabungkan teknologi imersif seperti Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR) dengan geoinformatika. Ia percaya bahwa inovasi seperti ini dapat membuka peluang baru dalam pendidikan, khususnya dalam menciptakan pembelajaran interaktif yang lebih mudah dipahami. Visi ini sejalan dengan harapannya agar teknologi menjadi jembatan inklusif bagi semua kalangan, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan.
Ketika ditanya mengapa tetap memilih bidang desain dan teknologi meski memiliki keterbatasan, Erik menjawab dengan lugas: karena cinta pada proses kreatif. Baginya, semangat berkarya jauh lebih besar daripada hambatan yang ada. Ia ingin membuktikan bahwa stigma "tidak bisa" hanyalah mitos, serta mendorong anak muda untuk berani mencoba tanpa takut pada kekurangan diri. Inilah semangat yang selalu ia bawa dalam setiap langkahnya.
Lebih jauh, Erik juga menekankan pentingnya pendidikan berbasis teknologi di Indonesia. Ia bermimpi melihat sistem pendidikan yang lebih inklusif, kreatif, serta menggabungkan sains, seni, dan humaniora. Dengan begitu, generasi muda tidak hanya terpaku pada teori, tetapi juga mampu menemukan ruang berekspresi, berinovasi, dan beradaptasi dengan perkembangan global.